Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Naik Pesawat Rasa Bus, Kami Mengaku Salah

6 Mei 2022   00:31 Diperbarui: 6 Mei 2022   00:36 1403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2006. Larat, Maluku

Kami masih berdiskusi dengan laptop terbuka di salah satu sudut lobi hotel Harapan Indah Saumlaki, ketika dua orang yang tampak rapi menghampiri kami.

"Halo, boleh kami minta tolong sesuatu?" sapa salah seorang dari mereka.

Mereka memperkenalkan diri dan kami pun balas memperkenalkan diri kami, sampai basa basi ke pekerjaan yang kami lakukan masing-masing hingga kami sama-sama berada di hotel ini, di kota Saumlaki ini.

Saumlaki adalah permukiman terbesar di Kepulauan Tanimbar, yang merupakan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, salah satu kabupaten paling selatan di Provinsi Maluku, berbatasan langsung dengan Australia.

Kota Saumlaki di Pulau Yamdena, Maluku, pada 1990an. (dok. Hanom Bashari) 
Kota Saumlaki di Pulau Yamdena, Maluku, pada 1990an. (dok. Hanom Bashari) 
Harapan Indah, hotel yang kami duduk di ruang lobi-nya saat itu, dipertengahan dekade 2000an merupakan hotel terbaik di Saumlaki. Selain kamar-kamar, mereka juga memiliki anjungan cantik yang menjorok ke laut.

Untuk sampai ke Saumlaki dari Ambon saat itu, salah satu cara terbaik adalah dengan menggunakan pesawat udara, biasanya setiap beberapa hari sekali. Maskapai Merpati Nusantara Airlines (MNA) yang sudah almarhum sejak 2014 itu, masih merupakan penerbangan satu-satunya pada dekade awal 2000an di area ini, dengan pesawat legendaris-nya, Casa C-212.

Terdapat dua lapangan udara di Kepulauan Tanimbar. Pertama lapangan terbang Olilit di pinggir kota Saumlaki. Saumlaki sendiri berada di bagian Selatan Pulau Yamdena, pulau terbesar di kepulauan ini. Lapangan terbang kedua berada di Pulau Larat, salah satu pulau satelit Yamdena yang berada di bagian utara, sekaligus permukiman kedua terpadat di Tanimbar.

Dua orang yang menemui kami di lobi tadi adalah tadi ternyata pilot dan ko-pilot MNA yang siang tadi baru saja mendarat. Tapi entah mengapa mereka menginap di Saumlaki, tidak langsung kembali ke Ambon.

Mereka akhirnya menyatakan maksudnya. Entah oleh siapa, saya lupa, mereka saat itu ditugaskan pula untuk melakukan penilaian terhadap kondisi lapangan terbang Olilit yang memang aspal landas pacunya sudah berlubang-lubang.

Kondisi lapangan terbang telah mereka foto dan mereka meminta kami untuk mengunduhkan file-file foto yang ada di kamera digital mereka dan menyimpannya di dalam sebuah flashdisk. Oke, tidak masalah dan mudah.

Terakhir kami bertukar kartu nama. Tertera nama dengan awalan "N" sebagai pilot dari MNA. Saya simpan saja, siapa tahu suatu saat berguna.

---

Beberapa bulan setelah kejadian di lobi hotel itu, setelah sepekan lebih kami berada di hutan Yamdena, kami akhirnya tiba di rumah bapak Alberth Sianressy, Kepala Desa Lelingluan, sebuah desa kecil dengan permukiman padat di ujung utara Yamdena. Kami biasa memanggil dengan "bapak kaya", sebutan untuk kepala desa.

Mama Tis, istri kepala desa, selalu menyambut kami dengan senyum ramah dan hidangan lezatnya: papeda dengan kuah ikannya, rebusan beragam umbi-umbian khas Yamdena, dan masakan-masakan khas Maluku lainnya. Kami berencana menginap dua malam sebelum kembali ke Saumlaki.

Terdapat beberapa pilihan untuk kembali ke Saumlaki, tapi belum ada jalur darat saat itu. Sesuai rencana awal, kami akan menggunakan jalur laut seperti biasa.

Permukiman di Larat, dilihat dari Desa Lelingluan, Yamdena, pada 2006. (dok. Hanom Bashari)
Permukiman di Larat, dilihat dari Desa Lelingluan, Yamdena, pada 2006. (dok. Hanom Bashari)
Jalur laut susah diprediksi. Kami dapat menumpang kapal ikan atau kopra dari Pelabuhan Larat, yang berada tepat di seberang desa ini, di Pulau Larat. Namun lebih mudah memastikan turun hujan daripada memastikan adanya kapal yang hendak ke Saumlaki. Bisa-bisa kami menunggu sampai sepekan lebih hanya untuk hal ini ini.

Akhirnya karena uang kami masih mencukupi, kami berniat menyewa kapal saja untuk perjalanan kembali ke Saumlaki dari Pelabuhan Larat. Mungkin ini akan memakan waktu seharian perjalanan.

Sialnya, saat itu sedang musim angin timur, padahal jalur terbaik untuk mencapai Saumlaki dari Larat justru lewat sisi timur Yamdena. Kemungkinan besar tidak ada kapal yang mau disewa juga dengan kondisi seperti ini.

Baca juga: Angin Barat, Kapal Kayu, dan Yamdena

Pada saat itu belum ada kapal cepat, baik untuk angkutan reguler maupun untuk disewa. Jadi seluruh kapal yang beredar dan bertebaran di laut sekitar kepulauan ini adalah kapal-kapal kayu, kecil maupun besar. Ada juga kapal ferry untuk jalur Larat -- Saumlaki, namun itu pun sekitar sekali per pekan, namun jadwal tidak dalam waktu dekat ini.

Kapal ferry di Pelabuhan Larat, pada 2006. (@Hanom Bashari)
Kapal ferry di Pelabuhan Larat, pada 2006. (@Hanom Bashari)
Tinggal lebih lama akan memakan biaya. Jadi, dengan menggunakan transportasi apa pun, asalkan biaya masih mencukupi, itu lebih baik. Minimal kami dapat menghemat waktu.

Nah, timbulah ide, kenapa tidak sekalian menggunakan jalur udara saja, yaitu naik pesawat terbang. Terdapat penerbangan Saumlaki -- Larat -- Saumlaki sekali dalam sepekan.

Setelah cek kanan kiri, akhirnya jelas dan kami merasa beruntung bahwa jadwal pesawat terdekat adalah lusa. Kami pun mempersiapkan diri. Sebagian dari kami akan ke loket Merpati di pertokoan Larat, dan sebagian lagi akan mencari dan membeli kardus-kardus besar untuk membungkus berbagai peralatan survey kami.

Esok paginya, kami segera menyeberang ke Larat menuju pertokoan tempat loket Merpati buka.

"Cik, masih ada tiket untuk besok ke Saumlaki?", tanya kami.

"Berapa orang?" tanya ibu-ibu setengah baya kepada kami dari balik meja loket.

"Lima orang, cik" jawab kami.

"Hanya tersisa dua tiket lagi" jawab sang ibu.

Kami segera kebingungan, kemudian berdiskusi singkat yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali kekecewaan.

"Begini saja", timpal ibu penjaga loket tadi. "Beta kase lima tiket, kamong bayar. Biasanya setiap penerbangan selalu ada yang cancel. Nah kalau ada yang cancel, kamong bisa masuk. Tapi kalau tidak jadi berangkat, kamong balikan saja tiketnya kepada beta, nanti beta ganti utuh depu uang".

Usul yang menarik. Kami berdiskusi sebentar. Saat itu di tahun 2000an kita tahu memang belum ada sistem tiket elektronik. Semua tiket pesawat manual, bisa ditulis sesuka hati.

Kami pun menyetujui ide ini, daripada harus semua tertunda, lebih baik jika ada yang bisa langsung terbang besok ke Saumlaki. Kami yang tidak bisa terbang, menunggu kapal lagi.

"Baiklah cik, katong beli lima tiket itu", jawab kami.

"Jangan lupa besok jam sembilan pagi su di bandara. Langsung ketemu beta".

"Baik cik".

Kami pun kembali ke rumah bapak kaya. Mengepak barang-barang kami, tiga dus besar dan beberapa ransel besar pula. Siap berangkat esok pagi.

---

Sebelum jam delapan, kami telah tiba di lapangan terbang Larat, yang sedikit jauh dari permukiman utama. Penerbangan Larat -- Saumlaki saat itu, dengan pesawat Casa C-212 tidak sampai 30 menit. Ini juga penerbangan pertama kami dengan jalur Larat -- Saumlaki.

Baca juga: Pernahkah Merpati Ingkar Janji

Manusia makin ramai. Tidak ada penerbangan lain, namun kami tidak dapat membedakan mana penumpang mana pengantar. Sementara bagasi kami yang besar-besar kami taruh di pojok. Kami segera mengontak ibu penjual tiket.

"Tunggu, nanti beta kasih tahu kalau bisa naik. Kamong check-in terakhir saja" terangnya. Ah, ini yang bikin kami was-was.

Kapasitas Casa C-212 hanyalah 21 penumpang. Kalau dua tiket sudah di kami, ada 19 calon penumpang lain. Kami semua berharap dalam hati, ada tiga penumpang lain tidak jadi terbang.

Pesawat Casa C-212 dari Saumlaki yang ditunggu akhirnya mendarat di lapangan terbang Larat. Semua seperti biasa saja, kecuali kami yang khawatir. Tiba-tiba terucap dari saya "siapa tahu saja pilotnya pak N, yang pernah ketemu kita di Harapan Indah dulu".

"Iya ya, mungkin saja", timpal teman saya.

Kami mendekati ibu penjual tiket di dekat  meja check-in, setelah meja check-in terlihat sepi.

"Gimana cik, semua datang?" tanya kami.

"Semua datang".

Kami pun lemas mendengarnya. Sudahlah, dua diantara kami harus terbang dengan semua barang. Tiga lainnya akan tinggal lagi di sini menunggu kapal laut yang akan ke Saumlaki, entah kapan. Namun kami belum memutuskan, siapa yang harus pergi siapa yang tinggal.

Pesawat mulai parkir dan akhirnya pintu terbuka. Satu persatu penumpang dari Saumlaki turun. Sampai terakhir kami lihat dua pilot turun paling akhir dari pesawat.

"Lah itu Pak N, pilot dulu itu".

Ternyata benar, pilot yang turun itu adalah Pak N, pilot yang kami kenal di Saumlaki beberapa bulan lalu. Karena ini lapangan terbang kecil dan bangunan ruang keberangkatan dan kedatangan juga menjadi satu dan kecil, kami pun dapat mudah bertemu sang pilot.

"Pak N, apa kabar" sapa kami.

"Eh kalian, mau ke Saumlaki?" tanya sang pilot.

"Iya Pak, tapi ga kebagian tiket. Kami kira ada penumpang cancel, ternyata full", terang kami.

"Berapa orang?"

"Lima orang, tapi dua sudah ada tiket, tiga ga jadi berangkat", terang kami polos.

"Mana barang-barang kalian?"

"Itu Pak", sambil menunjuk tumpukan kardus dan ransel di salah satu sisi ruangan.

"Wah, banyak juga ya. Bentar ya, saya tanya dulu".

Sang pilot kemudian pergi ke suatu ruangan, entah ketemu siapa. Kami pun tidak ada yang dapat mengira, apa yang dimaksud dengan "bentar ya" sang pilot ini.

Tak berapa lama sang pilot keluar ruangan dan kembali ke arah kami. Sementara itu beberapa penumpang sudah mulai boarding dan siap-siap menuju pesawat.

"Barang-barang kalian hanya ini saja?", tanya kembali pilot kepada kami.

"Iya Pak, dengan beberapa ransel kecil".

"Ya sudah, ayo naik saja semua"

Kami setengah tidak percaya, bagaimana bisa. Semua kursi terisi, tapi tiga dari kami jelas akan ilegal.

"Sudah cepat check-in semua. Yang penting nanti saat take-off dan landing, bagaimana pun caranya, semua harus duduk, tidak boleh ada yang berdiri".

"Baik Pak. Makasih banyak Pak", balas kami.

Kami bingung bercampur senang, kemudian segera check-in sambil diperhatikan oleh sang pilot. Mungkin dia ingin memastikan kami semua boleh check-in dan boarding. Selesai boarding semua, kami tak lupa juga berterimakasih kepada ibu penjual tiket kemarin, yang secara khusus melayani check-in kami tadi.

Saat itu untuk penerbangan Merpati di Saumlaki dengan Casa C-212 ini (entah di tempat lain, saya belum pernah mengalami) tidak ada nomor kursi di boarding-pass . Jadi 21 kursi di dalam pesawat akan diperebutkan, siapa cepat dia dapat. Kami pun berbisik-bisik.

"Kita cepat aja masuk ke dalam pesawat, kan tidak ada nomor kursi. Tidak ada yang tahu siapa yang sebenarnya penumpang ilegal".

"Iya benar, kita juga kan punya tiket dan membayar".

Kami setengah tertawa dan berjalan cepat ke arah pintu pesawat, melampaui beberapa penumpang lain. Kami berlima ini adalah empat orang anggota tim dan satu orang lagi adalah bapak kaya, kepala desa tempat kami menginap itu.

Baca juga: Kole-kole, Pelintas Rutin Larat-Lelingluan

Sesampainya di dalam pesawat, niat buruk kami untuk cepat mengambil kursi, duduk, dan pura-pura tidak tahu pun akhirnya luluh. Kami merasa, kamilah yang salah, kami yang tidak dapat tiket, maka kami yang tidak boleh duduk. Maka diputuskanlah, bapak kaya duduk, dan satu kursi lagi nanti kami akan bergantian.

Setengah tidak percaya, orang-orang pun memandangi kami, tapi tidak ada yang bersuara. Ada tiga penumpang tidak dapat kursi, sedangkan pintu pesawat sudah ditutup. Kami juga pasang muka cuek.

Pak pilot N kembali nongol dari kabin pilot dan berbicara ke kami semua.

"Jangan lupa tetap duduk saat take-off dan landing".

Susunan kursi dalam pesawat kecil ini adalah dua kolom kursi berjajar, lalu diselingi lorong dan satu kolom kursi lagi. Semua tujuh baris. Salah satu dari kami segera mepet menumpang duduk di sebelah rekan kami yang duduk berdua.

Dua orang lagi dari kami celingukan, mau duduk di mana. Akhirnya kami yang tidak dapat tempat duduk, dengan sedikit malu dilihat oleh seluruh penumpang, duduk di atas beberapa kardus bagasi penumpang yang ada di sepanjang lorong.

Sebagian bagasi penumpang di pesawat kecil ini memang hanya ditaruh di bawah kursi penumpang atau diatur di sepanjang lorong. Ya, mirip-mirip angkot saja sebenarnya.

Akhirnya pesawat take-off dan lambat laun mulai terasa terbang mendatar. Setelah terasa stabil, kami bertiga yang tidak dapat tempat duduk kemudian mulai berdiri, berjalan hilir mudik, duduk lagi (kali ini benar-benar di lantai pesawat), sampai kami bosan.

Kami sudah tidak peduli orang melihat kami, mereka pun tampaknya tidak peduli lagi kepada kami. Sial, kami berdiri di lorong antar tempat duduk, berpegangan ke tempat bagasi penumpang, benar-benar seperti penumpang KRL jabodetabek atau bis yang tidak dapat tempat duduk. Tapi ini di pesawat udara. Sayangnya tidak ada yang mengabadikan momen kami tersebut saat itu dengan foto.

Di pesawat kecil Merpati yang beroperasi di area Kepulauan Tanimbar dan sekitarnya ini, memang tidak pernah didampingi pramugari saat terbang. Jadi tidak akan ada yang mengatur dan menegur kami.

Lagi pula semua penumpang juga sudah melihat bahwa sang pilot berbicara khusus kepada kami tadi. Jadi siapa juga yang akan menegur dan melarang kami duduk-duduk santai di sepanjang lorong. Tidak sampai juga setengah jam, pikir kami.

Alhamdulillah kami semua akhirnya mendarat dengan aman di lapangan udara Olilit, di Saumlaki. Terlebih kami berlima. Ibarat roller-coaster. Jadi -- tidak jadi -- jadi -- tidak jadi dan akhirnya jadi juga terbang dan tiba dengan selamat serta cepat sampai tujuan.

Cerita ini menjadi bahan obrolan kami berhari-hari, bahkan bertahun-tahun setelahnya. Setiap ada kecelakaan pesawat di Indonesia dan dikatakan kemungkinan penyebabnya adalah kelebihan muatan, kami selalu merasa bersalah mengingat kejadian kami ini.

Kami selalu bersyukur kepada Tuhan, lancar dan selamat sampai tujuan saat itu. Bayangkan kalau terjadi kecelakaan misalnya, jelas kami ada andil salah saat itu.

Kami yang tidak dapat tiketlah yang wajib disalahkan, walaupun tentunya sang pilot juga sudah memperhitungkan risiko dan bobot muatan pesawat yang aman saat terbang. Mungkin sang pilot juga ingin berterimakasih atas bantuan kami dahulu. Tapi hal ini, aduh, betul-betul berisiko jika kami ingat.

Ya, kami mengaku salah. Hal ini bukan untuk ditiru apalagi diulangi. Tapi jika kondisi darurat, mau dikata apa, walaupun saat itu belum bisa dikatakan darurat juga.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun