2005. Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Perjalanan laut yang kami perkirakan hanya memakan waktu dua sampai tiga jam, tak disangka-sangka lebih lama dan merupakan perjalanan  yang begitu menegangkan. Dalam kapal kayu penumpang sempit yang pengap, suara ombak dan derikan kayu bercampur dengan suara tangisan anak-anak dan nyanyian senandung doa pujian para penumpang, tanda mereka takut dan sedang mengingat betul sang Khalik-nya.Â
Namun, tumpahan muntah manusia telah hampir memenuhi seluruh lantai kapal. Saya berpikir saat itu, jika memang masyarakat setempat saja telah merasa ngeri dengan situasi yang terjadi saat ini, apakah kami pendatang yang tidak tahu apa-apa mengenai lokasi yang sedang kami jalani ini, tidak boleh merasa takut juga?
---
Setelah beberapa pekan tiba di Kepulauan Tanimbar, akhirnya hari yang saya anggap akan menyenangkan tiba juga. Kami akan turun ke desa. Saat itu kami tinggal di Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Â Â Â Â Â Â Â
Saumlaki sendiri merupakan permukiman terbesar di Pulau Yamdena bagian selatan. Kota kecil di sisi barat Teluk Saumlaki. Yamdena merupakan pulau terbesar dan puluhan pulau di Kepulauan Tanimbar, yang merupakan salah satu pulau terluar Indonesia di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Australia.
Sabtu pagi itu, cuaca cerah, di sekitar awal Maret. Kami naik angkot biru milik Bu Jon tetangga kami, melewati pertokoan Plaza Saumlaki yang sesungguhnya hanya berupa kumpulan ruko-ruko dari berbagai toko kelontong.Â
Memasuki jalan menuju pelabuhan, di sebelah kanan kami tampak hamparan pasar Saumlaki yang ramai dengan mama-mama penjual sayur yang selalu sibuk mengoceh. Bau laut dan amis telah terasa sejak tadi.
Perlahan angkot kami berhenti. Beberapa perahu kayu berukuran sedang, panjang sekitar 10-15 meter berjajar tidak beraturan di pinggir salah satu sisi dermaga. Tidak ada penumpang, kecuali sedikit anak buah kapal (ABK) yang hilir mudik. Sesuai jadwal kapal yang saat itu tidak menentu, hari ini ada kapal yang menuju Desa Latdalam, salah satu desa di sisi barat-daya Pulau Yamdena.
"Yang mana kapal ke Latdalam, Bu", tanya saya ke salah satu ABK yang terlihat hilir mudik. "Bu" sendiri panggilan untuk laki-laki dewasa di Maluku, bukan berarti ibu. Dalam bahasa Indonesia, kita lebih sering mendengar istilah Bung. Pasangannya untuk perempuan dewasa, biasa dipanggil "Usi".