Once upon a time, di masyarakat kita  khususnya saya orang sunda Warga Kota Purwakarta , terutama orangtua pada zaman dahulu kala, tradisi "ngamplop" (memberikan hadiah / sumbangan / apresiasi ) di sebuah hajatan/kondangan/ undangan pernikahan atau khitanan.
Begitu lekat dengan memberikan uang atau amplop dari tangan ke tangan di suatu hajatan tertentu dan merupakan suatu kewajiban untuk datang jika yang mengundang juga pernah hadir dan muncul di acara hajatan kita ataupun orangtua kita dan kita harus membalasnya kembali.Â
Tradisi ini menjadi turun temurun hingga sekarang kepada kita sampai ke anak cucu buyutnya. Tapi tahukah kamu bahwa di perkampungan tradisi yang berkembang tidak hanya berupa "ngamplop" saja, akan tetapi bisa meluas ke berbagai keperluan hajatan lainnya seperti diantaranya : riasan pengantin, tenda, acara hiburan (misalnya : organ tunggal, dll) beras, mie, wortel, dll.Â
Dan percaya atau tidak percaya itu menjadi utang piutang. Jadi mereka akan membayarnya jika nanti yang menghutangkan mengadakan hajatan juga di kemudian hari.
Adapun untuk sebuah kado itu sudah tidak efisien dan terhapuskan sejak ada noted di undangan *tidak menerima kado, lucu kan? Dan saya lupa mulai tahun kapan itu berlaku.Â
Pokoknya sejak saat itu tradisi kado kadoan sudah tidak muncul kecuali di pesta ulang tahun anak-anak saja karena di kampung tidak ada dan jarang sekali orang dewasa hajatan pesta ulang tahunan.
Baca juga : Tradisi Pernikahan Seperti Ajang Mencari Keuntungan
Memiliki unsur gotong royong dan persatuan yang tinggi
Tahukah kalian dengan adanya hal tersebut di atas kita bisa menilai bahwa orangtua zaman dahulu sudah menerapkan tradisi hajatan ini sebagai unsur gotong royong dan persatuan yang tinggi.
Artinya ketika yang empunya hajat tidak memiliki modal untuk acara syukuran tersebut maka setiap warga bersedia membantu apapun yang di butuhkan, walaupun dengan catatan utang piutang. Salut kan?