Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menyusuri Sungai Bone di Gorontalo dan Hancurnya Rakit Bambu Kami

26 September 2021   20:12 Diperbarui: 30 September 2021   15:11 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakkan rakit bambu kami yang akhirnya hancur dalam perjalanan menyusuri Sungai Bone. (@Hanom Bashari)

2018. Pinogu -- Gorontalo

Misi kami gagal total. Awalnya dengan semangat 45 di pagi hari awal September, kami akan menuju salah satu lokasi peneluran maleo -- burung khas Sulawesi, yang ada di salah satu tempat yang paling jarang dikunjungi, dan konon penuh dengan hal-hal mistik. Lokasi tidak ditemukan dan kami pun hampir celaka.

---

Malam ini kami menginap di rumah singgah Pohulongo, di tepi Sungai Bone, di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, yang berada di wilayah Provinsi Gorontalo.

Tanam Nasional Bogani Nani Wartabone adalah kawasan konservasi daratan terluas di Sulawesi, 282 ribu hektar lebih. Maleo adalah satwa khas Sulawesi yang menjadi flagship konservasi kawasan ini.

Pak Djaka dan Kak Madi adalah dua warga dari enclave Pinogu, yang berada sekitar lima kilometer dari tempat kami menginap ini. 

Mereka berdualah yang mengurus rumah singgah ini, tempat para ojek-ojek lintas kawasan yang hilir mudik mengatar penumpang dari Pinogu menuju Tulabolo, desa terdekat dari enclave yang bejarak lebih dari 30 kilometer.

Baca juga: Membelah Danau Tempe, Menyaksikan Sisa Kehadiran Para Pelintas Samudra

---

Sungai Bone dan jembatan gantung Tulabolo, satu-satunya pintu masuk ke jalur trekking Tulabolo - Pinogu di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo. (@Hanom Bashari)
Sungai Bone dan jembatan gantung Tulabolo, satu-satunya pintu masuk ke jalur trekking Tulabolo - Pinogu di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo. (@Hanom Bashari)

Pagi hari ini, istri Kak Madi telah menyiapkan sarapan untuk kami bertujuh yang akan berangkat ke lokasi misterius ini. Tak lupa, kami pun membungkus bekal untuk makan siang.

Setelah sarapan, kami bertujuh berangkat. Saya, Pak Taufik, Kak Madi, Halim, Ardin, Dani, dan Fikri.

September ceria dan cerah menemani kami pagi ini. Kami menyeberangi jembatan gantung Pohulongo sepanjang 60an meter. Namanya jembatan gantung, tentu bergoyang-goyang kanan kiri. Setelahnya, naik bukit sedikit, kemudian kami berbelok ke arah kiri.

Kami terus berjalan tak jauh dari tepi Sungai Bone di sebelah kiri. Beberapa sungai kecil diseberangi, menyusuri beberapa punggungan bukit yang hanya selebar tapak kaki dengan kanan kiri jurang, menerabas hutan, serta tertatih mendaki bukit berbatu yang tidak nyaman. Kami akhirnya tiba di tempat tujuan, menurut perkiraan Ardin.

Ternyata tempat ini bukan yang kami harapkan.

Tempat yang kami datangi ini hanyalah hamparan hutan biasa, penuh dengan pepohonan. Beberapa beringin besar menghunjam mantap.

Setelah putar kanan kiri, tidak ada tanda-tanda di sini ada lokasi peneluran maleo yang ciri khasnya sangat kami kenal semua. Gagal total. Kami pun kembali ke sungai kecil terakhir yang kami jumpai.

Kami makan siang di dekat sungai, di bawah pohon Eucalyptus dengan batangnya yang besar dan berwarna loreng tentara. Setelah makan, kami putuskan untuk kembali saja.

Kami tidak bisa meneruskan menjelajahi area ini untuk mencari lokasi peneluran maleo lebih lanjut karena tidak ada persiapan menginap. Akhirnya kami berjalan gontai, tapi tidak loyo-loyo amat, karena habis makan.

Sekitar jam tiga sore, kami tiba di suatu tempat, tepi sungai, dengan pasir dan bebatuan besar kecil berserakan, serta naungan pohon rindang. Adem dengan angin sejuk menghanyutkan mata.

Intinya, tempat ini enak sekali buat istirahat sejenak, sekadar minum kopi atau teh hangat. Kami pun duduk di sini berleha.

"Ayo, kita jalan lagi", instruksi Pak Taufik, ketua rombongan kami yang juga ranger taman nasional ini.

Dengan malas-masalan kami pun segera mulai berdiri. Saya tidak ingat, siapa yang memulai duluan berbicara tentang ide ini.

"Bisakah kita menyusuri kuala ini menggunakan rakit saja?"

"Iyo, so lelah sekali rasa ini", sambung yang lain.

"Banyak bambu juga di sini Pak Taufik", teriak Ardin yang selalu bersemangat.

Salah satu sudut Sungai Bone, saat kami mempersiapkan rakit bambu kami. (@Hanom Bashari)
Salah satu sudut Sungai Bone, saat kami mempersiapkan rakit bambu kami. (@Hanom Bashari)

Setelah pertimbangan sedikit yang tidak jelas, akhirnya diputuskanlah kami melanjutkan perjalanan menggunakan rakit bambu. Saya tidak ingat persisnya, mungkin masih sekitar 3-4 kilometer sampai ke lokasi kami menginap di Pohulongo.

Jelas, keputusan ini prematur. Dalam sebuah perjalanan, terlebih di hutan, memang butuh inovasi dalam melihat segala situasi. Namun tetap perjalanan yang direncanakan dengan baik sangatlah penting. 

Akhirnya pekerjaan baru pun dimulai: membuat rakit bambu yang mampu mengangkut kami bertujuh beserta barang-barang kami semua.

Kak Madi, Halim, dan Ardin dengan lincah memotong puluhan batang-batang bambu hijau dan besar berdiameter  sekitar 15 sentimenter. Sedangkan Pak Taufik dengan cekatan langsung membuat tali-tali untuk mengikat rakit kami nanti dari rautan belahan rotan.

Sisanya kami bertiga sisanya, lebih banyak menjadi buruh kasar karena tidak memiliki kemampuan  yang memadai. Kami hanya ikutan mengangkat bambu ke tepi sungai atau cuma bengong menonton pekerjaan teman kami yang lain.

Kak Madi dan Ardin selalu beradu pendapat dalam membuat konstruksi rakit ini. Kami tentu lebih mempercayai Kak Madi. Selain soal umur, juga jelas beliau begitu cekatan dan terlihat terampil untuk membuat rakit ini.

Sekitar satu jam berlalu, rakit berukuran sekitar 1,5 x 4 meter persegi, pun akhirnya jadi. Sepertinya bagus dan kuat. Di bagian tengah dibuat tiga tiang penyangga untuk mengantung tas-tas kami.

Penampakkan rakit bambu kami yang akhirnya hancur dalam perjalanan menyusuri Sungai Bone. (@Hanom Bashari)
Penampakkan rakit bambu kami yang akhirnya hancur dalam perjalanan menyusuri Sungai Bone. (@Hanom Bashari)
Barang-barang yang tidak boleh kena basah seperti kamera, hape, dan dompet, telah kami bungkus terlebih dahulu dengan plastik di dalam tas. Seluruh tas digantung di tengah-tengah.

Bismillah, perjalanan dimulai. Idealnya perjalanan ini akan nikmat. Kita dapat menikmati susuran Sungai Bone yang jernih, dengan kanan kiri tebing berhutan. Ditambah angin semilir dan sore yang tidak panas.

Bayangan kami, persis seperti film-film mandarin klasik dengan jagoan kungfunya bercaping lebar, naik di atas rakit bambu. Namun sayang, bayangan indah memang hanya buat dikhayalkan.

Belum berapa lama, rakit kami sudah menunjukkan tanda-tanda ketidak-stabilan. Bobot kami yang begitu besar tampaknya menyebabkan rakit tidak lincah bergerak melewati batu-batu besar. Kak Madi sebagai juru mudi, tak kuasa mengendalikan rakit ini dengan benar.

Entah seberapa sering sebagian dari kami harus turun dan berjalan di tepi sungai, ketika sungai mendangkal.

Tak terasa, keindahan sore makin menghilang. Cahaya makin meredup dan kami belum juga sampai setengah perjalanan. Gelisah mulai muncul sampai akhirnya gelap pun tiba. Senter yang kami punya hanya seadanya, tapi sudah dipersiapkan.

Ketegangan terjadi ketika kami melewati beberapa jeram dan lubuk sungai. Sejatinya ini menguntungkan untuk rakit melaju, namun sebagain besar daerah tersebut berada di tikungan sungai dengan arus yang menabrak tebing batu. Salah kendali, kami juga bisa ikut menabrak tebing tersebut.

Satu kali, keadaan begitu panik. Dalam gelap, perahu tidak bisa bergerak maju, apalagi mundur. Halim dan Kak Madi sudah berusaha mendorong rakit dengan bilah-bilah bambu. Ternyata rakit tersangkut di batu besar.

"Jangan ada yang turun, tetap di rakit semua" teriak Pak Taufik. Awalnya kami ingin turun juga.

"Coba tongka lagi, Kak Madi"

"Susah Pak", jawab Halim.

"Yang lain tetap di atas", tiba-tiba Ardin dan Halim sudah menyebur ke aliran sungai yang tampak dalam ini. Mereka berenang lincah dan mencoba mendorong miring rakit kami.

Tiba-tiba "byur...", teman saya Fikri ikut mencebur masuk ke sungai.

"Woii... siapa itu nyebur"

"Fikri", teriak kami.

Ardin cepat mencari. "Fikri cepat naik, jangan ikut nyebur" teriak Ardin.

Fikri yang sempat tidak terlihat baik di air maupun di atas rakit akhirnya muncul ke permukaan sungai dan segera kami tarik lagi ke atas rakit.

Akhirnya rakit kami tergeser juga. Beratnya menggeser rakit kami ini karena dorongan air yang kuat dari arah belakang dan rakit kami tertahan oleh dua batu besar. Gelap malam ini memang membuat batu-batu besar nan hitam juga ini tidak terlihat jelas walaupun menggunakan senter.

Setelah rakir berjalan normal, mulailah kami interogasi Fikri.

"Ngana tadi tajatuh atau sengaja nyebur" tanya kami.

"Sengaja pak, saya mau bantu dorong rakit".

"Jangan masuk ke sungai seperti itu Fik, di sini sering terlihat buaya, apalagi lokasi-lokasi dalam seperti tadi", terang Pak Taufik.

Waduh... itu sebabkan tadi Pak Taufik memperingatkan kami untuk tidak ikut masuk air. Tapi syukurlah, semua berjalan normal lagi tidak ada hal-hal buruk terjadi.

Tak terhitung akhirnya kami turun naik rakit. Ketika rakit akan melewati jeram dan lubuk sungai yang dalam dalam sebuah tikungan tajam, sebagian besar kami turun dan berjalan di area sungai yang lebih dangkal. Sementara Kak Madi dan Ardin membawa rakit berdua.

Sampai suatu saat, kami masih menunggu rakit kami yang berjalan memutar.

"Wooiii, cepat bantu... " kami segera berlari menuju Ardin yang berteriak.

"Rakit kandas.. patah..."

Kami segera lebih bergegas. Kak Madi berusaha mempertahankan rakit agar tidak hanyut. Ardin mengambil tas-tas kami di atas rakit, mengoper ke kami ber-estafet. Setelah semua tas terselamatkan, Kak Madi segera melepas rakit hanyut.

Kami memandangi rakit kami kembali, melucur menghantam batu besar dan berhenti tertahan, patah jadi dua. Habislah riwayat.

"Tinggal sedikit lagi kita sampai Pohulongo. Jalan kaki saja" terang Kak Madi.

Rumah singgah Pohulongo di dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone, tepat di sisi jembatan gantung Pohulongo, tempat para pejalan kaki maupun ojek singah beristirahat. (@Hanom Bashari)
Rumah singgah Pohulongo di dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone, tepat di sisi jembatan gantung Pohulongo, tempat para pejalan kaki maupun ojek singah beristirahat. (@Hanom Bashari)
Kami istirahat sejenak dalam kuyup dan dingin. Menghela napas. Berfoto sebagai kenangan, kemudian mulai berjalan menyusuri aliran sungai yang dangkal.

Tak terasa kami akhirnya melewati kebun-kebun durian tua di Pohulongo, tanda tempat menginap kami telah dekat. Bunga-bunga durian yang putih gading terhampar berguguran di atas tanah. Kepak kelelawar terdengar berseliweran. Ya, kelelawar memang penyerbuk alami durian.

Bersyukurlah daerah Pinogu, Pohulongo, dan Tulabolo. Kedekatan jarak permukiman ini dari hutan taman nasional, sekaligus menjamin kelangsungan produksi durian-durian lokal mereka, karena komunitas kelelawar masih banyak di hutan ini.

Hampir jam 9 malam akhirnya kami sampai di rumah singgah Pohulongo. Istri Kak Madi segera membuatkan kami teh dan kopi panas. Bergantian kami ke Sungai Bone kembali, mandi di tempat yang konon masih ada buaya ini.

Selama makan malam yang telat, kami bercerita seru dengan tim lain yang tetap di Pohulongo tadi pagi. Perjalanan di hutan memang harus direncanakan matang. Kami tentu tetap bersyukur, semua selamat tanpa cidera. Mungkin hanya tersisa pegal-pegal saja esok hari.

Lain kali, kami tetap ingin perjalanan dengan rakit bambu di tengah hutan, yang nikmat, mirip-mirip film kungfu mandarin itu. Kalau bisa melihat buaya dari jarak jauh, mungkin lebih seru.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun