Bagi Kita, bulan September 2019 merupakan momen bersejarah. Tercatat bahwa, pada beberapa hari dibulan itulah berbagai elemen menyatakan bentuk ekspresi politik sebagai bentuk lain ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang terdiri diantaranya dari lembaga eksekutif serta legislative.Â
Tulisan ini, akan merekam beberapa poin-poin substansial yang secara mendalam akan penulis gali dengan pengalaman langsung tergabung dalam gerakan massa aksi buruh,tani serta pemuda mahasiswa di Jakarta.Â
Tanpa mengurangi rasa hormat, beberapa poin yang dimaksud dalam tulisan ini juga memuat berbagai landasan perjuangan-perjuangan yang membara di berbagai daerah lainnya di Indonesia.
Politik Radikal : Sejarah dan Definisi yang Memungkinkan.
Di Perancis tahun 1968 tepatnya pada bulan Mei, gerakan massa rakyat melawan rezim De Gaulle mulai memanas. Â Diawali dari rentetan peristiwa yang memicu massa aksi bergemuruh di lautan aspal. Mulai dari, pamflet-pamflet yang menempel hingga desas desus kabar dari kawan sejahwat mulai menyebar.
Cohn Bendit menulis, bahwa Nanterre merupakan daerah bersejarah bagi mereka yang mempelopori gerakan serta melakukan mobilisasi di tingkat nasional yang di pelopori oleh kelas buruh serta golongan kaum terpelajar.
Sejalan dengan itu, pada tahun 1998 di Indonesia juga mengalami suatu gejala kedaruratan yang hampir mirip dengan situasi demokrasi tersebut dengan embel-embel Reformasi. Gerakan di tahun itu berupaya mewujudkan suatu sikap yang mengukuhkan supremasi sipil bagi perubahan mengganti satu tatanan otoriterianisme di bawah tampu kekuasaan rezim Suharto.Â
Berbeda konteks, ketika kita melihat aksi-aksi belakangan ini dimana kondisi demokrasi telah dilanggengkan selama 20 tahun lebih. Berbagai elemen mulai tergabung dalam satu gemuruh yang muncul bagai letupan di berbagai peristiwa dan daerah yang penuh pengorbanan. Lantas bagaimana kita mampu membaca hal tersebut secara relevan? Â Perlu sekiranya kita mengolah gambaran bagaimana gemuruh itu meletus di Indonesia pada Bulan September secara mendasar. Untuk mengawalinya, saya akan mengajukan tesis berikut :
"Kekerasan passage a l'acte [muncul] sebagai satu-satunya jalan untuk lepas dari kebuntuan ideologis."Â
Pandangan yang dikemukakan di atas oleh Slavoj Žižek (Sosiolog & Filosof Slovenia) secara presisi ditafsir ulang oleh Jodi Dean, sebagai satu tindakan yang otentik demi membuka situasi baru ditengah kebuntuan ideology.Â
Atas landasan tersebut, sekira-kiranya kita perlu membuka analisis mendalam terlebih dahulu sebelum masuk kepada poin-poin desakan krusial yang diajukan pada beberapa gerakan di daerah mengenai situasi penundaan terhadap konstitusi negara yang dilakukan oleh orang yang berdaulat atau The Sovereignity dengan kata lain "negara", yang kemudian dalam Agamben dikenal dengan istilah The State of Exception.