Dalam dingin nan lembab, perahu melaju pelan. Emet yang duduk paling depan, menyorotkan senternya ke sisi Pulau Saleng, sedangkan Om Uwa mengendalikan kemudi. Perahu berhenti dan sandar di salah satu sisi, kemudian mesin katinting segera dimatikan.Â
Rifai dan Emet adalah pengurus Kelompok Sadar Wisata atau Podarwis di Desa Koyobunga ini, Rifai ketuanya. Selain bersama Amran mengembangkan wisata pengamatan burung, mereka juga telah siap untuk memandu turis untuk snorkling, boating, fishing, bahkan grilled fish alias bakar-bakar ikan.Â
Kami semua turun kecuali Om Uwa. Pendakian segera dimulai. Sendal gunung yang saya pakai cukup ampuh dan fleksibel. Dapat segera dicopot saat berperahu, namun masih cukup tangguh melintasi jalan setapak bercampur karang tajam seperti saat ini.
Setelah lima belasan menit, kami tiba di pondok kecil yang sebetulnya merupakan pondok kamuflase. Di hadapannya, tampak beberapa gundukan tanah. Kami berempat masuk, Amran segera menyalakan obat nyamuk bakar.
Dari luar, pondok ini tampak gelap, namun dari dalam kami dapat melihat area di luar yang lebih terang dengan cukup leluasa. Kamera karatan saya segera dikeluarkan, bersedia dengan tripodnya. Setengah jam lebih kami menunggu, dan akhirnya suara itu terdengar.
Seperti suara tawa cekikikan muncul dari arah utara, sebelah kiri kami. Itu yang kami tunggu, kali ini bukan hantu lagi, tapi burung gosong sula alias Megapodius bernsteinii. Masyarakat Peling menyebutnya Kailong. Suara bersahutan, menandakan satu pasang.
Gosong sula termasuk keluarga Megapodidae atau si kaki besar, hanya tersebar alami atau endemik di Kepulauan Sula dan Banggai, termasuk di Pulau Peling dan sekitarnya.Â
Gundukan yang kami lihat di depat pondok kamuflase tadi adalah sarang tempat si gosong akan menggali lubang untuk meletakkan telurnya. Mereka akan memanfaatkan panas alami dari sinar matahari dan proses pembusukan serasah daun sebagai sumber panas dalam proses inkubasi telur mereka. Ya, mereka tidak mengerami telurnya, namun berharap dengan kebaikan alam seperti ini.
Sang gosong hilir mudik. Tubuh mereka kecoklatan, sebesar ayam kampung. Sedikit mencakar-cakar gundukan tanah, kemudian mereka naik ke dahan-dahan pendek di sekitar lokasi peneluran, turun kembali, dan terus demikian. Suara mereka terus saling memanggil, padahal mereka tidak berjauhan. Tidak sampai setengah jam, mereka menghilang ke arah selatan pulau.
Setelah memastikan beberapa saat mereka tidak kembali, kami segera keluar dari pondok kamuflase.Â
"Sebaiknya kita hindari menginjak gundukan-gundukan ini, karena ini merupakan sarang tempat telur mereka", jelas saya kepada kawan-kawan di sini.Â