Sambil sedikit ngobrol pelan, kami berhati-hati sambil memasang beberapa tripod kami, untuk dudukan kamera dan monokuler kami.Â
Beberapa burung cici padi yang kecil mungil dengan suara gemetarnya yang khas, main petak umpet di antara gelagah atau eceng gondok. Sementara tak jauh di atas kami, kelompok kirik-kirik laut terbang santai sambil berburu serangga melayang.
Menjelang sembilan pagi yang terasa lebih panas, kami kembali. Mengamati para nelayan danau yang mulai banyak berseliweran, entah dari permukiman di darat atau pun dari rumah-rumah apung ini.Â
Danau Tempe memang dikenal luas sebagai salah satu penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi.
Sementara kami menuju Sungai Walanae, beberapa elang tikus yang putih bersih dengan mata merahnya, bertengger di pucuk-pucuk tiang bambu, seperti tak terganggu dengan kehadiran manusia.Â
Memasuki kembali Sungai Walanae, kami masih sempat mengamati beberapa burung mandar berlarian di antara rerumputan tepi sungai. Sawah berganti permukiman. Kesibukan makin tinggi dalam lalu lintas sungai.
Sungai Walanae merupakan salah satu outlet dari Danau Tempe ini, yang bermuara di Teluk Bone di sisi timur, di Cenrana Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.Â
Sungai yang dapat mencapai lebar lebih dari 50 meter ini memang terlihat berfungsi sebagai jalur transportasi, khususnya yang melewati sisi barat laut kota Sengkang di Wajo.
Beberapa hari kemudian, saya kembali lagi ke danau ini. Kali ini dengan beberapa teman saya dalam rombongan lebih besar.Â
Ya tidak lain karena mereka mendengar cerita saya, bagaimana kemolekan danau ini, tidak bisa untuk dilewatkan bagi kami para pejalan, yang hanya mengunjungi daerah ini sesekali saja.Â
Singgah di rumah apung yang berpenghuni, disediakan pisang goreng oleh penghuninya, dan terasa damai dan nyaman. Benar, pagi hari di sini sungguh indah dan menawan.*