Mohon tunggu...
Hanafi alrayyan
Hanafi alrayyan Mohon Tunggu... Penulis - Guru di sekolah

Sering menuturkan sisi-sisi kehidupan, kemudian mencoba mengambil pelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Film 212, Antara Jualan Emosi Umat dan Parade Politik

12 Mei 2018   21:10 Diperbarui: 12 Mei 2018   21:22 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu lagi film religi yang siap bersaing di layar bioskop nasional. Judulnya 212 the power of love. Film ini sudah tayang tanggal 9 mei 2018.

Film yang diangkat dari kisah nyata aksi bela umat Islam II, tanggal 2 Desember 2016, atau yang lebih dikenal dengan sebutan aksi 212.

Semenjak beberapa tahun terakhir, geliat masyarakat Indonesia terhadap nuansa-nuansa bercorak syariah dalam berbagai aspek kehidupan sedang meningkat tajam. Salah satunya dalam aspek film. Jauh sebelum film 212, masih segar dalam ingatan saya film berbasis religi pertama yang paling banyak penontonnya adalah Ayat-ayat Cinta yang tayang kisaran tahun 2007.

Produser film saya rasa sangat menguasai aspek psikologis konsumen masyarakat kita. Masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya sangat fanatik terhadap agama, sangat mudah tersentuh emosinya dengan hal-hal yang berkaitan agama. Konsep pahala dan dakwah bil-hal menjadi faktor utama dalam proses promosi  film mereka.

Namun sebagai orang yang pernah menonton film religi, ada beberapa catatan penting yang harus saya utarakan. Pertama, sebagai film yang menawarkan nilai-nilai keislaman, film religi yang ada di Indonesia justru tergelincir dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Misalnya, adegan berpelukan antar pemain yang statusnya bukan mahram. Apakah ini praktik ini termasuk dari nilai Islam ?

Saya melihat, Islam hanya menjadi jembatan untuk meraih keuntungan finansial.  Lantas bagaimana dengan film 212 ?

Seperti yang dilansir dari Republika, Associate Prosedur film ini, Asma Nadia mengemukakan tiga hal penting yang didapatkan ketika menonton film ini. Pertama, film ini humanis, menguatkan makna keluarga. Kedua, syi'ar perdamaian dan persatuan, bukan hanya untuk umat Islam, melainkan seluruh masyarakat Indonesia. Ketiga, film ini juga sebagai autokritik bagi umat Islam agar tidak main hakim sendiri.

Memang, sebagai sebuah film harus ada unsur amanat yang harus disampaikan. Saya masih ingat point ini ketika belajar Bahasa Indonesia di Madrasah Aliyah dulu. Tapi saya melihat, ada beberapa adegan di film ini yang juga tergelincir dari nilai-nilai Islam itu sendiri.

Bukan hanya persoalan emosi umat, film religi di Indonesia, khususnya 212 ini sangat kental dengan nuansa politik. Indikasi terlihat dari tokoh-tokoh Nasional dari golongan tertentu saja yang menonton film ini. Sebut saja Prabowo, dan Fadli Zon. Kenapa tokoh-tokoh ini saja ? Kemanakah tokoh-tokoh dari kubu Jokowi ? kemana tokoh-tokoh Islam nasional yang lainnya ?

Di Banjarbaru, Kalimantan Selatan saya melihat sekelompok orang-orang berkaos putih dengan tulisan #2019gantipresiden sedang ramai keluar dari gedung bioskop selepas menonton film ini. Fakta ini membuat saya berpikir, apakah Islam sekarang hanya menjadi alat untuk mencapai keuntungan finansial dan politis saja ? Semoga saja tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun