Oleh Iqbal Hanafi
 Jum'at, tanggal 5 Maret kemarin, telah diselenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang bertempat di Deli Serdang, Sumatera Utara yang mana dalam KLB itu Jenderal (Purn. TNI) Moeldoko yang saat ini juga tengah menjabat sebagai Kepala Staf ke-Presidenan (KSP) telah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat Periode 2021-2025 sekaligus Men-Demisioner-Kan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) serta menghilangkan lembaga Majelis Tinggi Partai Demokat dan menggantikannya dengan Dewan Pertimbangan Partai.Â
KLB yang diselenggarakan itu bukanlah tanpa sebab. Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan isu kudeta yang pertama kali diumumkan oleh AHY, Februari kemarin yang tengah menghantam dirinya sebagai Ketua Umum Partai yang sah hasil kongres tahun 2020. Isu kudeta itu menurut penjelasan AHY telah melibatkan beberapa nama kader senior partai dan satu nama dari eksternal partai yang notabenenya adalah orang dalam pemerintahan pusat saat ini, Moeldoko. Isu itu kemudian berlanjut sampai terbawa nama Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo sehingga atas keterangan itu, Moeldoko lalu membantah telah merencanakan kudeta kepemimpinan AHY.
Disamping itu, di internal Partai pasca publikasi isu kudeta oleh AHY, para pendiri dan kader senior Partai Demokrat turut angkat bicara dalam konferensi pers yang mereka ungkapkan dengan sikap kekecewaan dan ketidakpercayaan mereka terhadap kepemimpinan AHY yang dinilai kaku dan kurang terampil dalam menahkodai Partai sehingga menyebabkan elektabilitas Partai berlogo Mercy itu kian tergerus karena krisis figur Ketua Umum AHY. Kemudian, keterangan beberapa kader yang kontra dengan AHY yang mengatakan akan melaksanakan KLB dengan alasan bahwa AHY dinilai tidak mampu membawa partai ke arah yang lebih baik. KLB yang dilaksanakan merupakan follow up kekecewaan beberapa kader meskipun harus diakui bahwa hal itu merupakan langkah kudeta yang dipaksakan karena menurut AHY bahwa KLB yang dilaksanakan sangat bertentangan Konstitusi Partai Demokrat, Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART).Â
Hal tersebut tentu sangat pelik dan sulit bagi keberlangsungan Partai karena dilema yang dihadapinya. Mengapa dilema? Disamping dualisme yang telah terjadi, di sisi lain Partai Demokrat versi AHY bukanlah partai anggota koalisi pemerintahan dan AHY sendiri juga tidak termasuk ke dalam pemerintahan, sedangkan Moeldoko tentu kita sudah mengetahui kedudukannya di pemerintahan saat ini.Â
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat saat Konferensi Pers yang diadakan di kediamannya tadi malam mengatakan dan kembali menegaskan bahwa KLB yang diselenggarakan itu adalah KLB abal-abal karena telah menabrak aturan-aturan partai yang ada. Ia menjelaskan bahwa dalam rangka melaksanakan KLB, para kader partai harus mengikuti syarat yang termaktub dalam AD/ART Partai diantaranya: KLB dilaksanakan atas permintaan Majelis Tinggi Partai; dihadiri oleh 2/3 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) ; atau dihadiri oleh 1/2 Dewan Pimpinan Cabang (DPC); dan disetujui oleh Ketua Majelis Tinggi Partai. SBY melanjutkan bahwa semua syarat yang telah disebutkannya itu sama sekali tidak terpenuhi karena KLB hanya dihadiri oleh 24 DPC saja dari 514 DPC yang tersebar di seluruh kapubaten/kota di Indonesia serta tidak ada satupun dari DPD yang menghadiri KLB itu dan hal itu tidak pernah sama sekali atas permintaan Majelis Tinggi Partai dan tidak disetujui olehnya sebagai Ketua Majelis Tinggi. Tambahnya lagi bahwa AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 itu merupakan sumber hukum yang jelas yang telah disahkan oleh Kemenkumham.Â
Dari fakta-fakta yang telah disebutkan SBY, kemudian muncul pertanyaan. Bagaimana nasib KLB itu? Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa kedudukan Moeldoko di Pemerintahan saat ini tentu akan sedikit memudahkannya untuk memperoleh persetujuan atas keterpilihannya itu melalui lembaga Kemenkumham, akan tetapi Kemenkumham tentu tidak akan dengan gamblang langsung melegalkan Moeldoko karena secara aturan hal itu adalah ilegal. Akan mustahil bagi lembaga Kemenkumham mencabut kembali pengesahan terhadap AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 tanpa alasan yang jelas dan konkrit. Oleh karena itu, dalam hal ini ada beberapa kondisi bagi Moeldoko agar langkahnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dapat dengan mudah disetujui oleh Pemerintah.Â
Sebagai referensi, kita dapat kembali melihat sejarah ke belakang terkait KLB yakni yang pernah dialami oleh partai berkuasa saat ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. PDI-P saat ini adalah partai yang terlahir dari partai era Orde Baru bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan hasil fusi/penggabungan 5 partai politik (PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik) era Orde Lama akibat pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila oleh Presiden Soeharto.Â
PDI didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 dan kelak menjadi ulang tahun PDI-P saat ini. Ketua Umum pertama adalah Sanusi Hardjadinata yang kala itu adalah "pesanan" pemerintah pusat. Banyak sekali konflik yang mendera Partai ini (Red. PDI) dari awal berdirinya sampai pada bubarnya. Megawati sendiri baru terpilih sebagai Ketua Umum PDI versi KLB saat itu karena gagalnya Kongres IV PDI. Alasan terkuat penyebab gagalnya Kongres IV PDI adalah karena kuatnya intervensi pemerintah pusat saat itu yang bersikukuh menginginkan "calon" mereka yang harus mengetuai PDI sehingga berujung pada penunjukan Caretaker Pengurus Pusat PDI oleh Mendagri era Soeharto.Â
Pasca Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI versi KLB, maka PDI terpecah menjadi dua kubu yakni kubu Megawati (PDI) dan kubu Soerjadi yang membentuk DPP PDI Reshuffle yang kemudian didukung oleh Soeharto. Pada 20 Juni 1996 PDI Reshuffle pro Soeharto mengadakan Kongres di Medan dan mengangkat Soerjadi sebagai Ketua Umumnya. Namun, hal itu ditentang oleh kader dan simpatisan PDI kubu Megawati sehingga menyebabkan bentrok dan menyebabkan peristiwa berdarah dikenal Peristiwa Gambir Berdarah dan setelahnya Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli (27 Juli 1996).Â
Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun pemerintah tetap mengakui secara formal hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta pemilu 1997. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil pemilu menunjukkan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil pemilu PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.Â
Pasca lengsernya Soeharto dari kursi ke-Presidenan pada tahun 1998, di tahun 1999 meskipun pemerintahan sudah berganti namun yang diakui oleh pemerintah adalah masih tetap PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi. Oleh karenanya agar dapat mengikuti pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI-Perjuangan/PDI-P pada tanggal 1 Februari 1999 kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999.Â
Belajar dari sejarah, kembali pertanyaan dimunculkan. Akankah Moeldoko mengubah nama Partai Demokrat yang dipimpinnya melalui versi KLB menjadi Partai Demokrat-"Perjuangan"? Supaya ia dapat dengan mudah mendapat pengesahan melalui Kemenkumham.Â
Hal ini tentu sangat sulit mengingat masih banyaknya simpatisan dari kubu AHY atau khususnya SBY. Tetapi akan menjadi mudah jika ia mampu merangkul dan meyakinkan semua kader di tingkat pusat sampai ke tingkat cabang agar mendukung dirinya sehingga ia mendapat legitimasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang sah.Â
Terakhir, penulis akhiri dengan ucapan "Partai hanyalah alat formal menuju kekuasaan, kepentingan rakyat tidaklah penting"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H