Mohon tunggu...
Hanan Wiyoko
Hanan Wiyoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya menulis maka saya ada

Suka membaca dan menulis, bergiat di literasi digital dan politik, tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Uang Dimata Budayawan Ahmad Tohari: Pengkhianatan Demokrasi

18 Juni 2023   14:31 Diperbarui: 18 Juni 2023   14:38 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BUDAYAWAN dan sastrawan, Ahmad Tohari (75) merasa gemas dengan praktik politik uang. Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) ini sering melontarkan pendapatnya tentang ajakan untuk tidak melakukan politik uang dan seruan untuk tidak melakukan korupsi.

Penulis berkesempatan bertamu ke rumah Kang Tohari pada Sabtu, 17 Juni 2023. Ditemui di rumah budaya Carablaka, pria yang belum lama genap berusia 75 tahun ini asyik diajak berdiskusi beberapa problem sosial. Di antaranya politik uang. Berikut hasil wawanacara penulis (P) dengan Ahmad Tohari (AT).

P : Sejak kapan politik uang mulai menjangkiti masyarakat kita?

AT : Politik uang dimulai dari Pilkades. Pilkades sangat dipengaruhi oleh uang, baik uang dari calon kades maupun uang dari luar, yakni dari para botoh. Akhirnya pemilihan itu tidak murni, palsu. Dengan demikian juga keterwakilan rakyat oleh kekuasan desa jadi palsu bukan keterwakilan yang sebenarnya.

P : Lalu bagaimana pandangan Kang Tohari terhadap praktek politik uang?

AT : Setelah terjadi di desa, politik uang terjadi juga di tingkat yang lebih tinggi. Misalnya pilkada (pemilihan kepala daerah) dan terus ke atas, yakni pemilihan legislatif tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat. Sampai ke pilpres juga terjadi politik uang.

P : Apa dampak praktik politik uang bagi kehidupan demokrasi?

AT : Praktek politik uang merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Demokrasi berjalan prosedural, namun hakikatnya bukan demokrasi. Betul ada pemilihan, betul ketewakilan, ada partai politik, tapi itu semua seperti terputus dengan rakyat, dengan jiwa dan nurani rakyat terputus. Ya kasian, apalagi sekarang ini kita masih terbelenggu oleh feodalisme.

P : Praktik feodalisme seperti apa?

AT : Feodalisme yang saya maksud adalah banyak pejabat negara atau wakil rakyat kita seharusnya menjadi abdi rakyat, tetapi justru menjadi abdi kekuasaan. Jadi menurut saya, masih perlu beberapa kali proses pemilu untuk betul-betul menghasilkan pemilih dan pemimpin yang betul-betul berkualitas.

P : Apa saran Kang Tohari untuk menyudahi praktik politik uang?

AT : Menurut saya, untuk mengikis praktik politik uang adalah melalui jalur pendidikan, baik pendidikan umum, maupun jalur pendidikan politik. Harapannya, makin banyak orang terpelajar makin memahami esensi demokrasi. Juga dimulai menanamkan praktik berdemokrasi dari rumah. Dimulai dari orangtua tidak memaksakan kehendak terhadap pilihan sekolah terhadap anak, memberikan kesempatan kepada anak untuk berpendapat atau berargumen. Dengan demikian, ada penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Bukan memaksakan pilihan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun