Mohon tunggu...
Hanafi Izhar
Hanafi Izhar Mohon Tunggu... Lainnya - Penuntut Ilmu hingga akhir hayat

Senang ngopi dan berdiskusi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenangan yang tertinggal di Commuter Line Indonesia

23 Oktober 2024   18:56 Diperbarui: 24 Oktober 2024   03:22 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tahun 2018, aku adalah seorang mahasiswa baru di Depok, seorang pendatang yang merantau dari Kalimantan. Hidup di ibu kota ini jauh dari bayanganku. Suasana hiruk-pikuk, jalan-jalan padat, orang-orang terburu-buru, semua terasa begitu asing. Tak ada yang seperti ini di kampung halamanku, di mana langit luas, udara segar, dan segala sesuatu bergerak lebih lambat.

Sebagai seorang pendatang, aku selalu merasa tersesat. Apalagi dengan transportasi di sini. Aku harus beradaptasi dengan kereta sesuatu yang baru bagiku, karena di Kalimantan, kereta api tak pernah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. 

Setiap pagi, aku berdiri di stasiun, melihat gerbong-gerbong kereta yang penuh sesak, dan rasanya seperti menghadapi pertempuran. Orang-orang berdesakan, mencoba masuk secepat mungkin, dan saat di dalam, tidak ada ruang untuk sekadar bergerak bebas.

Kereta di Jakarta adalah simbol dari kehidupan yang tak pernah berhenti. Jam sibuk di pagi hari adalah puncaknya, suara derak roda di atas rel, suara-suara orang berbicara, dan napas terengah-engah di antara penumpang yang berjuang mendapatkan tempat. Hari-hari pertama, aku merasa tak nyaman. Kepalaku pusing, tubuhku terasa terhimpit, dan kebisingan ini terasa asing dan menyesakkan.

Namun, semua itu berubah ketika aku bertemu Aulia. Kami pertama kali berhubungan melalui platform media sosial, di mana ia tampak begitu aktif, membagikan cerita-cerita ringan. 

Saat aku kesulitan mencari teman dan penunjuk jalan di Jakarta, Aulia menawarkan dirinya untuk menemani. Pertemuan pertama kami dilakukan di kereta, sebuah pertemuan yang kuingat dengan jelas.

Hari itu, kereta penuh seperti biasa, tapi kehadiran Aulia mengubah suasana yang biasanya penuh tekanan menjadi lebih ringan. Dia muncul dengan senyuman hangat, menyapaku seolah kami sudah lama kenal. "Jadi, ini pertama kalinya kamu di Jakarta, ya?" tanyanya sambil tertawa kecil. Senyumnya seolah meredakan semua ketegangan yang ada di dalam gerbong yang padat.

Hari demi hari, aku mulai terbiasa dengan keramaian kereta. Aulia yang periang selalu menemukan cara untuk membuat obrolan menyenangkan, membuat waktu berlalu tanpa aku sadari.

 Sebelumnya, setiap kali aku berada di dalam kereta, rasanya seperti sedang ditelan oleh kota yang tak pernah tidur. Tapi bersama Aulia, kereta yang dulu terasa seperti penjara bergerak kini berubah menjadi ruang yang penuh dengan cerita dan canda. Hiruk-pikuk di pagi hari yang sebelumnya membuatku tertekan, kini hanyalah latar belakang dari tawa dan percakapan kami.

Kami berbicara tentang banyak hal, tentang hidup di ibu kota, tentang keluarganya. Pernah sekali ia menceritakan kisah hidupnya. Dia adalah anak sulung, tulang punggung keluarga, dan impiannya untuk melanjutkan pendidikan terpaksa tertunda karena tanggung jawab yang dia pikul.

 "sebenarnya. aku Ingin kuliah," katanya suatu hari, "tapi sekarang aku harus kerja dulu, bantu keluarga." Meski ceritanya berat, dia selalu menyampaikannya dengan tawa. Entah bagaimana, Aulia selalu bisa membuat hal-hal sulit terdengar ringan.

Setiap perjalanan kereta menjadi sesuatu yang kutunggu-tunggu. Aku mulai menikmati keramaian yang dulu menyiksa, karena setiap hari bersama Aulia terasa seperti petualangan kecil di tengah kota besar. Bahkan ketika malam datang, dan kereta terasa sunyi dengan wajah-wajah lelah penumpang, obrolan kami masih terasa hidup.

Namun, semuanya berubah begitu cepat. Setelah beberapa waktu, Aulia mulai jarang terlihat. Pesanku semakin jarang dibalas, dan aku mulai merasa kehilangan arah. Seolah-olah dia menghilang begitu saja, meninggalkan kereta yang dulu terasa hangat, kembali menjadi gerbong kosong dan penuh kesunyian.

Aku masih sering mengingatnya. Cerita-ceritanya, tawanya, bagaimana dia membuatku merasa nyaman di tempat yang asing. Dan sekarang, setelah aku kembali ke kampung halamanku di Kalimantan---tempat di mana tak ada kereta yang melintas, tempat di mana segala sesuatu kembali sunyi---kenangan tentang Aulia terus hidup. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya, mengapa dia tiba-tiba menghilang, tapi satu hal yang pasti, dia telah meninggalkan jejak yang tak bisa hilang di dalam diriku.

Meskipun tak ada rel di sini, setiap kali aku melihat hamparan jalan yang sepi, aku teringat bagaimana dulu kami duduk bersama di kereta, berbagi cerita di antara wajah-wajah lelah penumpang lain. Kenangan tentang Aulia adalah bagian dari perjalananku---perjalanan yang tak akan pernah kulupakan, meskipun kereta itu kini hanya ada dalam ingatanku.

itulah sedikit ceritaku di Kereta Api Indonesia.

Untuk Aulia,

Di setiap langkahku, aku selalu teringat bagaimana kita, dua orang asing yang menemukan kenyamanan di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur. Kereta yang dulu terasa begitu menyesakkan kini seolah sepi tanpa kehadiranmu. 

Aku masih bisa membayangkan senyummu, cara kamu bercerita tentang hidupmu yang tak pernah mudah, dan tawa ringanmu yang selalu membuat segalanya terasa lebih mudah.

Sudah berapa lama kita tak bersua? Pesan-pesanmu semakin jarang, sampai akhirnya benar-benar hilang. Tapi setiap kali aku naik kereta, meski hanya di ingatanku, aku merasakan kehadiranmu di sana, duduk di sampingku, membuat perjalanan terasa lebih ringan.

Kamu bilang, kamu tulang punggung keluargamu, dan aku mengerti beban yang kamu pikul. Mungkin itulah yang membuatmu menghilang, tenggelam dalam tanggung jawab yang lebih besar dari yang bisa kubayangkan. Aku hanya berharap kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada.

Aku sekarang di rumah, sebuah tempat di mana tak ada rel, tak ada kereta. Tapi meskipun begitu, kenangan kita terus berjalan. Di sini, aku sering teringat kita, perjalanan kita, dan bagaimana kamu membuat kota besar itu terasa lebih ramah. 

Kalau saja aku bisa mendengar kabar darimu lagi, aku ingin tahu apakah kamu baik-baik saja. Sampai saat itu tiba, aku akan terus menyimpan kenangan kita, seolah kereta terakhir kita masih belum berhenti.

Semoga kita bertemu lagi di suatu perjalanan, Aulia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun