Dari kejauhan saya segera tertarik sesuatu di atas kepala arca ini. Bertengger seekor burung yang saya kenal, ala-alap sapi atau Falco moluccensis, sejenis burung pemangsa kecil yang tersebar luas di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, sampai ke Jawa sana.
Walaupun menurut BPCB Gorontalo, di situs ini terdapat 11 kalamba dan 2 tutup kalamba, 2 arca, dan belasan tinggalan megalitik lainnya, namun hanya beberapa yang terlihat oleh saya. Entahlah yang lain ada di mana.
Benda yang menarik bagi saya juga adalah, sebuah lempeng batu bergurat dan berlubang-lubang kecil. Mungkin ini yang disebut batu dakon, atau alat yang diperkirakan berfungsi sebagai alat menghitung hari atau sistem penanggalan atau mungkin juga sebagai alat pemujaan.
Baca juga: Berjumpa Loga di Bada
Dalam Alang-Alang
Langit makin membiru, tentu cuaca juga makin memanas. Sebelum kembali ke penginapan di Doda, Arnol mengajak saya ke dua buah situs lain.
Sembari dalam perjalanan, Arnol sedikit protes kepada saya.
"Ini Lembah Behoa pak, bukan Besoa", tegasnya ketika saya salah bicara.
"Tapi saya banyak mendengar dan membaca orang menyebut sebagai Besoa", tangkis saya.
"Ya, saya tidak tahu kenapa, tapi kami di sini, menyebut lembah ini sebagai Behoa, bukan Besoa".
Baiklah, kata saya dalam hati. Kita memang patut menghormati istilah-istilah setempat, sambil berharap saya tidak salah bicara lagi.