Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Radikal di Tengah Kedaruratan Demokrasi

26 September 2019   19:10 Diperbarui: 29 September 2019   11:15 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Kita, bulan September 2019 merupakan momen bersejarah. Tercatat bahwa, pada beberapa hari dibulan itulah berbagai elemen menyatakan bentuk ekspresi politik sebagai bentuk lain ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang terdiri diantaranya dari lembaga eksekutif serta legislative. 

Tulisan ini, akan merekam beberapa poin-poin substansial yang secara mendalam akan penulis gali dengan pengalaman langsung tergabung dalam gerakan massa aksi buruh,tani serta pemuda mahasiswa di Jakarta. 

Tanpa mengurangi rasa hormat, beberapa poin yang dimaksud dalam tulisan ini juga memuat berbagai landasan perjuangan-perjuangan yang membara di berbagai daerah lainnya di Indonesia.

Politik Radikal : Sejarah dan Definisi yang Memungkinkan.

Di Perancis tahun 1968 tepatnya pada bulan Mei, gerakan massa rakyat melawan rezim De Gaulle mulai memanas.  Diawali dari rentetan peristiwa yang memicu massa aksi bergemuruh di lautan aspal. Mulai dari, pamflet-pamflet yang menempel hingga desas desus kabar dari kawan sejahwat mulai menyebar.

Cohn Bendit menulis, bahwa Nanterre merupakan daerah bersejarah bagi mereka yang mempelopori gerakan serta melakukan mobilisasi di tingkat nasional yang di pelopori oleh kelas buruh serta golongan kaum terpelajar.

Sejalan dengan itu, pada tahun 1998 di Indonesia juga mengalami suatu gejala kedaruratan yang hampir mirip dengan situasi demokrasi tersebut dengan embel-embel Reformasi. Gerakan di tahun itu berupaya mewujudkan suatu sikap yang mengukuhkan supremasi sipil bagi perubahan mengganti satu tatanan otoriterianisme di bawah tampu kekuasaan rezim Suharto. 

Berbeda konteks, ketika kita melihat aksi-aksi belakangan ini dimana kondisi demokrasi telah dilanggengkan selama 20 tahun lebih. Berbagai elemen mulai tergabung dalam satu gemuruh yang muncul bagai letupan di berbagai peristiwa dan daerah yang penuh pengorbanan. Lantas bagaimana kita mampu membaca hal tersebut secara relevan?  Perlu sekiranya kita mengolah gambaran bagaimana gemuruh itu meletus di Indonesia pada Bulan September secara mendasar. Untuk mengawalinya, saya akan mengajukan tesis berikut :

"Kekerasan passage a l'acte [muncul] sebagai satu-satunya jalan untuk lepas dari kebuntuan ideologis." 

Pandangan yang dikemukakan di atas oleh Slavoj Žižek (Sosiolog & Filosof Slovenia) secara presisi ditafsir ulang oleh Jodi Dean, sebagai satu tindakan yang otentik demi membuka situasi baru ditengah kebuntuan ideology. 

Atas landasan tersebut, sekira-kiranya kita perlu membuka analisis mendalam terlebih dahulu sebelum masuk kepada poin-poin desakan krusial yang diajukan pada beberapa gerakan di daerah mengenai situasi penundaan terhadap konstitusi negara yang dilakukan oleh orang yang berdaulat atau The Sovereignity dengan kata lain "negara", yang kemudian dalam Agamben dikenal dengan istilah The State of Exception.

Masyarakat Beresiko di tengah Kapitalisme Tahap Akhir

Dengan mengacu pada konsepsi Anthony Giddens dan Ulreich Beck,  Žižek melihat suatu kemungkinan pemecahan subjek ditengah masyarakat beresiko (Risk Society). Baginya, masyarakat risiko mengacu pada kondisi "probabilitas rendah---konsekuensi tinggi" (low probability---high consequences) dan pembahayaan diri (self endangernment) dengan akibat munculnya Refleksivitas Subjek yang seringkali ditengarai sebagai konsekuensi dari kondisi kapitalisme akhir dengan kemungkinan suatu tindakan subyek yang melampaui pendefinisian struktur sosial. 

Dengan kata lain, titik tersebut merupakan titik nol substansial---subjek bergerak  dari sistem sosial yang telah begitu lama mereifikasi keberadaan subjek hanya dengan basis reflektif. Kemudian, dari events dalam suatu kondisi yang telah mengalami kondisi misrekognisi inilah memicu patahan atau retakan metasktruktur.

Atas dasar perhatian itu, perlu kita memahami bahwa kondisi subyek reflektif memunculkan situasi atas pembacaan ulang dari berbagai konstituen yang merekah sebagai upaya reifikasi subyek. 

Kendati demikian, untuk memahami sisi luar subyektifitas politik dalam rekonstruksi politik kontemporer. Setidaknya, mampu kita baca melalui beberapa pemaparan selanjutnya.

Atas Nama Kedaruratan dan Pengecualian oleh Negara

Dalam Constitution du 22 frimaire an VIII di Perancis (13 Deesember 1799). Pasal 92 Konstitusi ini menyebutkan : 

" Bila terjadi pergolakan bersenjata atau kericuhan yang bisa mengancam keamanan Negara, hukum bisa, menurut waktu dan tempat yang ditentukanya, menunda aturan konstitusi. Dalam kasus-kasus semacam ini, penundaan bisa dicanangkan untuk sementara waktu oleh maklumat pemerintah bila badan legislative sedang reses..."

Konstitusi itu merupakan ide awal dari sebuah penundaan hukum atau The State of Exception. Istilah ini, tak lain merujuk pada elemen hukum yang menunda hukum (ia tidak didalam hukum tetapi juga bukan sama sekali di luar hukum) Kondisi ini terus didaur ulang dalam politik kontemporer sebagai sarana pragmatis menjalankan kehidupan umum.  Dengan sebuah pengandaian bahwa kondisi kedaruratan (State of Emergency) Kedaulatan menetapkan hukum sekaligus mengecualikan dirinya untuk tunduk di bawah hukum yang sama (The State of Exception).  Contoh : Sikap Jokowi menunda pengesahan RUU KUHP lewat statement langsung serta keputusanya mengeluarkan Perppu.

Maka, dengan mengajukan pertanyaan selanjutnya. Konsekuensi apa yang dapat kita terima dari berbagai kondisi diatas?

Dalam praksisnya, ia menyebutkan kondisi bare life sebagai konsukensi dimana keterlanjangan warga negara yang akan dengan mudah dirampas hak-haknya dengan suatu pengecualian bagi Negara sesuai dengan metafora Agamben terhadap demokrasi sebagai kamp konsentrasi! Atau dengan kata lain Negara yang menjamin kedaulatan inilah yang telah bermasalah sedari awal mengakibatkan warga negara mengalami depolitisasi atau kehilangan posisi tawarnya.

Daftar Pustaka

Dean, Jodi "Žižek’s Politics".

Gabriel, Daniel Cohn Bendit "Obsolete Communism : The New Left Wing Alternative" (New York : McGraw Hills Press, 1968).

Giorgio Agamben "The State of Exception". (Chicago: University of Chicago Press, 2005).

Slavoj Žižek “Lenin’s Choice.” dalam V.I Lenin, Slavoj Žižek (ed.), Revolution at Gates : Žižek on Lenin, the 1917 Writtings (London : Verso 2002).

Ulrich Beck, Risk Society: "Toward a New Modernity"(Londn: Sage, 1992)



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun