"Pegangan pada rambut kuda Pak" kata penuntun saya seperti tahu apa yang saya cari. Hanya ada satu tali yang terhubung ke kuda, dari ikatan di mulut dan leher kuda. Dan, itu dipegang oleh penuntun kuda saya.
Saya mengucapkan salam dan terima kasih kepada warga dusun sebelum kuda akhirnya berjalan pelan. Berjalan bukan karena kendali saya tentunya, tapi karena dituntun dan ditarik oleh bapak di depan saya.
Gagallah saya tampil keren seperti para penunggang kuda di film-film itu.
Perjalanan awal masih cukup nyaman karena mendatar. Badan saya pun masih segar. Tapi kemudian cobaan datang.
Tujuan kami adalah Lahona, sebuah enclave di tengah hutan Taman Nasional, yang saat itu merupakan area yang dapat dijangkau dengan mobil terdekat yang dapat saya capai, dan bersinyal handphone.
Kami berangkat dari Dusun Tangairi yang hampir di pinggir pantai dan menuju Lahona dengan ketinggian sekitar 400 mdpl. Mau tidak mau akan ada pendakian.
Memang saya hanya duduk saja dalam perjalanan ini, termasuk perjalanan mendaki yang akhirnya mulai terjadi. Saya berada di punggung kuda tanpa pelana dan kekang, kuda miring ke atas depan dan saya tanpa pegangan, tentu saja saya segera melorot. Saya terpaksa pergegangan erat pada surai kuda.
Bertahan agar saya tidak merosot jatuh sambil berpegangan pada surai kuda ternyata bukan perkara gampang. Dan, ini saya lakukan sekitar tiga jam. Hal yang saya syukuri, pendakian ini tidak sampai membuat saya ngos-ngosan.
Sekitar dua jam mendaki, kami beristirahat sebentar di tepi sungai kecil. Saya merasakan hal aneh. Seperti ada rasa perih dan sakit di pantat saya. Tapi saya waktu itu tidak berpikir macam-macam, karena sudah banyak kemudahan yang saya alami dari perjalanan ini.