Kami berhenti di bawah pohon mangga yang rindang, di samping pintu air irigasi, anak Sungai Torire yang mengalir jernih. Sebuah lumpang, yang pasti ini tinggalan megalitik juga, berada tak jauh dari pangkal mangga ini.
Kami berjalan menuju satu situs tanpa plank nama, yang disebut oleh Arnol sebagai Idana atau dalam bahasa Behoa berarti "di dalam alang-alang". Memang, di sanalah terbaring sebuah arca, sekitar 1,5 meter yang memang hampir tertutup alang-alang di sekitarnya.
Di salah satu sisi Lapangan Desa Doda, kami sempat mampir sejenak di depan Situs Rumah Adat Tambi, rumah khas di dataran Lore ini. Tambi merupakan rumah panggung dengan tiang penyangga yang pendek dan tingginya tidak lebih dari satu meter. Â
Menjelang siang kami kembali ke Penginapan Berkat, bersamaan saat Om Donatus mulai memanaskan mobil kami. Kami pun bersiap kembali ke Palu.
Saya tidak menamakan ini sebuah wisata, tapi lebih menyebutnya sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan, sebuah rangkaian perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, yang menggugah saya untuk kembali mencari tahu dan menambah tahu tentang banyak hal, bukan sekadar yang saya lihat di mata telanjang saya.
Namun yang pasti, jika saya kembali ke Lembah Behoa yang menakjubkan ini, maka saya tak ragu untuk kembali ke Pokekea dan Tadulako yang mempesona ini.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H