Selain berdampak pada fisik, FGM juga meninggalkan trauma psikologis yang mendalam. Anak perempuan yang dipaksa menjalani prosedur ini sering kali mengalami ketakutan, rasa malu, dan kehilangan kepercayaan diri. Pengalaman menyakitkan ini dapat menyebabkan gangguan mental seperti depresi, kecemasan, bahkan post-traumatic stress disorder (PTSD). Sayangnya, dalam banyak budaya, perempuan yang menolak atau tidak menjalani FGM dianggap sebagai pembawa aib bagi keluarga, sehingga mereka tidak punya pilihan selain mematuhi tradisi tersebut (Rohmah et al., 2018).
Secara sosial, praktik FGM mencerminkan ketimpangan gender yang mendalam. Keyakinan bahwa tubuh perempuan harus dikontrol dan dimutilasi demi menjaga "kesucian" adalah bentuk penindasan terhadap perempuan. FGM menanamkan gagasan bahwa perempuan hanya dihargai sejauh mereka dapat memenuhi ekspektasi patriarki. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia, yang menjamin kebebasan perempuan untuk memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri (Sulistyawati & Hakim, 2022).
Meskipun telah ada kebijakan yang melarang medikalisasi FGM sejak tahun 2006, praktik ini masih berlangsung di banyak wilayah Indonesia. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan menegakkan hukum dengan lebih tegas untuk memastikan praktik ini benar-benar dihentikan. Edukasi kepada masyarakat juga menjadi kunci penting dalam upaya ini. Pemahaman yang keliru tentang khitan perempuan sebagai kewajiban agama atau tradisi harus diluruskan. Tokoh agama dan pemuka masyarakat memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan ini kepada komunitas mereka.
Female Genital Mutilation adalah praktik berbahaya yang tidak memiliki dasar medis maupun kewajiban agama. Dampaknya yang merugikan kesehatan fisik dan mental perempuan, serta memperparah ketimpangan gender, menjadikannya sebagai bentuk kekerasan yang tidak dapat ditoleransi. Menghapuskan FGM adalah langkah penting dalam melindungi hak asasi perempuan dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sehat. Tradisi yang membahayakan harus ditinggalkan, dan budaya yang menghargai kesehatan serta martabat manusia harus ditegakkan. Kini saatnya kita bersama-sama menyuarakan: hentikan FGM demi masa depan perempuan yang lebih baik!
DAFTAR PUSTAKA
Fauziyah, S. (2017). Tradisi Sunat Perempuan Di Banten Dan Implikasinya Terhadap Gender, Seksualitas, Dan Kesehatan Reproduksi. Tsaqfah; Jurnal Agama Dan Budaya, 15(2), 136--182.
Hudiyani, Z. (2024). Nalar Fikih Khitan Perempuan: Analisis Komparasi Antara Majelis Ulama Indonesia Dan Konferensi Ulama Perempuan Indonesia. Innovative: Journal Of Social Science Research, 4(4), 2219--2234. Http://J-Innovative.Org/Index.Php/Innovative/Article/View/13251%0ahttps://J-Innovative.Org/Index.Php/Innovative/Article/Download/13251/8835
Istiqomah, S. N., Amin, D. R., Islam, S. S., Rosdiana, N. N., Rahmawati, N. S., Lestari, M. I., Agustin, S. M., & Nurhaeni. (2024). Wujudkan Perlindungan Perempuan Dalam Tradisi Female Circumcision Di Wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Nusantara (Jpkmn), 5(2), 2614--2620.
Rohmah, N., Dewi, S. R., Asih, S. W., & Walid, S. (2018). Sunat Pada Bayi Perempuan Oleh Tenaga Tradisional. Prosiding Seminar Nasional 2018, 1--13.
Sulistyawati, F., & Hakim, A. (2022). Sunat Perempuan Di Indonesia: Potret Terhadap Praktik Female Genital Mutilation (Fgm). Jurnal Hawa: Studi Pengarus Utamaan Gender Dan Anak, 4(1), 31. Https://Doi.Org/10.29300/Hawapsga.V4i1.4736
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H