Mohon tunggu...
Hanan Wiyoko
Hanan Wiyoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya menulis maka saya ada

Suka membaca dan menulis, bergiat di literasi digital dan politik, tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Waspadai Rongrongan Kemandirian KPU dalam RUU Pemilu

7 Februari 2021   06:10 Diperbarui: 7 Februari 2021   07:02 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

ADANYA pasal dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang memberi kesempatan pengurus partai politik (Parpol) mendaftar seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu dikritisi. Bila lolos pembahasan dan ditetapkan sebagai UU Pemilu, hal ini berpotensi mendegradasi / mengurangi kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu yang netral, independen, dan mandiri. Kok bisa?

Kemandirian lembaga KPU sebagai penyelenggara pemilu merupakan amanah Pasal 22E ayat (5) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Disebutkan pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat  nasional, tetap, dan mandiri. Kemandirian memiliki arti tidak memihak kepada partai politik maupun kontestan manapun. KPU merupakan penyelenggara pemilu, sedangkan partai politik merupakan peserta pemilu.

Potensi rongrongan kemandirian KPU dalam RUU Pemilu yang menjadi prioritas program legislasi nasional (prolegnas) 2021 terdapat dalam draft Pasal 16 ayat (7). Draft pasal itu menyebutkan bahwa komposisi anggota KPU, KPU provinsi, hingga kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan partai politik. Begini bunyinya:

Pasal 16 (RUU Pemilu)

(7) Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan Partai Politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.

Bunyi draft pasal tersebut sangat bertentangan dengan persyaratan menjadi anggota KPU dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut pada pasal 21 ayat (1) huruf (i) disebutkan persyaratan mendaftar anggota KPU RI, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten diantaranya adalah mengundurkan diri keanggotaan partai politik sekurang-kurangnya lima tahun pada saat mendaftar sebagai calon. 

Pasal 21 ayat (1) huruf (i) UU No.7 Tahun 2017 tersebut selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 81/PUU-II/2011 yang dibacakan tanggal 4 Januari 2012. Putusan MK itu memfatwakan tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik yang patut dan layak adalah sekurang-kurangnya lima (5) tahun sebelum yang bersangkutan mendaftarkan diri sebagai penyelenggara pemilu. Putusan MK tersebut lahir karena adanya judicial review dari kelompok masyarakat sipil terhadap UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelanggara Pemilu (sebagai revisi dari UU No. 22 Tahun 2007). Pada UU No. 15 Tahun 2011 disebutkan salah satu syarat menjadi penyelenggara pemilu adalah "mengundurkan diri dari kenganggotaan partai politik...pada saat menjadi calon,". Bunyi pasal tersebut dianggap kontroversial dan belum jelas lantaran tidak menyebutkan batas waktu tahun pengunduran diri. Barulah setelah ada Putusan MK N0 81/PUU-II/2011 batasan waktu menjadi jelas.

Melanggar Putusan MK

Maka adanya pasal dalam RUU Pemilu saat ini yang memperbolehkan pengurus parpol mendaftar sebagai calon penyelenggara menurut saya melanggar putusan MK di atas. Tentu kita berharap, dalam pembahasan RUU nantinya pasal tersebut bisa dihilangkan. Hal ini seperti pendapat dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Seperti dikutip dari Detik.com (25/1), Titi menyayangkan adanya pasal dalam RUU Pemilu yang menyebutkan adanya keterwakilan partai politik dalam pendaftaran anggota KPU. Menurut dia, hal tersebut adalah langkah mundur seperti pada Pemilu 1999. Pada saat Pemilu 1999, lembaga penyelenggara pemilu diisi keterwakilan pemerintah dan partai politik peserta pemilu.

Adanya pasal dalam RUU Pemilu yang memberi ruang untuk keterwakilan parpol masuk dalam lembaga penyelenggara pemilu juga disoroti anggota KPU RI, Pramono Ubaid Tanthowi. Dalam artikel Pustaka Pemilu (2021) berjudul Mempertahankan Kemandirian KPU : Antara Produk Legislasi dan Mahkamah Konstitusi, dijelaskan dalam lintasan sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia ada langkah-langkah untuk merongrong kemandirian lembaga KPU. 

Dijelaskan pula ada upaya perlawanan untuk menjaga kemandirian tersebut. Dalam artikel tersebut, dijelaskan ada tiga modus untuk melemahkan kemandirian KPU, salah satu diantaranya adalah "anggota partai politik sebagai penyelenggara pemilu (2021: 11). Kondisi ini menurut penulis relevan dengan upaya memasukan keterwakilan parpol seperti yang tercantum dalam draft Pasal 16 ayat (7) RUU Pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun