Menjadi orang kaya itu ternyata mudah, bukan hanya mudah untuk membeli urusan keperluan sehari-hari, ternyata juga mudah membeli `surga`.
Dalam agama Islam misalnya, hampir amal ibadah berhubungan erat dengan harta dan kekayaan. Mulai dari sedekah, infak, zakat, hingga ibadah haji. Singkatnya, orang kaya mudah beramal, mudah masuk surga.
Pun dengan ibadah haji, bagi orang kaya ibadah semacam ini tentu terasa mudah dari segi finansial, tetapi terasa berat bagi kalangan menengah ke bawah. Beratnya beragam, mulai dari berat ongkos, berat menunggu daftar antrian keberangkatan sekitar 10-20 tahun. Beda dengan orang kaya yang bisa jalur cepat dengan haji plus.
Terlepas dari itu semua, ibadah haji sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Lebih digemari daripada shalat. Lihat saja, tidak pernah kita melihat orang antri shalat subuh berjemaah, beda jauh dengan antusias berangkat ibadah haji.
Apa penyababnya? Karena dapat gelar haji atau hajjah setelah kembali ke tanah air? Entahlah.Â
Namun sebagai catatan, harusnya meningkatnya jumlah jemaah ibadah haji harus seimbang dengan keshalehan sosial yang ditebarkan di masyarakat.
Tentu kita tidak ingin ibadah tahunan haji ini hanya terjebak pada ibadah ritual yang kosong akan makna dan nilai-nilai kemanusian. Lihatlah mereka yang sedang berusaha mencium hajar aswad itu, misalnya. Alangkah ironis.Â
Dalam tinjauan hukum fikih, mencium hajar aswad paling tinggi hukumnya adalah sunnah, tapi mereka sampai tega menyikut saudara seiman sendiri di sebelah kiri dan kanannya.
Bagaimana berusaha melakukan amal yang sunnah dengan cara berbuat haram?
Sikap semacam inilah yang perlu disampaikan dalam proses pembelajaran manasik haji. Kurikulum manasik yang didesain pemerintah perlu ditinjau kembali agar bisa menghasilkan output haji yang berkualitas.
Selama ini, kurikulum manasik haji berkisar pada cara thawaf, sai, wukuf. Â Selama ini, hampir tidak ada orang yang thawaf mengelilingi ka`bah berlawanan arah dengan kebanyakan orang. Pun dengan sai, caranya juga mudah. Hanya berjalan dari bukit shafa ke marwah, dan sebaliknya.
Pemerintah --dalam hal ini kementerian yang mengurus haji- harusnya menambahkan pemaknaan-pemaknaan dalam setiap aktifitas haji. Tidak terjebak dalam persfektif fikih dan bacaan doa-doa saja.
Jika tidak, ibadah haji yang membuat hamba menjadi dekat kepada Allah sulit tercapai. Yang seharusnya tidak mencintai dunia berlebihan, ketika datang ke tanah suci justru shoping kesana-kemari hingga membuat koper berat, bukan buku catatan kebaikan yang menjadi berat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H