Lima Ketimpangan
Ketimpangan tersebut adalah:
1). Akses perempuan menggunakan internet lebih terbatas daripada laki-laki. Misalnya, pembelian gadget lebih diperuntukkan suami/laki-laki dengan anggapan perempuan, khususnya ibu rumah tangga.
2) perempuan cenderung mengerjakan banyak tugas (multi-tasking) seperti urusan rumah tangga yang menyita waktu, maupun urusan publik bila bekera. Hal ini menjadikan waktu perempuan berkurangan untuk mengakses internet.
3). Kaum perempuan rawan menjadi korban pelanggaran privacy di dunia internet, seperti eksploitasi secara fisik hingga perundungan (bulying), maupun ejekan (body shamming). Bagi perempuan perlu lebih berhati-hati agar tidak mudah berkomunikasi daring dengan lawan jenis yang tidak dikenal.
4). Perempuan rawan menjadi korban kejahatan siber (cybercrime), misalnya penipuan belanja daring dan kejahatan bermodus kencan serta lainnya. Perempuan perlu memahami pentingnya perlindungan data pribadi secara daring.
5) Perempuan dianggap masih kesulitan mencari konten di internet yang sesuai kebutuhan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Dengan adanya lima asumsi di atas, perlu menurut saya didorong penguatan melek internet atau literasi digital di kelompok perempuan. Bagaimana caranya? Lebih lengkap akan saya ulas di bagian terpisah.
Di tulisan kali ini, secara ringkas saya sampaikan bahwa dengan menguatkan literasi digital diharapkan mampu menjadi sarana menggapai kesetaraan gender di dunia digital antara laki-laki dan perempuan. Hasil akhirnya adalah, kaum perempuan sama dengan laki-laki memiliki keterampilan, pengetahuan untuk memanfaatkan internet. Anggapan kalau perempuan itu gaptek harus dihapus. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H