"Membacanya pendek-pendek dan cepat. Perhatian hurufnya," kata istri saya, Anies Indah Hariyanti yang menjadi mentor tartili di rumah.
"Kalau Yasmin bisa membaca tartili, nanti bisa membaca Alquran. Seneng kan bisa mbaca Alquran kayak abi dan mama," kata saya memotivasi. Saya dan istri memiliki kebiasaan membaca Alquran di rumah dengan didengarkan anak. Harapannya bisa diteladani oleh anak.
"Alquran adalah petunjuk hidup umat Islam. Membacanya akan mendapatkan pahala. Jadi ayo mengaji, belajar membaca Tartili," tambah saya.
Akhirnya, malam itu Yasmin mulai membaca tartili untuk pertama kalinya. Dia memegang bacaan, sedangkan istri saya memegang gadget untuk merekam hasil bacaan.
"Maa..susah. Masih sering salah," kata Yasmin ke istri saya dengan memanggil sebutan Mama.
"Konsentrasi, baca yang tenang, dan perhatikan harokatnya," kata Istri ke Yasmin yang duduk berdekatan ketika merekam suara.
Saya teringat, kali pertama rekaman dilakukan sekitar pukul 17.00 WIB. Kami belum sampai pulang rumah setelah dari kantor. Kami mengejar deadline setoran tartili pukul 20.00 WIB. Namun karena ini pengalaman pertama membaca tartili menjadikan banyak kendala.
"Bacaan panjang-pendek Yasmin belum pas. Juga masih ada huruf yang salah sebut," kata istri saya.
Yasmin terlihat berusaha keras membaca dan merekam. Namun belum kunjung berhasil. Menjelang mahrib, dia nangis dan ngambek.
"Susah Ma..capek," keluhnya. Lama kelamaan ia pun terlihat putus asa dan menangis. Kami terus memotivasi untuk dia menyelesaikan rekaman. Setelah bersusah payah, satu lembar bacaan tartili direkam dengan baik membutuhkan waktu 4 jam. Baru menjelang pukul 21.00 WIB, alias melebihi deadline baru bisa kami kirim rekaman.
"Yasmin menangis dan ngambek ketika rekaman kali pertama. Tapi sekarang sudah lancar," kata saya.