Adzan subuh berkumandang keras walau agak terlambat, dari masjid yang berada tepat di samping Penginapan Berkat, tempat saya menginap di Desa Doda. Kabut masih menghantam permukaan tanah kering di awal Desember 2021 ini, ketika saya kembali ke penginapan setelah subuhan tadi.
Mungkin ini 18 derajat, pikir saya kedinginan di jalan. Saya kembali ke kamar yang nyaman, membuka hape yang tiada bersinyal 4G, saya pun kembali terlelap.
Tepat jam tujuh pagi, Arnol Winono [44 tahun] teman baru saya di Doda sudah tiba di penginapan. Kami bertiga, bersama Om Donatus [50], segera pergi sarapan ke rumah makan yang konon satu-satunya di Lembah Behoa ini, yang berada di muka Puskesmas.
Desa Doda merupakan satu dari lima desa yang berada di Lembah Behoa, dalam Kecamatan Lore Tengah, di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Lembah nan legendaris, dengan ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Satu dari beberapa lembah paling masyhur di dataran tinggi lanskap Lore Lindu, selain Bada, Napu, dan Lindu.
Kemarin kami baru saja datang dari Palu, dalam perjalanan hampir lima jam menempuh sekitar 160 kilometer. Jalanan yang umumnya baik dilalui cukup santai oleh Om Donatus. Setelah mengecek beberapa lokasi pekerjaan di lembah ini, sebelum kembali ke Palu, saya ingin melihat beberapa hal yang katanya cukup spektakuler di sini.
"Jadi, bagaimana rute kita hari ini?", tanya saya kepada Arnol di sela sarapan nasi goreng.
"Kita mulai dari Lempe saja dulu, setelah itu baru ke Pokekea, Tadulako, dan nanti kita lihat kalau sempat ke beberapa tempat lain di Doda".
Dibonceng Arnol dengan sepeda motornya, saya meninggalkan Om Donatus di penginapan, yang katanya masih ingin istirahat setelah lelah seharian kemarin. Ya, pagi ini kami akan mengunjungi beberapa situs megalitik, yang tersebar hampir di setiap sudut Lembah Behoa ini.
Menurut Laporan Kajian Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCP) Gorontalo pada 2018, di Lembah Behoa ini tercatat tinggalan arkeologi sebanyak 825 buah yang tersebar di 32 situs. Tentulah, kami hanya akan mengunjungi beberapa saja saat ini.
Megalit sendiri memiliki arti batu besar, karena berasal dari kata Yunani yaitu megas yang berarti besar dan lithos yang berarti batu. Sedangkan megalitik atau bangunan megalitik menurut KKBI kita disebutkan sebagai "bentuk bangunan yang bermacam-macam yang digunakan untuk pemujaan terhadap arwah nenek moyang".
Beberapa lembah di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah ini memang dikenal sebagai salah satu megalitikum terbaik di Indonesia. Tentu yang paling kondang adalah Lembah Behoa ini.
Megalit Lempe
Tidak sampai sepuluh menit, kami telah tiba di perempatan Desa Lempe. Di salah satu jalan, terpampang papan petunjuk kecil: Situs Megalit Lempe 1,5 km. Tak jauh lagi.
Kami berhenti di tepi hutan kecil. Sekitar 30 meter di sebelah kiri kami tampak area yang sedikit bersih.
"Itu di sana", kata Arnol.
Tak menunggu lama, saya bergegas meninggalkan Arnol. Dari kejauhan, terlihat sosok hitam gendut dan agak pendek. Inilah katanya Arca Lempe itu.
"Hanya ada tiga situs megalitik di Behoa ini yang memperlihatkan sosok manusia, nanti akan kita kunjungi semua. Yang satu ini sering orang bilang juga dengan nama watu-tokalaea yang berarti batu hamil", jelas Arnol. Seperti nama arca juga yang saya pernah lihat di Lembah Bada.
Baca juga: Ke Bada Lagi, Berjumpa Arca-Arca Megalitik Nan Misterius
Hmm, tentu ini merujuk pada sosok yang gendut seperti orang hamil. Tapi saya tidak berani mengorek-ngorek bagian bawah patung ini untuk memastikan, apakah patung ini merujuk ke lelaki atau perempuan.
Arca setinggi sekitar 130 cm ini terlihat agak miring ke belakang. Sebagian besar tubuhnya dipenuhi lumut menghijau. Wajar, mengingat area ini memang terasa lembab dan tertutup tajuk rindang pepohonan nan sejuk di sekitarnya.
Setelah puas berfoto, kami pun beranjak. Dalam perjalanan, Arnol menjelaskan bahwa Lempe sendiri berarti tanah datar dan dipercaya sebagai desa tertua di lembah ini.
Sesampai di perempatan awal tadi, kami berbelok kiri, masuk ke Desa Hanggira. Arnol menghentikan motornya tepat di samping balai desa, kemudian menunjukkan beberapa arca batu yang dipasang paksa dengan menggunakan semen.
Dahulu sekali, arca tersebut hendak dibawa keluar lembah atau dicuri, namun pelaku tertangkap dan barang bawaannya di pasang di samping balai desa ini. Jelas Arnol singkat kemudian.
Pokekea nan Mempesona
Motor kami terus melaju, masuk ke Desa Baliura dan berbelok menuju arah barat laut. Setelah lebih 15 menit, melewati beberapa ladang dan sawah, akhirnya kami berhenti dan parkir di salah satu halaman rumah  nan rindang di sisi kiri jalan.
Kami berjalan kaki masuk ke jalan kecil yang sedikit becek di sisi halaman ini, melewati dua buah jembatan kecil, akhirnya sampai di gerbang biru yang tak terkunci, dan dengan sedikit mendongak tampaklah plank nama: Cagar Budaya Megalitik Pokekea.
Dari pinggir area, saya berdiam sebentar. Mulai meresapi ketersimaan saya. Sulit menceritakan satu persatu apa yang ada di bentangan lahan hampir empat hektar ini, yang ada di hadapan saya saat ini. Â Saya beruntung, langit membiru cerah. Namun cuaca pukul 9 pagi ini sudah terasa panas.
Menurut website cagar budaya kemendikbud, area ini telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sejak 2003 silam. Disebutkan bahwa dalam situs ini, setidaknya telah tercatat 29 kalamba, 11 tutup kalamba, 4 arca, 27 batu dakon, 4 umpak batu, 5 lumpang batu, 3 meja altar, 3 batu dulang, dan 10 batu bergores.
Kalamba atau semacam tong batu, memang yang paling dominan di Pokekea ini. Mulai dari yang setinggi perut sampai besar menjulang hampir dua meter. Dari yang polos sampai berukir wajah manusia maupun guratan-guratan lain yang tak dipahami. Ada juga yang terbelah. Sebuah kalamba ini diduga berfungsi sebagai wadah penguburan.
Tutup kalamba pun menarik di Pokekea ini. Beberapa dihiasi berbagai ornamen seperti relief muka manusia, bahkan ada beberapa tutup dengan ornamen bentuk seperti monyet.
Sebagian tutup kalamba juga ada yang ber-ornamen seperti pegangan tangan di tengahnya. Ya, seperti tutup panci di dapur kita. Kalau tutup kalamba berdiameter hampir dua meter itu dibuatkan pegangan, lalu sebesar apa orang atau makhluk yang memegangnya. Waw, khayalan saya menggila.
Empat arca yang terdapat di Pokekea ini juga menarik. Satu terbaring, dan tiga lain tegak setinggi sekitar 1,5 meter.
Tidak seperti Arca Lempe tadi yang berbentuk tubuh lonjong membulat, arca ini hanya lempeng batu yang diukir wajah dan setengah badan. Terpahat juga lubang di tengah badannya sebesar kepalan tangan anak kecil, seperti menunjukkan pusar.
Sembari saya bolak balik memperhatikan berbagai megalit di Padang Pokekea ini, Arnol yang tampak bosan sibuk dengan hapenya, berteduh di beberapa pohon rindang yang terdapat di tengah area.
Baca juga: Cerita Mengunjungi Lembah Napu nan Subur
Sang Panglima, Tadulako
Perjalanan dilanjutkan. Kami meniti jalan setapak menggunakan motor di tengah padang ilalang yang terasa makin memanas. Di kejauhan terlihat bukit-bukit hijau cerah terpapar matahari, yang menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional (TN) Â Lore Lindu.
"Itu sudah kawasan taman nasional Pak", terang Arnol yang juga merupakan petugas Masyarakat Mitra Polhut, Balai Besar TN Lore Lindu yang bertugas di Resort Doda, di Lembah Behoa ini.
Lembah Behoa, sekitar lima ribu hektar, merupakan sebuah enclave atau area kantong yang dikellilingi oleh kawasan Taman Nasional Lore Lindu, yang bukan menjadi bagian area taman nasional itu sendiri.
Taman Nasional Lore Lindu sendiri merupakan salah satu kawasan konservasi daratan terluas di Pulau Sulawesi. Sebuah taman nasional yang berfungsi diantara sebagai area perlindungan keragaman hayati dan sistem penyangga kehidupan manusia sekitarnya, termasuk mendukung budaya dan ilmu pengetahuan.
Kami berhenti tepat di depan jembatan bambu pendek yang tak dapat dilalui lagi dengan motor. Dari kejauhan saya sudah dapat melihat sebuah plank nama. Pasti di sana, Situs Megalitik Tadulako.
Tidak wah seperti Pokokea, namun dalam area padang ini tampak dua benda utama, arca yang berdiri dekat dengan jalan masuk, dan sebuah kalamba agak di kejauhan di sebelah kiri.
"Tadulako artinya panglima", terang Arnol.
Arca Tadulaku setinggi sekitar dua meter, tampak berdiri tegak menghadap arah utara, arah kedatangan kami. Berwajah seperti mengernyit, bentuk kepala arca ini seperti memakai tutup atau hiasan kepala.
Dari kejauhan saya segera tertarik sesuatu di atas kepala arca ini. Bertengger seekor burung yang saya kenal, ala-alap sapi atau Falco moluccensis, sejenis burung pemangsa kecil yang tersebar luas di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, sampai ke Jawa sana.
Walaupun menurut BPCB Gorontalo, di situs ini terdapat 11 kalamba dan 2 tutup kalamba, 2 arca, dan belasan tinggalan megalitik lainnya, namun hanya beberapa yang terlihat oleh saya. Entahlah yang lain ada di mana.
Benda yang menarik bagi saya juga adalah, sebuah lempeng batu bergurat dan berlubang-lubang kecil. Mungkin ini yang disebut batu dakon, atau alat yang diperkirakan berfungsi sebagai alat menghitung hari atau sistem penanggalan atau mungkin juga sebagai alat pemujaan.
Baca juga: Berjumpa Loga di Bada
Dalam Alang-Alang
Langit makin membiru, tentu cuaca juga makin memanas. Sebelum kembali ke penginapan di Doda, Arnol mengajak saya ke dua buah situs lain.
Sembari dalam perjalanan, Arnol sedikit protes kepada saya.
"Ini Lembah Behoa pak, bukan Besoa", tegasnya ketika saya salah bicara.
"Tapi saya banyak mendengar dan membaca orang menyebut sebagai Besoa", tangkis saya.
"Ya, saya tidak tahu kenapa, tapi kami di sini, menyebut lembah ini sebagai Behoa, bukan Besoa".
Baiklah, kata saya dalam hati. Kita memang patut menghormati istilah-istilah setempat, sambil berharap saya tidak salah bicara lagi.
Kami berhenti di bawah pohon mangga yang rindang, di samping pintu air irigasi, anak Sungai Torire yang mengalir jernih. Sebuah lumpang, yang pasti ini tinggalan megalitik juga, berada tak jauh dari pangkal mangga ini.
Kami berjalan menuju satu situs tanpa plank nama, yang disebut oleh Arnol sebagai Idana atau dalam bahasa Behoa berarti "di dalam alang-alang". Memang, di sanalah terbaring sebuah arca, sekitar 1,5 meter yang memang hampir tertutup alang-alang di sekitarnya.
Di salah satu sisi Lapangan Desa Doda, kami sempat mampir sejenak di depan Situs Rumah Adat Tambi, rumah khas di dataran Lore ini. Tambi merupakan rumah panggung dengan tiang penyangga yang pendek dan tingginya tidak lebih dari satu meter. Â
Menjelang siang kami kembali ke Penginapan Berkat, bersamaan saat Om Donatus mulai memanaskan mobil kami. Kami pun bersiap kembali ke Palu.
Saya tidak menamakan ini sebuah wisata, tapi lebih menyebutnya sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan, sebuah rangkaian perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, yang menggugah saya untuk kembali mencari tahu dan menambah tahu tentang banyak hal, bukan sekadar yang saya lihat di mata telanjang saya.
Namun yang pasti, jika saya kembali ke Lembah Behoa yang menakjubkan ini, maka saya tak ragu untuk kembali ke Pokekea dan Tadulako yang mempesona ini.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H