Mohon tunggu...
Hanafi alrayyan
Hanafi alrayyan Mohon Tunggu... Penulis - Guru di sekolah

Sering menuturkan sisi-sisi kehidupan, kemudian mencoba mengambil pelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Terjal Merawat Toleransi Sunni-Syiah di Media Sosial

14 September 2016   20:25 Diperbarui: 14 September 2016   20:34 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai alat, media sosial sangat tergantung pada penggunanya. Kalau dikategorikan, akun media sosial yang berhamburan di Indonesia fungsinya sangat variatif. Ada berfungsi untuk berjualan sampai untuk kepentingan pencitraan politikus, dan ada pula untuk kepentingan mencari jodoh, buat yang jomblo.

Bahkan tak jarang kita temukan ada akun-akun di media sosial yang kerjanya hanya menyebarkan ujaran kebencian, dan anehnya pengikut/ followers akun semacam itu jumlahnya ribuan.

Sentimen keagamaan yang diikuti oleh sikap fanatisme kelompok merupakan percikan yang sangat mudah untuk mengobarkan api kebencian tersebut. Oleh sebabnya, fanatisme yang kebablasan dalam beragama merupakan sikap yang kurang arif. Karena ujaran-ujaran kebencian itu menyebar secara viral oleh orang-orang yang mempunyai sikap fanatisme.

Berbicara mengenai toleransi beragama bukan hanya menyoal masalah hubungan antar agama saja, tetapi juga membincang masalah kerukunan inter agama itu sendiri.

Dalam Islam misalnya, toleransi inter-agama dalam hal ini termasuk membangun hubungan yang harmonis sesama kelompok aliran Islam menjadi tugas yang serius, tugas bersama yang terus berkelanjutan.

Dalam masalah ini, Indonesia sebenarnya sangat berpengalaman. Kasus Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua organisasi besar Islam yang bisa harmonis dan membangun peradaban bangsa Indonesia.

Kendati diawal-awal dua organisasi ini sering melakukan perdebatan-perdebatan ringan semisal qunut, wirid, dan ziarah kubur, dialektika keduanya terus bergerak dinamis. Seiring berjalan waktu debatnya pun naik kelas; urusan pendidikan, amal usaha, penguasaan turats (khazanah klasik), hingga terjalin kerjasama di beberapa sektor semisal zakat, pemerintahan, dan lainnya.

Hingga detik ini, sentilan dan gesekan antar NU dan Muhammadiyah sangat jarang ditemukan di berbagai penjuru bangsa.

Jika kasus NU-Muhammadiyah bisa harmonis,hal ini berbeda dengan kasus Sunni-Syiah di Indonesia yang makin hari makin mengkhawatirkan.

Sikap takfiri (saling mengkafirkan) satu sama lain mendominasi di media sosial. Bahkan perdebatan tanpa etika yang disertai kata-kata tak sopan sering muncul menghiasi perdebatan itu.

Ujaran-ujaran kebencian saling dilemparkan satu sama lain dengan dibantu legitimasi ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang ditafsirkan secara paksa.

Padahal Nabi Muhammad saw sendiri mengatakan: “Orang Islam yang sempurna adalah yang paling bagus akhlaknya” (HR. al-Tirmidzi).

Ideologi yang fanatisme terhadap golongan yang nir-etika sejatinya tidak pantas untuk dipertahankan dan diikuti. Sebab beragama adalah persoalan moralitas sesama, bukan hanya sekedar ritual dan fanatik.

Konflik Sunni-Syiah yang terus bergulir di Timur Tengah tidak usah di impor secara viral lewat media sosial ke Indonesia. Cukup hanya sebatas informasi saja, dan konflik kemanusian berdalih fanatisme tersebut tidak usah diikuti. Sebab konflik di Timur Tengah tersebut sejatinya syarat akan kepentingan politik, kepentingan penguasa.

Dalam konteks ini, benar kiranya apa yang ditulis George Friedman dalam bukunya yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, The Next 100 Years, ketika terjadi kekacauan di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, pemenangnya tetap saja Amerika Serikat.

Lantas kenapa kita tidak belajar dari keharmonisan Sunni-Syiah yang terjadi di Pejaten, Jakarta Selatan ?

Di sana ada lembaga pendidikan yang diklaim berideologi Sunni, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab dan Islam (LIPIA) yang dikelola oleh pemerintah Arab Saudi. Tak jauh disitu, kisaran 1 km ada lembaga pendidikan yang berideologi Syiah, yaitu Islamic Cultural Center (ICC).

Di Pejaten, Sunni-Syiah berdampingan dalam konteks keindonesiaan. Hampir tidak ada gesekan dan konflik yang terjadi. Lantas kenapa hal ini tidak bisa dipertahankan dan justru toleransi era media sosial Sunni-Syiah sulit menemukan titik harmoni ?

Oleh Karenanya, meminjam istilah Akhmad Sahal bahwa Islam Nusantara yang berkemajuan sangat perlu disosialisasikan lebih luas lagi di kalangan masyarakat kita. Islam Nusantara yang damai, yang jauh dari konflik-konflik sekterianisme.  Sebab selama ini, masih banyak orang yang mengadopsi model Islam Arab yang berketerbelakangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun