Kegiatan mo'hangu biasanya dilakukan secara perorangan untuk mendapatkan kebutuhan lauk pauk bagi keluarga, tetapi juga seringkali  dilakukan secara komunal pada acara-acara tertentu.
Mo'hangu secara komunal biasanya dilakukan menjelang akhir tahun di suatu tempat atau kolam  alami milik desa dengan melibatkan desa-desa tetangga.
Melewati sedikit kerumunan masyarakat di jalan setapak, kami akhirnya tiba di tepi kolam. Sebagai tamu undangan, kami dipersilakan menuju sabua atau tempat berteduh kecil, yang terbuat dari panggung kayu, tepat di tengah kolam. Sabua ini dihubungkan dengan jalan dari papan-papan yang bersambung sebagai jembatan.
Kanan kiri saya tampak air kolam jernih bercampur dengan beberapa rerumputan liar yang masih tersembul dari dasar kolam. Tampak ikan-ikan nila sebesar telapak tangan berseliweran. Sesekali ikan mas merah melintas. Wah, pasti ramai ini nanti.
Sekitar pukul sembilan pagi, setelah pembacaan doa dan sedikit seremoni, akhirnya aba-aba berkumandang. Para peserta segera berhambur memasuki area kolam.
Hanya dua alat tangkap yang diperkenankan untuk digunakan, yaitu hangu dan pehao. Hangu berbentuk semacam kurungan terbuat dari bambu, berdiameter sekitar 50cm.Â
Alat ini digunakan oleh peserta laki-laki. Untuk wanita atau ibu-ibu, mereka menggunakan pehao, semacam saringan keranjang yang juga terbuat dari bambu dengan diameter hampir sama, sekitar 50cm.
Beberapa hari sebelum mo'hangu ini dimulai, para calon peserta diminta untuk membayar semacam tiket. Penggunaan satu hangu diharuskan membayar 100 ribu rupiah, sedangkan pehao 50 ribu rupiah. Tiket ini dibayarkan kepada pengelola kolam sebagai pihak yang mengelola dan memelihara ikan di kolam tersebut.
Satu buah hangu dapat dipakai oleh berapa orang. Namun umumnya yang datang merupakan keluarga dan anak-anak muda.Â
Berbekal hangu atau pehao, ditambah karung kecil tempat menampung ikan hasil tangkapan nantinya, mereka akhirnya turun setelah aba-aba tadi berkumandang.