Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merajut Pendidikan Disilusi: Menyemai Harapan Baru Pendidikan dalam Demokrasi Kita

2 Juni 2017   10:54 Diperbarui: 2 Juni 2017   11:10 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAYA PIKIR, bukan hal yang pertama ketika membicarakan pendidikan baik dalam wacana kritis maupun dalam wacana konservatif, Ketidakhadiran nurani sebagai upaya menyemai harapan dalam pendidikan yang menjadi urgensi mengapa kita harus berfikir ulang melihat pendidikan kita hari ini. Pendidikan sebagaimana harusnya menjadi generator dalam mencetak penerus bangsa, nampak luput untuk merekonstruksi kenyataan apik pada kesejahteraan dan keadilan sosial masyarakat Indonesia. Fase dilematis pendidikan di ambang penyesuaian antara penyelarasan hak-hak sosial untuk mendapatkan bangku pendidikan maupun meneruskan catatan buruk dari rezimentasi yang berkuasa selama 32 tahun membuat pendidikan sebagai alat menggapai masa depan bangsa harus dikolongi oleh vampire multinasional korporasi.

Pendidikan dan Pencerahan?

Apakah benar bahwasanya pendidikan yang di dalamnya itu berisi ilmu pengetahuan bak obor yang menerangi gelapnya ketidaktahuan manusia sehingga mampu melihat lebih terang seisi dunia? Kalau begitu, mengapa terangnya hanya dimiliki oleh kaum terpelajar? Sedangkan banyak kaum terpelajar yang enggan menerangi dengan sungguh-sungguh seisi dunia yang penuh dengan kegelapan ini—yaitu ketimpangan dan ketidakadilan seperti gelandangan, kaum miskin pinggiran kota, ketimpangan akses desa dan kota, pengangguran, putus sekolah, ketidaktersediaan lapangan pekerjaan maupun ketidakmerataan akses di bidang pendidikan itu sendiri, minat membaca serta segudang masalah lainnya? Kenyataanya, dengan dalih developmentalism mereka berulangkali menyetubuhi bapak-ibu kandung dalam ruang gelap yang bernama kebohongan! Inikah pencerahan yang dijanjikan bahwa “vampire” multinasional yang menduduki dan menguasai sebagian besar harta negeri loh-jinawi kita bakalan kabur terbirit-birit? Sekalipun mungkin tidak, kita hanya disuguhi dengan tontonan-tontonan banyolan badut-badut politik dengan segudang sandiwaranya… Apes!

Dimana nurani kita?

“Jika yang kita maksud dengan pencerahan dan kemajuan intelektual adalah terbebasnya manusia dari keperayaan takhayul terhadap kekuatan jahat, setan dan dongeng, serta takdir buta-singkat kata, emansipasi dari rasa takut-maka menolak apa yang saat ini disebut dengan nalar adalah layanan termulia yang dapat diberikan nalar.”[1]

Melihat pendapat salah satu pendiri Mazhab Frankfrut, Max Horkheimer, bahwa rasionalitas umat manusia nampak menemui jalan buntu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kegagalan para penjunjung nalar—khususnya dalam ruang pendidikan—untuk memecahkan kebuntuan-kebuntuan yang mulai merembah begitu banyak masalah-masalah yang nampaknya urung dalam mewujudkan cita-cita emansipatoris untuk menyelamatkan manusia dari segudang permasalahanya.

Kedekatan kekuasaan dengan pengetahuan nampak gagal mewujudkan kedaulatan penuh yang seharusnya dimiliki oleh rakyat. Saya bongkar sedikit saja dari data penelitian sensus oleh BPS pada tahun 2016 tercatat hanya pada kisaran 10-25% penduduk Indonesia yang mampu mengenyam bangku perkuliahan di Perguruan Tinggi.[2] Angka tersebut tentu hanyalah angka, tidak ada kualifikasi secara jelas mutu dari lulusan Perguruan Tinggi mampu memecahkan problem-problem mendasar dari kemanusiaan di Indonesia. Belum lagi, investasi yang buruk terhitung bagi lulusan yang menjanjikan kemenangan bagi “vampire” multinasional korporasi untuk menghisap darah rakyat berjejeran setelah pesta wisuda. Negara yang seharusnya menjamin pendidikan sebagai hak warganegara lewat kebijakan negara sesuai dengan yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (3) serta pasal 28 (C) ayat 1—sepertinya lalai dalam menuntaskan tugasnya menyetarakan hak pendidikan dan kesejahteraan sosial ekonomi bagi rakyat Indonesia yang seharusnya jika serius dan konsisten dengan konstitusinya mampu diselenggarakan secara gratis hingga Perguruan Tinggi.

Je veux/ I want | Koleksi: Louise Heroux | 2012
Je veux/ I want | Koleksi: Louise Heroux | 2012
Problem Harapan ialah Problem Struktural

Bagi saya, harapan yang akut melihat pendidikan kita ialah bagaimana tanpa ada dikotomis antara kelas bawah, menengah, dan atas yang mendapat perlakuan berbeda-beda dalam hal ihwal akses, mutu dan kualitas pendidikan serta infrastruktur di dalamnya. Harapan akut tersebut tentu berbenturan dengan realitas sosial, yakni struktur sosial sebagai sebuah aturan dan tradisi yang mengikat serta memaksa. Secara institusional, harusnya mampu menunaikan harapan yang nyata bagi seluruh rakyat dan warga negara Indonesia sebagai wujud kedaulatan rakyat mengingat ketinggalan dan posisi emergensi kita dengan negara lain. Wacana tersebut haruslah bermuara pada suatu suhu imanensidengan implikasi praktisnya yang dapat terlihat, terjamah dan terasa bagi saya dan tentu warganegara lainnya sebagai warga negara yang membayar pajak, apapun itu ketika hidup di tanah air kita.

Oleh karena itu, kekurangan harapan yang mungkin tidak bisa disampaikan oleh rakyat yang tertindas karena sibuk mengais rezeki untuk makan hari ini dan esok haruslah dijawab oleh pemerintah yang seharusnya menjadi singa yang jujur dengan jawaban struktural yakni kebijakan publik yang adil dan merata tanpa harus ada intervensi dari siapapun termasuk vampire(Baca : Multinasional Korporasi). Itulah inti dari harapan kita di republik tercinta. Progresifitas teoretik bagi para ilmuwan, teknokrat serta akademisi tentu sudah mendapatkan rambu dan lonceng kuning, untuk menyandingkan pekerjaannya dengan praksis kehidupan rakyat Indonesia bukan malah menjadi kesempatan melanggengkan Oligarki di negara demokrasi ini yang biasanya dilakukan oleh para cendekiawan yang dekat dengan kekuasaan

Di situlah keutuhan harapan hanya dapat tumbuh dan merekah. Pertanyaan selanjutnya bagi sidang para pembaca yakni : Bagaimana ketika kita menemui jalan buntu dan berhadapan dengan para konservatifisme? Maka jawaban saya ialah mari kita berkelahi dengannya dan angkat topi diakhir cerita untuk kemenangan yang Agung dari harapan rakyat! []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun