Hawa panas Kota Palu yang mulai menyengat sebenarnya tidak begitu terasa oleh kami, karena kami berada di mobil, yang Alhamdulillah, ber-AC. Namun hamparan sinar yang begitu terang, dengan kepulan debu dari pinggir jalan maupun area kering terbuka ketika mulai keluar kota, cukup memberi gambaran suasana panas tersebut. Area yang lebih terasa sejuk di mata baru terlihat ketika mobil kami berbelok kiri di bundaran Bora.
Selanjutnya, area yang terlihat sejuk namun dengan jalan yang cukup berkelok-kelok mulai memberatkan mata kami, sehingga sebagian perjalanan kami habiskan dengan tertidur. Om Donatus, driver kami yang asli Flores ini, pun sepertinya sudah terbiasa dengan perilaku kami para penumpangnya ini.
Perjalanan di pertengahan Januari 2021 ini, saya bersama Pak Anchu, ditemani oleh Pak Sholeh dari Balai PDASHL Palu-Poso menuju desa-desa di wilayah Kecamatan Lore Utara dan Lore Peore di lembah Napu, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Walaupun dikatakan lembah, namun Napu sesungguhnya merupakan dataran tinggi, sekitar 1.000-1.500 meter di atas permukaan laut. Â Jika kita sedikit menengok peta, maka lembah Napu berada di arah tenggara dari Kota Palu, tepat di antara dua danau terpenting di Sulawesi Tengah, Danau Lindu dan Danau Poso.
Jalan menanjak dan berkelok mencapai puncaknya saat kami mendekati Danau Kalimpaa di kompleks area wisata Tambing, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Lore Lindu. Lokasi ini tepat di tepi jalan poros Palolo-Napu. Kami berhenti sebentar untuk istirahat di area dengan ketinggian 1.700 mdpl ini. Lokasi wisata Tambing tampak sepi karena memang telah ditutup sejak akhir November 2020 lalu karena masalah keamaanan paska aksi kriminal dan isu terosisme yang yang terjadi di salah satu desa dekat area ini.
Taman Nasional Lore Lindu sendiri merupakan salah satu taman nasional darat terluas di Sulawesi, yang mewakili keragaman hayati utama di hutan-hutan dataran rendah dan tinggi Sulawesi. Taman nasional seluas 215 ribu hektar ini adalah generasi kedua taman nasional di Indonesia, satu dari 11 taman nasional yang telah ditunjuk Menteri Pertanian (saat itu) untuk ditetapkan sebagai taman nasional, dalam Kongres Taman Nasional Dunia yang ketiga di Bali pada 1982 silam. Kawasan konservasi ini diharapkan dapat mempertahankan satwa-satwa ikonik Sulawesi, seperti maleo, julang sulawesi, anoa, babirusa, beragam tarsius, dan sebagainya.
Walaupun area wisata Tambing ini telah diumumkan ditutup secara luas, namun masih saja tampak beberapa anak muda (sepertinya dari Palu), dengan motor terparkir di pinggir jalan, duduk-duduk santai di rerumputan depan pagar area wisata ini. Memang area sekitar Tambing ini cukup sejuk, bahkan cenderung dingin.
Para pemuda ini terlihat menyalakan kompor gas mini, memasak sesuatu. Mungkin mereka masih berharap, petugas penjaga area ini iba melihat mereka dan memperbolehkan masuk untuk camping atau jalan-jalan di area tersebut. Kebetulan memang saat itu hari Sabtu, waktu biasa area ini terkenal ramai pengunjung. Namun, silakan berharap, tapi saya yakin petugas tidak akan membukakan pintu .
Kami meneruskan perjalanan dengan memulai penurunan yang tentu masih berkelok. Hutan-hutan nan lebat mulai menjarang, dan dalam hitungan menit, telah tampak hamparan lembah Napu di hadapan kami. Menjelang siang, kami memasuki gerbang Desa Sedoa, setelah perjalanan hampir 100 kilometer dari Palu.
Pada beberapa desa di lembah Napu inilah, proyek Forest Programme III Sulawesi (FP III) dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk mewujudkan pengelolaan lanskap Lore Lindu secara kolaboratif dan terpadu, baik dalam rangka konservasi keanekaragaman hayati maupun pengelolaan daerah aliran sungai pada lanskap ini.
PARA PEMBANGUN HUTAN
Sesaat kami memasuki gerbang gapura Desa Sedoa, kami segera menuju rumah Pak Salmon, seorang Kepala Dusun sekaligus ketua kelompok tani hutan Tomanutu yang mengembangkan Hutan Rakyat dalam proyek ini. Sesaat keluar dari mobil, kesejukan lembah Napu langsung terasa. Sebelum memasuki rumah Pak Salmon, Lanus, Sisi, dan Ida -- tiga dari puluhan para fasilitator desa yang tangguh dalam program kami ini -- Â telah menunggu.
Kami memasuki halaman rumah berdinding kayu tepat di samping lapangan luas. Terlihat jelas bahwa rumah ini pun tak luput dari hempasan demam "bunga" di pekarangan. Tampak puluhan pot dan polybag berisi tanaman hias tersusun rapih.
Tak berapa lama setelah dipersilakan memasuki rumah, kopi dan pisang goreng tiba-tiba saja sudah muncul, seperti telah dipersiapkan sebelumnya. Pak Salmon yang kecil namun energik ini pun mulai bercerita tentang perkembangan kelompoknya, kebun bibit yang telah dibangun kelompok, serta pupuk-pupuk kompos buatan kelompok secara mandiri -- tampak terlihat tumpukan karung berisi kompos ini di samping rumahnya -- yang sebagiannya telah siap untuk digunakan.
Kami berbincang di dalam rumah yang hangat. Sesekali saya ke luar rumah, memandangi perdesaan ini, dengan bukit berhutan lebat di sisi utara dan barat desa, yang merupakan kawasan taman nasional. Sementara di halaman depan rumah Pak Salmon, ditemani dua ekor anjing yang hilir mudik, seorang kakek sibuk mengikat anggrek hutan pada sebatang pakis kering.
Selanjutnya Kami beranjak menuju kebun bibit yang dibangun dan disiapkan sendiri oleh kelompok tani ini. Hamparan polybag berisi bibit seperti leda (Eucalyptus deglupta), kemiri (Aleurites moluccanus), dan alpukat (Persea americana) tampak berjajar rapih. Sebagiannya memang tampak belum tumbuh dengan baik, apalagi siap untuk ditanam. Tapi pemandangan ini memberian harapan kebehasilan.
Semangat Pak Salmon dan kelompoknya dalam membangun hutan di lanskap Lore Lindu ini membawa angin segar, bahwa sesungguhnya masyarakat dapat dilibatkan aktif bukan saja untuk menjaga hutan, tapi justru membangun hutan, yang hasilnya secara ekonomi kelak dapat mereka rasakan sendiri.
Lore Lindu selain sebagai sebuah taman nasional dan lanskap atau bentang alam, juga adalah nama sebuah Cagar Biosfer. Konsep cagar biosfer digagas oleh salah satu badan PBB, UNESCO, sejak 1971. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang dikelola dengan tujuan untuk mengharmonikan antara kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi yang berkelanjutan. Cagar biosfer yang ideal akan menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional.
Saat ini, Indonesia memiliki 19 cagar biosfer. Cagar Biosfer Lore Lindu sendiri adalah satu dari empat cagar biosfer pertama di Indonesia, yang ditetapkan sejak 1977. Sedangkan Taman Nasional Lore Lindu adalah zona inti dari cagar biosfer ini.
Perjalanan kami diteruskan menuju Desa Wuasa. Bertemulah kami dengan Pak Sayuti dan Pak Idris, dua orang pengurus kelompok tani hutan untuk agroforestry di desa ini. Seperti Pak Salmon sebelumnya, mereka pun bersemangat menceritakan perkembangan kelompoknya. Seperti kelompok lainnya, beberapa hal cukup menggembirakan. Sebagian bibit-bibit tanaman telah tumbuh cukup baik dan siap tanam, namun sebagian lagi masih butuh perawatan.
Bibit pohon leda dan lekatu (Duabanga moluccana), mereka cukup ambil di hutan dekat desa mereka, dipindahkan dalam polybag-polybag di kebun bibit, dirawat, sampai cukup layak tanam di kebun-kebun mereka nanti. Sedangkan tanaman perkebunan seperti kopi, kemiri, alpokat, durian, dan sebagainya, juga telah mereka pilih dan kembangkan di kebun bibit ini. Sebagian yang tidak dapat mereka produksi sendiri, Balai PDASHL Palu Poso yang membantu dalam pengadaannya.
Pendekatan agroforestry merupakan salah satu skema yang dikembangkan dalam proyek FP III ini. Kebun dengan hasil yang produktif diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif peningkatan pendapatan masyarakat di masa mendatang. Sedangkan kombinasi tanaman kayu-kayuan, diharapkan dapat membangun struktur dan strata kebun mereka menjadi serupa ekosistem hutan yang banyak manfaat, baik dari segi konservasi keragaman hayati maupun konservasi tanah dan air di area tersebut. Penguatan daeah aliran sungai atau DAS yang meliputi DAS Lariang dan DAS Palu merupakan salah satu tujuan utama proyek FP III ini.
Hal yang unik dari FP III ini adalah kentalnya prinsip partisipatif dan pendampingan. Pendekatan skema agroforestry tidak selamanya dipahami oleh semua masyarakat sekitar hutan. Mereka sangat tergantung oleh alam. Mereka butuh hasil perkebunan dan pertanian yang produktif, yang sesuai dengan pola atau kebiasaan usaha perkebunan mereka.
Skema agroforestry ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih sendiri, jenis-jenis pohon pertanian apa yang mereka butuhkan dan diinginkan. Proyek akan memfasiltasi kebutuhan bibit tersebut. Di sinilah peran Lanus, Sisi, Ida, dan kawan-kawan para fasiliator desa lainnya dalam proyek ini, untuk mendampingi dan menjembatani kebutuhan pengetahuan, keterampilan, dan keinginan masyarakat tersebut.
Proyek berusaha memfasiltasi kebutuhan bibit tersebut kemudian dikembangkan kembali dalam konsep pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat, dalam hal ini kelompok. Para anggota kelompok dibekali berbagai  pelatihan teknis, seperti pembuatan kebun bibit yang baik, pemilihan pohon indukan yang unggul, teknik sambung pucuk, pembuatan pupuk kompos, dan sebagainya.
Kelompok-kelompok ini pun akhirnya mengukur diri. Jenis-jenis yang mampu mereka produksi sendiri, maka mereka kembangkan sendiri dalam kebun bibit mereka. Sedangkan kekurangan jumlah dari target penanaman, mau tidak mau harus mereka beli dari pihak lain.
Pak Salmon, Pak Sayuti, dan Pak Idris hanya beberapa orang dari seribu orang lebih, tergabung dalam puluhan kelompok yang terbentuk untuk mendukung proyek FP III di lanskap Lore Lindu ini. Â Mereka bergerak tidak saja untuk skema agroforestry ini, namun juga dengan berbagai program lain seperti Hutan Rakyat, Rehabilitasi Hutan Lindung, Perhutanan Sosial, Kesepakatan Konservasi Masyarakat, Penguatan Peran Perempuan, dan sebagainya.
Sore itu kami keburu magrib saat masih di jalan. Walaupun pusat ekonomi di kecamatan, Desa Wuasa tetaplah seperti semua desa lain, cepat berangsur sepi ketika hari memasuki malam. Kami singgah sholat sebentar di masjid Desa Wuasa yang sedang direnovasi. Kami terlambat karena sholat magrib berjamah tepat selesai setelah kami selesai berwudhu. Om Donatus menunggu kami di mobil. Selesai sholat, kami kembali singgah sebentar di apotik mencari tolak angin, kemudian kembali malam itu ke tempat kami menginap yang tak jauh dari masjid tadi.
Bersambung ke bagian kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H