Padahal Nabi Muhammad saw sendiri mengatakan: “Orang Islam yang sempurna adalah yang paling bagus akhlaknya” (HR. al-Tirmidzi).
Ideologi yang fanatisme terhadap golongan yang nir-etika sejatinya tidak pantas untuk dipertahankan dan diikuti. Sebab beragama adalah persoalan moralitas sesama, bukan hanya sekedar ritual dan fanatik.
Konflik Sunni-Syiah yang terus bergulir di Timur Tengah tidak usah di impor secara viral lewat media sosial ke Indonesia. Cukup hanya sebatas informasi saja, dan konflik kemanusian berdalih fanatisme tersebut tidak usah diikuti. Sebab konflik di Timur Tengah tersebut sejatinya syarat akan kepentingan politik, kepentingan penguasa.
Dalam konteks ini, benar kiranya apa yang ditulis George Friedman dalam bukunya yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, The Next 100 Years, ketika terjadi kekacauan di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, pemenangnya tetap saja Amerika Serikat.
Lantas kenapa kita tidak belajar dari keharmonisan Sunni-Syiah yang terjadi di Pejaten, Jakarta Selatan ?
Di sana ada lembaga pendidikan yang diklaim berideologi Sunni, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab dan Islam (LIPIA) yang dikelola oleh pemerintah Arab Saudi. Tak jauh disitu, kisaran 1 km ada lembaga pendidikan yang berideologi Syiah, yaitu Islamic Cultural Center (ICC).
Di Pejaten, Sunni-Syiah berdampingan dalam konteks keindonesiaan. Hampir tidak ada gesekan dan konflik yang terjadi. Lantas kenapa hal ini tidak bisa dipertahankan dan justru toleransi era media sosial Sunni-Syiah sulit menemukan titik harmoni ?
Oleh Karenanya, meminjam istilah Akhmad Sahal bahwa Islam Nusantara yang berkemajuan sangat perlu disosialisasikan lebih luas lagi di kalangan masyarakat kita. Islam Nusantara yang damai, yang jauh dari konflik-konflik sekterianisme. Sebab selama ini, masih banyak orang yang mengadopsi model Islam Arab yang berketerbelakangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H