Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Angin Barat, Kapal Kayu, dan Yamdena

25 Agustus 2021   11:01 Diperbarui: 26 Agustus 2021   16:03 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permukiman dan kapal-kapal kecil sebagai sarana angkutan masal di Pulau Yamdena, Maluku, 2005 silam (Hanom Bashari)

Tapi yang terpikir oleh saya saat itu adalah, jika masyarakat setempat saja, perempuan, anak-anak, bahkan laki-laki yang biasa melewati jalur laut ini, terlihat pucat dan muntah-muntah, sampai semuanya tanpa diperintah melantunkan doa, puji, dan mohon ampun terhadap Tuhan yang dipercaya masing-masing, tentulah kejadian ini tidak biasa. Kejadian ini sepertinya sudah bahaya. Ya, tapi saya tetap mencoba tenang.

Resep saya terbukti manjur. Rasa mual yang tadinya ikut bergejolak, lambat laun mulai dapat dikendalikan. Ombak masih menggila, gelombang silih berganti menghantam kapal, seakan kapal ini tidak maju-maju.

Saya sadari berhari-hari setelahnya, bahwa kapal kami memang memasuki tanjung selatan terluar dari Pulau Yamdena. Artinya, memang sebenarnya saat itu masih berlangsung angin muson barat. 

Kami yang berangkat dari dalam teluk tidak terlalu merasakan sensasi angin barat ini, karena tidak berhadapan langsung dengan laut lepas yang terhalang pulau. Ketika kami keluar dari teluk, kami juga masih dilindungi sedikit oleh gugusan pulau-pulau kecil lain sehingga angin dan ombak sudah terpecah.

Begitu kapal kami mau melewati tanjung terakhir, tidak ada lagi pelindung kami.  Angin dan gelombang pun bertemu dengan tekanan udara dan gelombang laut yang berlainanan, sehingga terjadilah kekacauan gelombang. 

Belum lagi, tanjung ini ternyata laksana pintu angin karena terhimpit oleh dua pulau. Angin dan gelombang dari lautan lepas memasuki celah sempit sehingga tentu tekanan makin membesar. Ditambah lagi ternyata bentuk kapal kami yang sedikit lebar, sehingga tidak gesit menghindar dan memecah gelombang. Jadilah kami bulan-bulanan gelombang.

Gerakan gelombang besar ini justru agak mereda ketika kami telah melewati tanjung selatan ini, berbelok ke arah utara. Angin masih kencang dan gelombang masih agak tinggi, namun terasa kapal mulai stabil. 

Lambat laut suara tangisan anak tidak ada lagi. Perbincangan biasa sudah mulai terdengar dari para penumpang, namun tentu bau menyengat tumpahan isi perut masih terasa.

Tidak beberapa lama setelah melewati tanjung tadi, ternyata ada kapal penumpang lain yang bergerak menyusul kami, dan akhirnya menyalip kapal kami. Sambil tertawa-tawa, beberapa penumpang kapal sebelah ini menunjuk kapal kami, seakan-akan mengejek.

Dari obrolan penumpang lain, saya mendengar bahwa kapal penumpang tadi juga sama tujuan dengan kami, namun berangkat jauh lebih lama setelah kami. Mereka bisa menyusul kami karena kapal tersebut terlihat lebih ramping sehingga lebih mudah lewati gelombang dahsyat tadi dan sekarang mulai meninggalkan kapal "gembrot" kami.

Duh, ini pengalaman pertama saya. Jika jelas-jelas ada dua kapal dengan tujuan sama, maka pilihlah kapal yang lebih ramping. Tapi tentu kepiawaian nahkoda juga menentukan. Di luar itu semua, kami tetap bersyukur, kami semua penumpang selamat, tidak ada yang celaka dan cidera, dan siap memasuki pelabuhan Latdalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun