Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sepotong Pelangi Senja di Tengah Danau Lindu

13 Desember 2021   15:08 Diperbarui: 14 Desember 2021   19:56 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kabin nakhoda pada kapal angkutan di Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)

2021, Danau Lindu, Sulawesi Tengah

Tak selamanya perjalanan melintasi sebuah danau hanya menggunakan perahu-perahu kecil. Dari belasan danau di Indonesia yang pernah saya kunjungi, hanya sedikit yang saya telusuri bahkan seberangi. Namun, pada satu danau di Sulawesi Tengah, saya menyeberangi danau tersebut menggunakan perahu yang cukup besar, yang bahkan bisa dimuati beberapa mobil.

---

Kami berjumpa Edo, kawan kami yang asli Lindu, ketika dia masih sarapan di rumah makan kecil, tepat di sebelah kiri sebelum masuk ke lorong Dermaga Pelabuhan Desa Tomado, tepat di tepi Danau Lindu yang melegenda di Sulawesi Tengah.

Kami semalam menginap di guest house Taman Nasional Lore Lindu di Desa Tomado. Hanya berjarak sekitar setengah kilometer dari Dermaga Tomado ini.

Terdapat lima desa di sekitar Danau Lindu, dalam satu Kecamatan Lindu, di Kabupaten Sigi. Empat desa saling berdampingan, yaitu Puroo, Langko, Tomado, dan Anca. Sedangkan satu desa lagi, Olu, berada di seberang permukiman utama.

Menggunakan mobil dari Palu, kemarin kami menempuh sekitar 60 kilometer dalam dua jam lebih perjalanan sampai di pertigaan Dusun Sadaunta. Dari Sadaunta ini, perjalanan masih dapat dilakukan dengan mobil walaupun jalan tidak beraspal selama sekitar satu jam, menempuh sejauh hampir 15 kilometer untuk sampai ke Desa Tomado ini.

Baca juga: Menuju Moa, Melintasi Hutan Tua dan Sungai-sungai nan Jernih

---

Kapal angkutan yang siap berangkat dari Pelabuhan Tomado menuju Olu, melintasi Danau Lindu. (@Hanom Bashari)
Kapal angkutan yang siap berangkat dari Pelabuhan Tomado menuju Olu, melintasi Danau Lindu. (@Hanom Bashari)

Di ujung dermaga, sebuah kapal kayu yang cukup besar, yang kami pesan semalam, telah terparkir di sisi kiri, sendiri. "Mereka sudah di sini sejak habis subuh Mas", terang Edo kepada saya setelah dia menyelesaikan sarapannya.

Kami berjalan menyusuri dermaga kayu yang beberapa alas papannya penuh tambalan. Terdapat semacam ruang tunggu yang cukup luas di tengah bangunan dermaga ini, dengan bangku-bangku permanen dari kayu bercat putih, yang terlihat masih kokoh. Sebagian orang duduk di ruang tunggu, entah menunggu apa.

Bagian tengah pada kapal angkut Tomado - Olu, di Danau Lindu Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari) 
Bagian tengah pada kapal angkut Tomado - Olu, di Danau Lindu Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari) 
Saya berdiam beberapa saat di depan pintu masuk kapal. Teman kami mulai berdatangan satu persatu dengan sepeda motor mereka, dan tanpa menunggu komando segera memasukkan motor-motor mereka ke dalam kapal yang hanya dipepetkan ke tepi jembatan dermaga.

Motor diparkir dalam kapal sembarangan, mungkin karena lengang, bercampur dengan belasan sak semen yang bertumpuk di beberapa sudut kapal.

Pagi akhir Oktober di Danau Lindu, matahari bersinar cerah. Langit biru memantul syahdu di permukaan danau yang terhampar tenang. Sudah pukul tujuh seperempat. Rombongan kami tidak banyak, dan karena kami menyewa khusus kapal ini, maka kapal pun segera bersiap berangkat ketika kami sudah lengkap.

Hanya dua anak buah kapal yang mengoperasikan kapal ini. Mesin kapal telah dinyalakan. Salah satu anak buah kapal segera sibuk ke sana ke mari di pinggir jembatan dermaga, melepaskan beberapa tambatan tali kapal. Tak berapa lama dia pun meloncat masuk ke dalam kapal, dan kapal segera bertolak menuju sisi danau bagian timur, menuju Desa Olu.

Kapal melaju santai. Kami hanya berlima plus dua ABK tadi. Deo, salah satu teman kami segera membaringkan diri di salah satu papan tempat duduk, pada sisi kapal yang teduh, menutupi muka dengan topi rimba abu-abunya. Entah benar-benar tidur atau tidak, atau sekadar menidurkan diri karena takut mabuk kapal.

Saya diajak Edo untuk masuk ke kabin nakhoda. Alunan "Suci dalam Debu" menggema keras dari speaker-salon aktif yang cukup besar, dalam ruangan kecil sang nakhoda. Sementara Idris, sang juru mudi, terlihat duduk santai mengendalikan kapal sambil melihat ke luar jendela kecil yang ada di hadapannya.

Suasana kabin nakhoda pada kapal angkutan di Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)
Suasana kabin nakhoda pada kapal angkutan di Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)

"Sebenarnya tidak ada kapal pagi dari Tomado menuju Olu. Semua kapal berasal dan menginap di Olu. Sekitar jam tujuh mereka baru berangkat dari Olu dan akan kembali ke Olu dari Tomado sore nanti", Idris menjelaskan rute kapal ke saya setelah suara musik sedikit dikecilkan.

Menurut dia, ada lima kapal seperti ini, namun saat ini hanya empat yang aktif. Dalam satu hari, hanya sekitar dua atau tiga kapal yang beroperasi. Kapal yang kami tumpangi ini kami sewa, sehingga mereka berangkat subuh tadi menuju Tomado.

Hamparan permukaan danau terlihat sangat tenang. Beberapa perahu kecil bermesin ketinting melaju berlawanan arah kami. Seperti kata Idris tadi, kami pun berpapasan dengan kapal serupa dari arah Desa Olu menuju Tomado, sesuai jadwal yang dia katakan.

Dalam perjalanan, saya teringat dengan legenda Danau Lindu ini yang pernah diceritakan teman-teman saya sebelumnya. Tentang belut atau lindu raksasa, yang bertarung melawan serbuan anjing-anjing selama tujuh hari tujuh malam hingga sang lindu menembus gunung yang mengeluarkan air, yang pada akhirnya membentuk danau ini.

Dari atas kapal yang melaju tenang, saya santai memperhatikan bukit-bukit hijau membiru berlapis-lapis di sisi utara dan barat danau, yang menjadi bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu. Sementara di sisi timur, matahari menghalangi mata dari hamparan rawa-rawa nan luas, muara Sungai Kangkuro, salah satu dari belasan sungai inlet dari danau ini.

Danau Lindu dan hamparan perbukitan dalam Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari) 
Danau Lindu dan hamparan perbukitan dalam Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari) 

Danau Lindu dan area di sekitarnya, merupakan enclave yang dikelilingi oleh kawasan Taman Nasional Lore Lindu, yang juga menjadi bagian dalam Cagar Biosfer Lore Lindu. Area ini memang ditujukan selain untuk konservasi keanekaragaman hayati, juga sebagai contoh pembangunan berkelanjutan, berdasarkan atas upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal.   

---

Kapal ini cukup besar, dengan lebar sekitar 4 meter dan panjang lebih dari 10 meter. Menurut Idris, kapal ini dapat menampung sekitar 10 motor dan bahkan 3 mobil.

"Penumpang pembawa satu motor membayar 25 ribu" terang Idris ketika kami di dalam kabin dia tadi. Sebagian besar penduduk di Olu juga membawa hasil bumi untuk dijual di Tomado atau sampai ke Palu, menggunakan kapal ini. Satu karung coklat misalnya, dikenakan biaya 5 ribu rupiah, sama seperti harga tiket satu orang penumpang.

Coklat memang merupakan komoditas hasil bumi utama dari Olu dan Lindu secara umum, selain tentunya hasil perikanan darat dari danau ini. Namun sayang, hasil perikanan darat yang melimpah dari danau ini umumnya adalah dari jenis mujair dan nila, dua jenis ikan yang sesungguhnya termasuk ikan predator, yaitu ikan asing yang bersifat invasif dan memangsa ikan-ikan lokal.

Baca juga: Menyaksikan Mo'hangu, Tradisi Unik Memanen Ikan Khas Lembah Bada di Sulawesi Tengah

Danau Lindu dengan luas sekitar 3,4 ribu hektar, merupakan danau kedua terluas di Sulawesi Tengah, setelah Danau Poso. Dengan kedalaman konon mencapai 200 meter, danau ini berada pada ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.

Danau ini digolongkan sebagai danau tektonik atau terbentuk akibat pergerakan lempeng kulit bumi. Tak heran, karena danau ini sendiri berada di wilayah sesar Palu-Koro yang membelah Sulawesi bagian tengah.

---

Hampir satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di dermaga Pelabuhan Desa Olu. Jarak dari Tomado ke Olu sekitar 6 kilometer, menurut GPS yang saya bawa.

Jembatan dermaga beton tampak memanjang dari kejauhan, namun ternyata kapal justru merapat di dermaga kayu, tepat di sebelah dermaga beton tersebut.

"Dermaga rusak akibat gempa 2018 lalu. Lihat, ada bagian yang patah di tengah dermaga", jelas Edo kepada saya.

Di dermaga, kami telah ditunggu oleh Pak Jabir, penduduk Olu yang akan mengantar kami ke lokasi-lokasi penanaman oleh kelompok di Desa, yang bekerja sama dengan Balai TN Lore Lindu.

Dari dermaga, saya dibonceng motor oleh Edo, melintasi sedikit jalanan yang tergenang air danau, sampai akhirnya sampai dan melewati jalan beton selebar sekitar satu meter menuju pusat desa. Kami melintasi persawahan masyarakat yang mulai menguning dan perahu-perahu kecil para nelayan danau yang terparkir di kanan kiri jalan.

Menurut Edo, persawahan ini umumnya milik warga Tomado. Warga Desa Olu yang umumnya pendatang lebih banyak bertani coklat dan hasil bumi lainnya.

Persawahan yang terhampar ketika mulai memasuki Desa Olu, di tepi Danau Lindu Sulawesi Tengah (@Hanom Bashari) 
Persawahan yang terhampar ketika mulai memasuki Desa Olu, di tepi Danau Lindu Sulawesi Tengah (@Hanom Bashari) 
---

Menjelang sore, tugas kami di Olu telah selesai. Saya, Kamaluddin, dan teman-teman lain dari taman nasional, singgah sebentar di rumah Pak Jabir, menengok usaha budidaya lebah madu milik kelompok. Sayang, belum ada hasil yang bisa kami beli.

Setelahnya, kami menyempatkan pula singgah di rumah Pak Kades, ngobrol santai, membicarakan isu terkait taman nasional, mencicipi seduhan kopi khas Lindu dari Ibu Kades, dan tak lupa membeli biji kopi yang telah disangrai sebagai oleh-oleh.

Pukul empat lewat, kami menuju dermaga. Kapal tadi pagi telah menunggu di dermaga. Air danau sedikit naik, ditandai dengan makin meluasnya area yang tergenang di sekitar dermaga. Sementara itu, beberapa anak muda sibuk dengan kapal-kapal kecil mereka pinggir danau.

Dermaga Desa Olu di kejauhan dan beberapa kapal nelayan danau yang terparkir di tepi Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)
Dermaga Desa Olu di kejauhan dan beberapa kapal nelayan danau yang terparkir di tepi Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)

Hampir setengah lima, kapal akhirnya bergerak dari dermaga Olu menuju Tomado. Angin bertiup kencang. Air danau sore ini tampak kecoklatan, cukup berombak, kontras dengan suasana pagi tadi yang tenang dan membiru. Beberapa burung elang bondol tampak di kejauhan berburu ikan di tengah danau.

"Di mana outlet danau ini?", tanya saya.

"Itu" hampir serentak Pak Kamal dan Pak Jabir menunjuk salah satu pojok di bagian utara danau. "Sungai Rawa, anak Sungai Palu dan akan bermuara sampai di Teluk Palu", tambah Pak Kamal.

Kapal melaju sama santainya seperti pagi tadi, sekitar 6 kilometer per jam. Hujan setengah lebat tiba-tiba turun ketika saya duduk asyik di muka kapal menikmati sore di danau ini. Sedikit basah, akhirnya saya pindah ke bagian tengah kapal. Deo tetap membaringkan diri di salah satu sisi kapal seperti tadi pagi.

Langit agak menggelap mendung, walau matahari masih bersinar terang di sisi barat. Tak berapa lama, muncullah pelangi yang selalu mempesona di arah timur danau. Hujan sepertinya tidak merata, karena pelangi hanya muncul sepotong. Sepotong keindahan, cukuplah melengkapi sore kami ini.

Sepotong pelangi senja di tengah Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari) 
Sepotong pelangi senja di tengah Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari) 
Hujan rintik pun berhenti tak lama. Danau sedikit menenang, matahari makin meredup. Pelangi tidak sempurna tadi tak lama ikut menghilang. Saya sendiri masih gelisah karena masih belum menunaikan sholat Asar.

Dermaga Tomado telah tampak di kejauhan. Di sisi kiri, tampak Pulau Bolaa tempat makam tua Maradindo, yang diperkirakan berumur 500 tahun. Salah satu cagar budaya di dataran Lindu ini.

Perbukitan dalam kawasan TN Lore Lindu di sisi selatan Danau Lindu, terlihat dari tengah danau di sore hari. (@Hanom Bashari)
Perbukitan dalam kawasan TN Lore Lindu di sisi selatan Danau Lindu, terlihat dari tengah danau di sore hari. (@Hanom Bashari)

Baca juga: Ke Bada Lagi, Berjumpa Arca-Arca Megalitik Nan Misterius

Alhamdulillah kami tiba di dermaga Tomado dengan aman dan selamat. Saya setengah berlari menuju pinggir dermaga, dan bertemu teman lain yang kebetulan berada di sana. Segeralah diantar ke tempat kami menginap.

Perjalanan di Danau Lindu ini memang hampir tampa gejolak. Tentu menyenangkan melintasi dan menyaksikan ketenangan danau ini. Dari sedikit danau yang pernah saya kunjungi, apalagi saya seberangi, saya tak ragu untuk mengatakan bahwa Danau Lindu merupakan salah satu danau terindah yang pernah saya lihat. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun