Terinspirasi dari rumitnya proses pemungutan suara secara manual, mahasiswa ini menciptakan alat coblosan digital atau eletronik voting (e-voting).Â
MAHASISWA ini bernama Tangguh Rizqi Nurwendys. Kelahiran Banyumas, 24 Januari 2001. Dia adalah mahasiswa Institut Teknologi Telkom Purwokerto dari Jurusan Teknik Informatika.
Suatu waktu, dia pernah menghubungi saya dan minta waktu melakukan wawancara. Pada pesan singkatnya, ia ingin mengetahuhui permasalahan teknis di tempat pemungutan suara (TPS). Ia mengutarakan ingin membuat alat e-voting.Â
Sekitar 3 bulan berselang, dia datang lagi bertemu saya di hari Rabu 5 juli lalu. Kali ini, Tangguh datang dengan membawa alat e-voting yang sudah selesai dirakit.Â
"Alhamdulillah pak, alatnya sudah jadi. Saya kemari agar bapak melakukan pengujian alat," katanya. Pembuatan alat tersebut merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan studi sarjananya.
Ia mengenalkan, alat e-voting bikinannya berbasis mikrokontroler Esp32.Â
Merujuk dari wikipedia, ESP32 adalah mikrokontroller berharga rendah dan hemat energi dengan wifi dan dual-mode bluetooth terintegrasi. Generasi ESP32 menggunakan mikroprosesor Tensilica Xtensa LX6 sebagai inti. Baik dalam mode single-core maupun dual-core.Â
Saya didampingi seorang teman kantor kemudian melakukan pengujian. Kami disimulasikan sebagai dua orang pemilih yang datang mencoblos dengan membawa KTP elektronik. Sebelum melakukan pemungutan suara, alat akan mendeteksi identitas pemilih melalui KTP elektronik. Setelah terdeteksi sebagai pemilih, kemudian alat akan menampilkan opsi pilihan yang harus diberikan status pilihan. Sebelum mengirimkan hasil pemungutan suara, alat akan menampilkan opsi untuk tetap pada jawaban semula atau mengubah jawaban. Bila sudah yakin dengan pilihan, maka proses akhir adalah memberikan tanda telah memberikan hak suara.
"Harapan saya Sistem E-Voting berbasis mikrokontroler Esp32 dapat digunakan sebagai alat pemungutan suara berdasarkan asas luber dan judril, yang mampu meminimalisir permasalahan coblosan secara manual menggunakan kertas. Alat ini dapat digunakan sebagai alat simulasi dan sosialisasi bagi pemilih-pemilih berskala kecil," kata Tangguh.
Ditanya soal kendala, ia mengatakan kendala yang dihadapi adalah perubahan prosedur pemilihan coblos kertas yang familiar oleh masyarakat menjadi E-voting membutuhkan sosialisasi agar dapat mengoperasikan alat E-Voting. Sistem butuh banyak improve agar dapat digunakan dalam skala besar. Dan kendala lain adalah kendala jaringan dimana sistem dari E-Voting membutuhkan penyesuaian seperti server lokal. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H