Cukup susah juga saya mencari informasi mengenai situs Watunongko ini di dunia maya. Tidak banyak keterangan yang beredar di Google. Menurut sumber berita yang saya peroleh, area yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya ini, baru saja dilakukan kajian zonasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo pada 2019 lalu.
Dalam website Kemendikbud, hanya disebutkan bahwa situs ini berbentuk kalamba terbuka dengan tutup terletak di samping kalamba. Dinding kalamba terdapat sebuah buah relief wajah dan terdapat cekungan seperti dakon sebanyak 10 buah dengan diameter antara 5 -- 8 centimeter. Tidak ada keterangan lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kalamba sendiri diartikan sebagai kubur batu peninggalan zaman megalitikum di Sulawesi Tengah. Namun oleh beberapa sumber lain, kalamba diartikan sebagai sebuah benda megalitik berbentuk seperti drum atau tong batu yang berbentuk silinder terpotong, yang umumnya ditemukan di situs megalitik di lembah Besoa. Dalam bahasa Besoa, kalamba diartikan sebagai perahu dan tutupnya disebut tuatena. Secara garis besar, wadah kalamba yang terdapat di situs ini tidak tertutup lagi, dan tutupnya berada di atas tanah di samping kalamba.
Kopi Napu yang beraroma
Setelah berpuas foto, menjelang siang, kami pun melanjutkan perjalanan. Tujuan perjalanan di lembah Napu ini telah selesai. Setelah dari sini, rencana kami akan segera menuju ke lokasi proyek FP III lainnya di Kecamatan Nokilalaki dan Palolo.
Sebagai penutup, Sisi mengarahkan kami ke Desa Banyusari. "Kalau mau beli kopi khas Napu, kita bisa beli di Ibu Sawin, di Banyusari. Keluarganya telah memproduksi kopi dari kebunnya sendiri". Wah, pas sekali.
Setelah jalan berliku dilalui dari situs Watunongko, dan makan siang di Desa Alitupu, kami pun menuju Desa Banyusari. Lembah Napu ini sebagiannya memang berisi warga pendatang, para transmigran, khususnya dari Bali. Sudah lebih dari dua generasi mereka di sini. Dugaan saya, mereka bertransmigrasi ke lembah Napu ini, paska Gunung Agung meletus di Bali pada 1963. Tapi entahlah, saya tidak mendapat informasi terperinci.
Rumah Bu Sawin ternyata cukup jauh dari permukiman utama desa, dekat perkebunan kopinya. Menjelang sampai, memang hamparan tanaman kopi terpampang luas. Di sela-selanya, terlihat pohon-pohon durian muda mulai menjulang.
Kami turun di samping pabrik pengolahan kopi yang masih dalam persiapan, yang dibangun oleh Pemda Kabupaten Poso. Bu Sawin segera menyambut kami, kemudian mengajak kami ke rumahnya. Wangi bunga kopi yang harum, sesekali menghempas hidung saya, dari perkebunan kopi di sekitar area ini.