Ambon - Dampak dari semakin berkembangnya kota Ambon dan pandemi Covid-19, tentu saja dirasakan semua lapisan masyarakat. Hal demikian dirasakan juga oleh Matha selaku mama kebaya papalele, di sekitar wilayah Indo Jaya, Kota Ambon.
Papalele merupakan sebutan dari masyarakat Kota Ambon bagi perempuan lokal yang menjual dagangannya dengan cara berkeliling. Sebutan Papalele berasal dari bahasa Portugis pada masa penjajahan, yaitu Papalvo.
"Papalele tersusun dari dua kata yang memiliki arti berbeda, yaitu Papa yang berarti memikul atau membawa dan Lele yang berarti berkeliling lokasi," ujar Matha.
Martha Hutubessy atau yang disebut sebagai Martha merupakan seorang wanita tua berumur 88 tahun yang masih menerapkan Papalele hingga saat ini.
Semakin padatnya manusia beraktivitas diluar ruangan, tentunya membawa berkah tersendiri bagi Mama kebaya papalele.
Tetapi semakin berkembangnya kota Ambon dengan segala kemajuan yang ada, ditambah lagi dengan semenjak diterapkan PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat oleh pemerintah memberikan dampak buruk bagi Mama kebaya papalele.
Setiap orang belum tentu bisa merasakan hidup tenang dan nyaman. Tidak semuanya memiliki kesempatan untuk bekerja di ruangan yang sejuk, kemudian menikmati masa tua dengan beristirahat total dan bermain bersama anak serta cucu.
Matha menyebutkan, selama hidup belum pernah merasakan kenyamanan dan ketenangan karena dirinya harus berkerja ditengah panas untuk mendapatkan uang.
"Dahulu waktu Kota Ambon belum terlalu maju, dagangan saya laris manis dan cukup untuk menghidupi keluarga di rumah. Namun, sejak semakin majunya Kota Ambon pendapatan saya mulai berkurang. Karena banyak pengusaha dan jualan yang kelihatannya lebih menarik daripada dagangan saya," ungkap ibu Martha.
Martha mengatakan, kemajuan yang terjadi memang menguntungkan Kota Ambon, tetapi dirinya sebagai masyarakat kecil merasa semakin sulit untuk mencari pendapatan.