Mohon tunggu...
Hana Rusmalia
Hana Rusmalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar asal Jawa Timur, Memiliki Impian untuk Bersekolah di Al Azhar University

Catatan Juang Hana Rusmalia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Membangun Peradaban Tinggi Manusia Negeri

6 Mei 2022   21:04 Diperbarui: 12 Mei 2022   10:53 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MEMBANGUN PERADABAN TINGGI MANUSIA NEGERI

Juara 3 Lomba Esai Guru PGMI Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia 

Guru bahasa Indonesia saya berkata “Pintar itu relatif, pengetahuan itu wajib”. Ini merupakan jawaban dari pertanyaan saya –apa yang dicita – citakan oleh seorang guru, terlepas dari definisi guru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “1993:288” yang mengatakan bahwa, guru merupakan orang yang pekerjaann dan mata pencahariaannnya adalah mengajar. 

Menurut saya definisi tersebut kurang relevan dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Dari perkataan guru saya tersebut, saya menarik kesimpulan bahwa itu berarti belajar saja itu tidak cukup, jika tidak disertai dengan berpikir. Teringat perkataan Filsuf besar Prancis Rene Descartes, “Aku berpikir maka aku ada”. 

Tak hanya itu, dalam ilmu logika islam (manthiq), yang dikatakan bahwa al insan huwa hayawanun nathiq, yang berarti bahwa manusia adalah hewan yang berpikir (animal educabili). Sehingga dapat dikatakan bahwasannya seseorang dapat dikatakan manusia apabila ia dapat berpikir dengan baik. 

Seorang penyiar televisi swasta suatu kali telah mewawancarai seorang asli suku Baduy, yang diterjemahkan dari bahasa Sunda, jawabannya sebagai berikut: “Apa untungnya sekolah ? Apabila anak sekolah, nanti jadi pintar. Orang pintar cenderung membodohi orang. Jadi, untuk apa sekolah kalau nantinya menjadi orang yang membodohi orang lain?”. Pendapatnya menyadarkan kita akan bahwa pintar saja tidak cukup untuk dijadikan tujuan dalam pendidikan. 

See Ching Mey dan Lee Siew Siew melalui Pusat Pengajian Ilmu Pendidikan, Universiti Sains Malaysia, menemukan 43.41% daripada sampel pelajar mengalami kemurungan klinikal yang berpotensi melakukan usaha bunuh diri. Data ini menunjukkan bahwa pendidikan cenderung hanya mengejar prestasi demi persiapan masa depan dan melupakan kemanusiaan manusianya sendiri. Sirnanya kemanusiaan ditunjukkan melalui usaha manusia untuk bunuh diri. 

Manusia berusaha bunuh diri karena ia tak mampu lagi melihat kesempurnaan di dalam diri kemanusiaannya. Dan yang mengejutkan, data bunuh diri memperlihatkan bahwa pendidikan gagal membuat manusia menemukan kemanusiaannya. Dan negara dengan angka bunuh diri tertinggi justru bukanlah negara yang terbelakang namun dari negara – negara maju termasuk Finlandia, yang termasuk dalam negara dengan sistem pendidikan termaju. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak menjamin mengantarkan manusia pada pengembangan kemanusiaannya.

Disinilah arti penting kemanusiaan dalam tujuan sebuah pendidikan. Agar setiap individu dihargai dan tidak ada yang merasa dirugikan. Dan manusia memiliki kesadaran yang mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Alasan masyarakat Baduy menjadi masuk akal jika pendidikan hanya diartikan untuk mendidik anak menjadi pintar, banyak pengetahuan, pandai mencari uang alias seorang enterpreneur handal, namun tak mampu mengangkat sisi kemanusiaan dirinya sendiri dan orang lain. 

Apa gunanya menjadi orang yang katanya terdidik namun sisi kemanusiaannya merosot?. Dalam hal ini, John Dewey berpendapat bahwa belajar atau pendidikan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri dan bukan untuk mempersiapkan masa depan (Education be viewed as process of living and not preparation for future living). 

Pendapat Dewey dapat ditafsirkan bahwa pendidikan adalah proses yang membentuk perkembangan manusia atau dengan kata lain memanusiakan manusia. Pendapat Dewey ini ingin mengedepankan yang utama, yaitu pendidikan yang tidak hanya ditujukan demi masa depan tetapi demi kemanusiaan itu sendiri.

Menurut Zakiyah Darajat, guru merupakan pendidik profesional karena guru telah menerima dan memikul beban dari orang tua untuk ikut mendidik anak. Dalam hal ini guru diartikan sebagai sosok tauladan yang menurut falsafah Jawa adalah sosok yang di “gugu lan ditiru”. Pribadi yang tak hanya mentransformasikan pengetahuan saja, melainkan lebih dari itu juga sebagai sumber perkembangan kemajuan masyarakat. 

Kalau saya jadi guru, hal pertama yang akan saya ajarkan terhadap murid saya adalah bagaimana mereka dapat menjadi manusia yang baik. Karena pendidikan adalah suatu sarana yang dapat membantu manusia menyempurnakan dirinya sebagai manusia. Menurut Esther Christiana dalam tulisannya Pendidikan yang Memanusiakan Manusia, “ Pendidikan dan Manusia adalah satu bagian yang tak terpisakan, terlepas dari apa yang menjadi harapan di masa depan. Kemanusiaan adalah bagian penting misi pendidikan manusia sebagai makhluk yang istimewa. Semua hal yang dilakukan manusia berasal dari anugerah kodrati, pemberian sempurna Sang Pencipta dalam bentuk tubuh, jiwa, dan perasaan.” 

Pendapat Esther mengatakan bahwa kesempurnaan manusia ada dalam kodrat kemanusiaannya. Termasuk juga kesempurnaan dalam pikiran yang dapat memikirkan hal yang baik dan buruk, mencipta atau menghancurkan, membangun atau merusak. Dalam konteks ini, pendidikan berperan dalam pilihan manusia, yaitu dalam pemilihan yang baik atau buruk. 

Oleh karenanya, pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan dengan model pendidikan yang membuka ruang bagi dimensi  kemanusiaannya untuk berkembang. Tak hanya membuat anak didik belajar tentang angka – angka dan bentuk, guru akan menjadi keluarga yang nyaman untuk pengembangan rasa kemanusiaan dan potensinya untuk memanusiakan manusia. Karena menurut Multatuli, kewajiban manusia adalah menjadi manusia (yang baik). 

Selain sebagai pengajar, guru juga berperan sebagai pemimpin dan pendidik. Menjadi pemimpin karena tugas penting seorang pemimpin adalah mendidik, dan menjadi pendidik demi mendididk murid untuk menjalankan tugas kemanusiaan yang hakiki, yakni door duis ternicht tot licht menjadi cahaya dalam kegelapan. 

Agar nanti anak didik tumbuh menjadi generasi yang cerdas, pemikir kritis, peka lingkungan sekitar, dan siap menghadapi tantangan di masa yang akan datang, berupa tantangan ideologi maupun globalisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, setidaknya ada tiga cara yang dapat saya lakukan. 

Yaitu: (1) merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai setelah saya berhasil membuat suatu peradaban manusia yang baik di kelas. Setelah itu, (2) berusaha untuk hadir dan terlibat dalam pembelajaran dan proses yang mereka lalui, dan yang paling penting adalah bahwa mereka dapat melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka juga akan terlibat secara psikologis. Dan (3) dengan demikian saya dapat membantu mereka sendiri dan orang lain. Hal yang harus dilakukan untuk mengakhiri kesenjangan pendidikan tersebut adalah mengubah cara pikir dan pandang mereka bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai di atas kertas semata, namun juga tentang memanusiakan manusia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun