"Bila Ibu tiada, surgaku berada di mana?"
Pertanyaan dari putri kecilku sebelum dirinya terlelap itu terus terngiang di telinga. Betapa dia sangat merindukan sosok seorang ibu. Ia tak pernah berjumpa dengan Ibunya, bahkan hanya secepat kedipan mata. Ibunya mengembuskan napas terakhir kala ia masih berada di alam kandungan.Â
Segala upaya terus dokter coba untuk menyelamatkan nyawanya, pun doa tak henti terucap dariku dan sanak keluarga lainnya. Beberapa jam kemudian, tangisannya terdengar, semua yang ada di sana tak kuasa membendung air mata. Duka dan bahagia dirasakan bersama.
Putri kecilku, yang kuberi nama Aira, sama seperti nama ibunya, tumbuh menjadi anak yang cerdas dan ceria. Sebagai orang tua tunggal dan hidup jauh dari orang tua kucoba kerahkan segala tenaga untuk merawat dan menjaganya. Kucurahkan segala waktuku untuk dia, bahkan aku rela melepas pekerjaanku demi mendampingi pertumbuhannya. Air susu ibu tak pernah ia rasa, pun belaian lembut dari ibunya. Cukuplah ia tak pernah merasakan kehangatan seorang ibu, jangan sampai kebersamaan dengan ayahnya ikut sirna.
Aira kini menginjak tingkat dua Taman Kanak-Kanak, di usianya yang genap lima tahun di salah satu sekolah yang tak jauh dari rumah. Putri kecil itu selalu membuatku bangga, dengan kebersahajaan dan kebaikan hatinya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Ia sama persis dengan mendiang ibunya. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri, patuh, dan tidak pernah rewel -yang tak pernah aku tahu ternyata selama ini ia menyimpan kegelisahan di hatinya.
Sepulang sekolah ia bercerita tentang peringatan Hari Ibu di sekolahnya, gurunya meminta semua murid untuk mengundang Ibunya. Akan ada berbagai lomba dan perayaan kecil lainnya. Ia yang masih belum mengerti apa-apa, dengan wajah lugunya, memintaku datang. Dengan riang, aku menyambut ajakannya.
Acara berlangsung dengan meriah, tanpa masalah, dan berjalan sebagaimana mestinya. Meski aku satu-satunya ayah tunggal yang datang. Orang tua murid lain sudah paham dengan kondisi kami, dan mereka semua bersikap baik kepada putriku. Atas itu, kuucapkan beribu terima kasih.Â
Aira mengikuti lomba mewarnai bersamaku, kami berhasil menjadi juara satu. Aku mencium lembut pipinya ketika ia membawakan piala untukku bersama senyum yang amat bahagia. Aku adalah Ayah yang bodoh. Aku tak menyadari bahwa ada kecewa di hatinya. Air matanya memang tak jatuh, tetapi sorot matanya perlahan meredup seusai acara itu. Bukan karena ia tak datang bersama sang ibu, ia tumbuh dengan mengagumkan, paham kalau kehidupannya memang tak sesempurna teman-temannya. Ia amat mengerti tentang sesuatu yang tak mungkin ia miliki.
Seorang guru menutup perayaan Hari Ibu tadi dengan perasaan sukacita. Ia menceritakan secara singkat mengenai kisah seorang sahabat Rasul dengan mengutip sebuah hadist. Aira mendengarkan dengan saksama, ia memang selalu suka mendengarkan cerita.
Wahai Rasulullah! Aku ingin ikut dalam peperangan (berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla) dan aku datang untuk meminta pendapatmu." Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apakah kamu mempunyai ibu?" Dia menjawab, "Ya." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tetaplah bersamanya! Karena sesungguhnya surga ada di bawah kedua kakinya." (HR Nasa'i)Â