Mohon tunggu...
Hanafi Hamran
Hanafi Hamran Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan menulis...Tinggal di pedalaman kalimantan Timur, mengabdi sebagai pengajar. Pembina Study Club Menulis (SCM) yang diperuntukkan bagi anak dan remaja pedalaman. Telah melahirkan buku kumpulan essay remaja pedalaman 'Mengukir Jejak'. Karyanya pernah dimuat di majalah Annida, Tribun Kaltim, buku Antologi Tarian Sang Hudoq, Surat untuk Abang, Melukis Pelangi, Mutiara Cinta untuk Bunda, dll. Sekarang bergiat dalam organisasi kepenulisan yang digawangi oleh Izzatul Jannah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Takkan Pernah Bisa Terbang dengan Satu Sayap*

27 Oktober 2011   04:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:27 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam pucat. Angin yang berlari-lari. Menusuk gelap dan mempermainkan dedaunan kelapa. Cericit tikus di sudut-sudut dapur. Menggerutu kegirangan. Menumpahkan botol-botol minyak dan bersembunyi di celah-celah meja. Air menetes. Bak mandi sudah penuh berpuluh menit yang lalu. Keramik basah dan menciptakan lumut-lumut menghijau.

Telepon berdering. Ia bangkit dan menumpahkan kopinya di atas meja. Kopinya sudah terlanjur dingin. Ia hanya memandang-mandang dan mengaduknya, bosan. Tak dipedulikannya sebagian kopi yang membasahi celananya.

Matanya terlalu liar untuk ditaklukkan malam. Ini dunianya. Ia ber-say hello dan tergelak untuk sekian detik. Dadanya yang tipis terguncang sambil dinyalakannya sepotong rokok. Satu menit, dua menit, sepuluh menit, dua puluh menit, satu jam. Satu jam lebih. Ia melemparkan gagang telepon dan membiarkannya menggantung di bawah meja.

Dibukanya jendela. Kain penutupnya dirobek dan dilemparkannya ke atas meja. Dengan terburu-buru dibersihkannya cairan kopi. Kali ini tampak tubuhnya gemetaran. Dadanya berdetak lebih kencang. Ia menarik nafas. Gagal. Ia terjatuh ke lantai. Kain yang basah oleh kopi menutup wajahnya. Sebentar ia melonjak. Entah oleh kekuatan apa. Urat-uratnya tampak mengejang. Ia melawan. Namun, hanya beberapa detik. Dari balik kain, mulutnya berdecak-decak menciptakan aliran tak berirama. Berbusa.

-----

Nu menatap dalam kesepian yang dalam. Aroma bunga, tanah merah, dan batu nisan. Ia masih belum percaya. Kemarin adalah kehidupan yang dimiliki Di. Tapi, hari ini Di harus melepaskan kebanggaannya. Ia hanya bisa memiliki kemarin, tidak hari ini dan esok.

“Hidup hanya sekali, Nu. Doa takkan pernah memperbaiki kehidupan kita.”

Nu nanar. Matanya masih basah. Di jarinya masih tergantung biji tasbih. Ia memutar dengan ribuan harapan. Jika Di melihatnya, niscaya dia akan melemparkan senyum, mengejek.

“Kita butuh Tuhan yang lebih baik! Yang bisa memberikan kesempatan kepada kita untuk hidup yang lebih enak. Yang tak perlu doa-doa kita, karena Dia lebih Maha Mengetahui apa yang kita inginkan.”

Nu miris. Matanya kian basah. Biji tasbihnya berderai dan jatuh di antara kamboja.

“Kau ingat, Nu, kalau kita tidak memiliki orangtua? Kita ini Tuhan, Nu. Tuhan!”

Nu tertunduk. Hatinya pias. Daun-daun kamboja luruh menutup seluruh tubuhnya. Ia terpejam untuk beberapa lama. Bibirnya berbisik pada batu-batu nisan yang berbaris tak beraturan. Ia turut berdosa. Membiarkan Di dan ia hanya tenggelam dengan doa dan dzikir-dzikir panjangnya. Nu menyesal.

“Lihat, Nu. Lihat! Aku sudah memilikinya. Uang, harta, perempuan apalagi. Aku tak perlu melakukan apa yang kau lakukan. Aku tak pernah berdoa. Aku menciptakan hari ini dengan segala kuasaku.”

Angkuh. Di yang berdiri di hadapan Nu dengan pakaian perlente menenteng uang satu koper. Gadis bermata hampa di sampingnya. Mercedes parkir di muara gang. Berdecit orang-orang mengerumuni Di. Di menghampur lembaran uang seratus ribuan.

Nu menggeleng, lemah. Dadanya sesak oleh kekecewaan.

“Aku tak membutuhkanmu, Nu.” Di lupa melepas sepatunya. Jejak-jejaknya membekas di lantai. “Aku benci aroma ini.” Di meludah.

Nu berdiri satu depa di hadapannya. Seorang wanita sederhana berdiri setengah ketakutan di sampingnya. Di tersenyum.

“Kau bisa mendapatkan yang lebih dari ini.” Di menyeringai. “Pasti kau harus menguras seluruh tabunganmu untuk menyunting kakak ipar. Puih!”

Langit mendung. Orang-orang terus berkumpul. Suasana menjadi sesak, pengap. Buru-buru Nu menarik kursi kayu. Di enggan. Ia masih berdiri dan sesekali berjalan mondar-mandir. Tubuhnya berkeringat.

“Aku senang kau bisa berhasil, Di.” Nu berucap kaku. Ia ingat bagaimana dulu ia mendongengkan Di tentang sebuah istana. Mereka makan buah segar, makanan lezat, pengawal serta dayang yang cantik-cantik. Di selalu minta diceritakan tentang istana itu. Matanya mengerjap tak henti. “Kau sudah mendapatkan semuanya.”

“Hah.., dan kau? Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Nu. Aku yakin harapanmu lebih dekil dari tubuhmu. Apa yang kau dapatkan sekarang? Mana karunia Tuhan yang selalu kau agung-agungkan itu? Lihat, aku bisa mendapatkan semuanya. Aku bisa menyulap kampung ini jadi perumahan elit. Aku tak perlu berdoa, Nu. Capek!”

Nu menatap Di, nanar. “Karunia Tuhan tak terbatas. Aku mungkin tak mendapatkannya dalam bentuk harta. Tapi, aku dan juga istriku merasakan bahwa Tuhan selalu memberikan karunia-Nya dalam bentuk yang lain. Kebahagiaan dan ketenangan hidup.”

“Kau selalu memikirkan kebahagiaan dan ketenangan hidupmu sendiri, Nu. Lihat apa yang aku lakukan. Berpuluh panti asuhan kusantuni. Belasan mesjid kudirikan. Dan tak terhitung sudah berapa ratus orang-orang miskin aku nafkahi. Aku bahagia. Juga orang-orang yang lain. Lalu, apa yang bisa kau banggakan dengan kemiskinanmu, Nu?”

“Tidakkah kau ingin menyeduh teh buatanku, Di?” Nu berharap Di menerima tawarannya. “Sudah lama aku tak membuatkannya untukmu.”

Di mengangguk. Siluet senja di lorong membayang kembali. Nu kala itu masih duduk di bangku sekolah lanjutan atas. Di selalu merengek minta dibuatkan teh manis. Nu berlari ke warung pak Man ; minta diutangi teh dan gula. Dua jam Nu pergi. Saat kembali, Di sudah tertidur pulas. Nu kemudian membasuh tubuhnya. Keringatnya membaur. Pak Man minta ditemani ke pasar. Mengangkutkan puluhan kardus dan karung terigu. Seluruh tubuhnya putih tersapu gandum.

Di yang selalu merengek. Mobil-mobilan, hingga layang-layang dikabulkan Nu dengan tongkat ajaibnya. Di selalu menyukai momen itu. Nu mengangkat tongkatnya dan berkata “sim salabim”. Mobil-mobilan bekas atau layang-layang penuh dengan tambalan menari-nari di depan mata Di. Di tergelak untuk beberapa saat. Seketika tangis Di berubah keriangan. Nu adalah sayap Di. Tanpa Nu, Di tak bisa terbang. Kalaupun bisa, tetaplah sayap kanan itu adalah Nu.

Nu tak pernah mengeluh. Seadanya hidup, seadanya keadaan. Itulah takdir. Hanya kemudian Di merasa Nu mengadiktirikan dirinya. Nu lebih banyak berdiam di mushola daripada mendongengkan istana untuknya. Nu hanya mementingkan sembahyangnya daripada rengekan teh manis Di.

Di bengal. Ia lebih suka bermain di kolong jembatan. Pulang dengan pakaian basah. Sementara tubuhnya mulai dilukisi tato permanen.

Pulang. Nu memarahi. Mereka bertengkar dahsyat. Tak jarang Di kembali dalam keadaan mabuk. Nu marah besar dan mencambuknya dengan sapu lidi kotor. Esoknya Di mencium tangan Nu, menyesal. Nu juga menyesal telah mencambuknya. Mereka menangis bersama-sama. Mereka kemudian membuat lempeng terigu, sambil menyeduh teh tawar.

Satu hari, Di meringis. Wajah remajanya meremang. Guratan nasib memang membuat Nu melupakan usianya. Pekerjaannya sebagai buruh bangunan, hanya menyisakan sedikit waktu untuk berhitung. Ia sudah dewasa. Dan beribu pertanyaan Di dijawabnya dengan bimbang.

“Seperti kak Kani, kak Medot, atau kak Mia. Kamu kapan seperti itu?”

Nu tersenyum miris. Ia tak bisa menjawab.

“Mereka sekarang memiliki anak. Jika seorang anak memiliki orangtua, lalu kita juga punya bapak dan ibu kan?”

Nu kaget. Dulu ia selalu bisa menghindari pertanyaan itu. Langit memuntahkan air. Kilat-kilat menyambar mencipta guratan ketakutan yang dalam. Di berlari memeluknya.

“Aku rindu bapak dan ibu.”

Bagaimana Nu bisa menjelaskan? Ia tergugu lewat tangis tak bersuaranya. Semasa Di bertanya pertama kali padanya, ia hanya tersenyum. Wajahnya terasa teriris dan dilumuri limau, pedih. Kali ini, bukan cuma wajah, tapi hati, tubuh, dada, kaki dan tangannya perih.

“Kita tak memiliki orangtua, Di.”

Di menatapnya, pias. Wajahnya seketika mendendam. Tapi pada siapa?

Rembesan air dari atap rumah mungil mereka menggenangi lantai. Di menggigil. Ia kecewa mendengar kalimat Nu. Dulu Nu pernah berjanji padanya. Akan mengatakan hal-hal yang membuatnya senang. Orangtua dan seluruh kasihnya.

“Tapi, kau masih memiliki aku, Di. Kau ingat, kita adalah sayap. Kita takkan pernah bisa terbang hanya dengan satu sayap.” Nu duduk di sisi Di. Di memeluk kedua kakinya, bibirnya bergetar.

“Tidak banggakah kau memiliki aku, Di?”

Di diam. Pikirannya menerawang. Sayup-sayup di tengah derau air hujan dan kilat-kilat yang menyemburat angkasa, suara Ri, gadis kecil tetangga mereka menusuk telinganya. Surah al-ikhlas. Di tersenyum. Entah mengapa ia kemudian berlari di tengah hujan. Nu tak berusaha mengejar. Ia tahu perasaan Di. Seluruh rasanya pun ikut hancur. Dan ia hanya menatap Di tenggelam di tengah malam yang hujan.

Malam hujan itu adalah mula. Mula hidup yang bergeser arah. Susah hati Nu menasehati Di untuk sekolah. Namun, Di hidup dalam hari dan dunianya. Tak lengkap waktu yang harus dijalaninya. Di hanya menyendiri di bawah jembatan Kartanegara. Menangkap seliweran mobil-mobil mewah. Atau berkepak mencoba terbang. Hidupnya utuh sejak ia memutuskan. Ia adalah segala-galanya.

Jika Ri benar, maka ia bisa mendapatkan apa saja. Dunia ini teramat kecil bagi Tuhan. Sore kemarin, Ri membacakan surah al-ikhlas lagi untuknya. Kali itu lengkap dengan terjemahannya yang dieja Ri dengan tersendat-sendat.

“Tuhan itu tidak beranak dan diperanakkan.”

Kalimat itu memenuhi kepala Di. Ia berdiri di tepi turap Mahakam. Dibiarkannya wajahnya yang tirus dibelai malam. Ia bahagia! Dan ia tak pernah sebahagia malam itu.

Nu tenggelam dalam doa. Sepertiga malamnya tak terusik. Ia lafazkan ribuan zikir. Ia tuntaskan mushab dan berdiam di mushola.

Di pulang dengan rumah hampa. Tak ada lagi Nu yang menyambutnya. Jikapun ada, Nu selalu menceramahinya. Atau berusaha menyayat kulit Di yang bergambar. Di asing. Ia bahagia, tapi Nu membencinya. Nu tak pernah lagi memujinya.

“Kau bukan anak kecil lagi, Di.” Nu selalu melontarkan itu. “Hanya tali gantungan saja yang pantas buat manusia yang meninggalkan sembahyang. Kau terlalu tua untuk dicambuk!”

Di ternganga. Siang itu ia berlari membawa sajadah usang milik Nu. Nu sedang ke pelabuhan. Senja ia baru pulang. Ia berlari sambil mengibar-ngibarkan sajadah. Mulutnya komat-kamit tak jelas. Tiba di muara gang, Di membakarnya sambil tertawa, puas.

“Aku membencimu, Nu. Tuhan telah membuatmu lupa. Jika kehidupan ini diatur oleh Tuhan yang kau agung-agungkan itu, mengapa ia angkuh untuk mengatur jalan hidup kita?”

Orang-orang memandang Di, heran. Biasanya mereka melihat sirat kebanggaan dari mata Di. Di selalu mengatakan pada semua orang, jika mereka adalah sayap. Tapi, hari ini Di telah membakar sajadah Nu, membakar cinta sang kakak.

“Sejak hari ini lupakan Tuhan-tuhanmu, Nu! Lihat diri kita. Kita tak memiliki orangtua. Kita tuhan, Nu! Tuhan! Hahahaha...” Di menginjak-injak abu sajadah Nu. Hatinya geram dan melangkah menjauhi gang kehidupan yang telah membesarkannya. Di pergi dengan hati beriak-riak, menyumpah, bosan, dan pongah. Hari itu ia berubah menjadi Tuhan, yang mengatur arah langkahnya. Dan, ia sungguh tahu kemana ia harus pergi.

-------

Kulit Nu legam. Di menggeleng.

“Bagaimana, Nu? Aku tak akan mengulangi tawaranku.” Di menatap Nu angkuh. Di dadanya penuh dengan tabula rasa ; bangga, kesombongan, dan mengasihani.

“Mengapa, Di? Aku tak merasa cukup penting untuk menerimanya. Dulu, sekarang atau esok sama saja.”

“Puih!” Di mendelik, marah. “Sombong! Pikirkan istrimu, Nu. Sebentar lagi kalian punya anak. Butuh makanan sehat, mobil-mobilan, sekolah atau asuransi mungkin.”

Nu tersenyum dan menggeleng, yakin. “Hidupku tak pernah berubah. Jika memang aku bertakdirkan sepertimu, mungkin jalannya saja yang harus kita lewati berbeda satu sama lain.”

“Oh. Aku tak sabar menunggunya, Nu. Tapi, kau pelari yang payah. Tak pernah mau belajar dan bodoh!”

“Aku memang bodoh. Dan kau seharusnya malu masuk ke gubuk ini. Inilah bukti kebodohanku. Aku memang tak pintar seperti kamu, Di. Dengan satu kali transaksi saja, kamu bisa membeli villa. Dengan satu ponton batu bara saja, kau bisa berkeliling dunia. Aku? Untuk menambal atap bocor saja, itu berarti harus menyisihkan ongkos makan kami sehari-hari.”

“Kau tak berubah. Dan, aku tak habis pikir, mengapa kakak ipar mau bersuamikan kakak?”

“Aku tak perlu menjawabnya, Di.” Wanita yang tengah hamil tua menatap Di dengan raut mata tersinggung. “Seharusnya kamu bangga memiliki kakak seperti kak Nu. Dan, kau harus tahu siang dan malamnya adalah doa, doa untuk keselamatan adiknya, kamu, Di.”

Di tersenyum kecut. Doa. Ia sudah bosan mendengarnya.

“Aku tak perlu doa-doamu, Nu.”

“Ya, aku tahu. Kamu adalah tuhan bagi dirimu.”

“Apa itu salah, Nu?”

“Tuhan tidak bertanya dengan bimbang.”

“Lalu, di mana sekarang tuhan yang kau bangga-banggakan? Yang selalu kau yakini bisa memenuhimu dengan surga-Nya. Yang tak pernah kau jawab dengan bimbang!”

“Kau terlalu sombong untuk mengakuinya, Di.”

Nu menutup daun pintu. Istrinya menepuk punggungnya, berusaha menyabarkan. Mata Nu basah. Ia sudah merasa mati menghadapi gelombang kehadiran Di. Ia menangisi dirinya. Di telah pergi meninggalkannya. Dan Tuhan menguji imannya yang masih sekulit ari dengan pukulan sekeras godam.

Nu beranjak ke kamar dan tersenyum melihat dua belas kado yang berjejer rapi di sisi ranjang. Hari ini, 7 April, Di berulang tahun. Dua hari setelah Di pergi, Nu mengetahui asal usul mereka. Dua puluh lima tahun ia hidup penuh tanda tanya. Tak ada orang-orangyang tahu siapa orangtua mereka. Yang ada hanya kebisuan. Seorang dukun beranak mendatangi Nu. Wanita itulah yang menolong persalinan Nu dan Di. Selisih lima tahun. Namun Nu masih terlalu kecil untuk bisa mengerti. Tentang ibunya yang tewas sesaat setelah meminum air Mahakam yang dicemari limbah. Atau ayahnya yang tewas tertimpa pohon saat mencarikan kehidupan untuk mereka.

Nu putus asa. “Selamat ulang tahun, Di.”

Ia tak berbesar hati untuk memberitakannya pada Di. Ia berkeras membenci Di. Di yang mengotori hidupnya dengan kesombongan. Bagaimana ia bisa membagi masa lalu itu padanya?

Nu tak bisa mengejar Di. Lebih-lebih saat seorang pengawalnya datang dengan tergopoh-gopoh dan mengabarkan kepergian Di. Dia tak pernah bisa mengejar Di lagi. Lagi-lagi Nu hanya merenung pasrah.

Beberapa detik kemudian, ia tersenyum. Di samping istrinya yang masih terlihat lemah, seorang bayi lelaki menangis memecah kesedihannya.

Nu tersuruk dalam sujud yang panjang.

“Ya Allah, jangan sampai aku lalai lagi untuk mengemban amanah-Mu yang begitu besar ini.”

Judul Asli : Dua Lelaki di Batas Hari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun