Mohon tunggu...
Hanaa Noormaningtyas
Hanaa Noormaningtyas Mohon Tunggu... Freelancer - Spesialis romance

Amatir yang berusaha menunjukkan dirinya :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cukup Sepuluh Tahun

1 Desember 2019   23:45 Diperbarui: 1 Desember 2019   23:55 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih mengingat bagaimana pertemuan terakhir kita dulu. Mungkin sudah 9 bulan sejak pertemuan itu, tapi aku benar-benar tidak bisa melupakan pertemuan itu barang sedetikpun. Cara bicaramu, caramu memanggil "Dek" juga masih sangat kuingat. Aku tidak mengerti mengapa bisa seperti ini.

Bisakah aku menyebut ini cinta? Sepertinya bisa. Karena seperti apapun cinta itu berawal dan entah bagaimana akhir dari cinta itu, tetap saja bisa disebut cinta.

Cinta merupakan perasaan yang dianugerahkan Tuhan kepada makhlukNya. Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Tetapi kita bisa memilih akan mengatakan perasaan kita atau tidak. Namun bagaimana jika perasaan itu sebenarnya sudah tersampaikan, tapi pada akhirnya tetap tidak ada cela untuk bisa menyatukan? Mungkin itu sama seperti perasaanku padamu.

Namaku Raina Cindy, biasa dipanggil Raina. Aku bekerja di salah satu klinik hewan di Kota Surabaya. Saat ini aku berusia 24 tahun. Ini adalah kisahku dengan seseorang lelaki yang sudah kukenal sejak sepuluh tahun yang lalu, namanya Fahri.

"Kakak sayang nggak sih sama aku?" Pertanyaan itu yang selalu aku lontarkan padamu ketika kita bertemu. Kamu yang sebenarnya bukan siapa-siapaku. Kamu yang selalu menyebut dirimu "kakak" di depanku. Kamu yang selalu mampu memberi ketenangan pada hatiku.

"Iya, aku sayang sama kamu dek. Apa lagi yang kamu raguin?" Dan selalu begitu jawaban yang kamu berikan padaku. Sebenarnya aku bosan mendengar jawabanmu yang selalu saja seperti itu, tapi aku tidak bisa protes. Karena memang dari perlakuanmu padaku itu menunjukan betapa kamu menyayangiku.

Aku sudah mengenalmu sejak tahun 2009. Tahun di mana aku baru memasuki SMA dan kamu senior yang selalu berada di dekatku saat itu. Aku tidak pernah membayangkan akan memiliki perasaan lebih seperti sekarang padamu. Perasaan yang selalu kusebut cinta, meski itu mungkin hanya aku yang merasakannya.

Sudah sepuluh tahun sejak pertemuan pertama kita di sekolah. Pertemuan itulah yang akhirnya mendekatkanmu padaku. Dulu, hampir setiap hari kita bertemu. Tapi sudah 9 bulan ini, aku merasa kamu berubah, aku merasa kita semakin berjauhan. Rasa-rasanya aku sudah tidak akan bisa lagi menggapaimu.

Kemarin aku sedang sangat merindukanmu. Rindu dengan pesan singkat yang kamu kirimkan padaku. Rindu dengan suaramu yang dulu hampir setiap malam kudengar. Rindu kejutan kecil yang dulu sering kamu berikan padaku.

Rindu yang amat sangat ini membuatku mampu menitikkan air mata. Dan rindu ini juga yang memaksaku untuk mengirimkan pesan padamu. Tapi yang kudapati adalah pesan itu kau abaikan begitu saja. Aku tidak marah, aku hanya sedih. Sedih karena sudah bukan aku prioritasmu.

Pesan singkat yang kukirimkan padamu satu minggu lalu, secara tiba-tiba mendapat balasan darimu. Aku tidak pernah menduga kamu akan membalasnya. Karena menurutku pesan itu sudah sangat basi untuk dibalas, tapi pada akhirnya kamu membalasnya.

"Maaf dek, chat-mu ketumpuk sama chat yang lain." Hanya itu alasan yang kamu berikan padaku. Saat itu aku ingin marah, tapi hatiku tidak sanggup melakukannya. Hatiku terlalu bahagia hingga tidak bisa memarahimu.

Aku kira hubungan kita akan jadi lebih baik setelah pesan singkat itu, tapi ternyata dugaanku salah. Pesan itu hanya berlangsung kurang lebih 3 sampai 4 kali saja. Yah, itu sudah lumayan untuk bisa meredakan rasa rinduku padamu sejak beberapa minggu lalu.

Sudah tidak pernah ada lagi kabar yang kudengar tentangmu setelah percakapan singkat kita di WhatsApp beberapa bulan lalu. Terkadang rasa rindu itu hadir, tapi kini aku sudah bisa mengendalikannya lebih baik lagi, sudah tidak se-menggebu-gebu dulu.

Malam ini aku masih terjaga di dalam kesendirianku. Hanya ada suara kipas angin dan musik dari grup K-Pop kesukaanku yang menemani malam ini. Mataku benar-benar tidak bisa terpejam.

Tadi malam tepatnya sekitar setelah maghrib, aku secara iseng melihat akun Instagram-mu. Aku hanya bermaksud untuk melihat bagaimana kabarmu. Tetapi ada sesuatu yang membuatku sangat terkejut. Kamu mem-posting sebuah foto bersama seorang wanita.

Mataku terbelalak dengan lebar, detak jantung terasa semakin cepat, hati juga seakan terasa sakit. Aku benar-benar penasaran dengan wanita itu. Rasa penasaran ini membuatku terus menggali tentang dia dan kamu. Lalu yang kudapati adalah, wanita itu merupakan istrimu.

Seketika itu aku terdiam, mata masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kubiarkan foto yang terlihat di layar ponselku tetap terbuka. Detak jantungku berdetak semakin kencang lebih dari sebelumnya. Mulutku masih membisu, tapi tanpa kusadari air mataku menetes membasahi pipiku.

Kini aku baru menyadarinya. Kenapa tidak pernah ada pesan singkat atau telepon darimu seperti dulu. Kenapa tidak pernah lagi ada pertemuan di antara kita sejak beberapa bulan yang lalu. Dan itu karena kamu sudah terikat dengan wanita lain.

Maafkan aku karena telat menyadari semuanya. Maafkan aku karena hingga beberapa hari yang lalu aku masih menanti telepon atau pesan singkat darimu yang isinya menginginkan kita bertemu. Tapi malam ini aku mendapati kamu sudah bahagia bersama wanita pilihanmu.

Itu artinya aku harus berhenti menanti telepon atau pesan singkat darimu. Karena kamu sudah menjadi milik wanita lain, wanita terbaik yang Tuhan pilihkan untukmu. Itu artinya aku harus menghapus semua foto-fotomu yang masih tersimpan rapi di galeri ponselku. Itu artinya aku harus menghapus status-status yang selama ini kutujukan padamu.

Kini aku harus benar-benar mengakhiri perasaanku padamu. Meski bukan seperti ini akhir yang kuharapkan dari hubungan kita. Tapi mungkin ini adalah akhir yang terbaik untuk kita berdua. Kenangan di antara kita tidak akan pernah bisa terhapus. Jadi biarkan kenangan itu kusimpan sendiri hingga aku bisa menemukan penggantimu suatu saat nanti.

Dan sekarang ijinkan aku berterima kasih padamu untuk terakhir kalinya. Terima kasih atas apapun yang sudah kamu lakukan untukku. Terima kasih sudah pernah mengijinkanku berada di dekatmu meski hanya sebentar. Itu sudah cukup membuatku bahagia.

Doaku untukmu dan keluarga kecilmu, semoga kamu dan istrimu selalu diselimuti kebahagiaan, semoga Tuhan selalu menjaga keluarga kecilmu, dan semoga kalian segera diberi kepercayaan oleh Tuhan agar bisa menjadi pelengkap keluarga kecilmu.

Aku turut bahagia melihat kamu tertawa bahagia, meski itu bukan bersamaku. Setidaknya wanita itu mampu membahagiakanmu lebih dariku. Aku pamit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun