Mohon tunggu...
Hanadia Mumtaz
Hanadia Mumtaz Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pegiat sastra dan bahasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Masihkah 'Sekolah'?

4 September 2020   19:14 Diperbarui: 4 September 2020   19:03 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mendengar kata sekolah, maka yang mungkin kita  bayangkan adalah sebuah bangunan luas dengan banyak ruang yang terbagi-bagi lagi menjadi kelas. Kemudian mungkin, di depannya terpasang sebuah tulisan besar; nama sekolah tersebut. 

Masuk sedikit, bisa dilihat papan besar berisi visi-misi mulia dari lembaga akademis yang satu ini, mungkin juga sambil bersandingan dengan daftar lulusan yang masuk universitas-universitas besar tahun lalu. Kemudian di tengah lapangan, bendera merah putih dicanangkan dengan kokohnya menjadi kiblat hormat murid-murid saat upacara.

Namun gambaran tersebut boleh jadi hanya bisa dibayangkan oleh orang-orang kota yang dengan segala privilesenya, mampu bersekolah di 'sekolah' yang kini diakui banyak orang sebagai sekolah. 

Lalu bagaimana dengan di daerah-daerah misalnya, daerah 3T atau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia? Atau bagaimana juga dengan di pulau-pulau yang sayangnya tak mendapat infrastruktur semegah milik Jawa? Atau di Jawa pun, bagaimana dengan daerah-daerah pinggir kota yang bahkan mungkin sedikit lagi akan menjadi tumbal atas nama modernisasi? 

Daerah-daerah tersebut, yang kebanyakan dari kita hanya melihatnya lewat TV, dengan sekolahnya yang digambarkan sebagai bangunan bobrok dan murid-muridnya mungkin juga tak mampu beli seragam, masihkah bisa disebut sekolah?

Kembali ke zaman-zaman di mana pemikiran Socrates membuat orang-orang Yunani kala itu mulai gemar 'berpikir,' kemudian 'sekolah' menjadi sebuah tren, kata tersebut sebenarnya berasal dari Bahasa Yunani; skhole, scola, scloae secara harfiah berarti 'waktu senggang', diambil dari kebiasaan orang Yunani tempo dulu. 

Pada masa itu, mengisi waktu luang dengan datang ke tempat-tempat tertentu dan belajar suatu hal yang baru menjadi sebuah hobi. Mereka menyebut hobi itu dengan kata 'skhole', yang memiliki arti 'waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar' (leisure devoted to learning). 

Kemudian hobi ini menjadi kebiasaan di mana para orangtua akan mengirimkan anak-anak mereka, baik perempuan maupun laki-laki, pada seseorang yang dianggap cakap dalam hal tertentu, dan di sana mereka akan bermain dan belajar tentang apa saja yang mereka rasa perlu pelajari. 

Sejak saat itu fungsi sekolah yang mulanya scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), maksudnya tempat ibu belajar untuk kemudian diajarkan kembali pada anaknya, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak di waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu).

Lalu di masa sekarang, agaknya makna sekolah ini mengalami pergeseran menjadi institusi tempat diadakannya pengajaran, tetapi tidak lagi semerdeka dalam asal arti katanya yang berarti 'waktu senggang'. 

Makna sekolah ini kemudian dipersempit dengan sistem-sistem pengajaran yang tidak memerdekakan pikiran. Kurikulum dibentuk seolah-olah sebatas formalitas untuk mendapatkan ijazah, tanpa membahas esensi dari sekolah itu sendiri.

Irfan Sopian, guru Bahasa Indonesia yang mengajar di SMPI Al-Azhar 36 Bandung, yang juga berpengalaman mengajar di sekolah-sekolah rakyat (non-formal), menganggap esensi dari belajar itu sendiri adalah proses dari yang awalnya tidak tau menjadi tau. 

Maka sekolah, apapun bentuknya adalah sekolah jika membuat seseorang mengalami proses tersebut. Namun menurutnya perbedaan dari sekolah formal dan non-formal adalah bagaimana lulusannya kemudian dapat memaknai hidup, yang merupakan hasil akhir dari proses belajar itu sendiri. Menurutnya anak-anak sekolah formal boleh jadi sukses dan jadi orang besar, begitu pula anak-anak sekolah non-formal. Namun baginya, anak-anak sekolah non-formal ini, punya pengalaman hidup yang lebih dalam, yang mencetak mereka kelak menjadi 'profesor kehidupan'.

Lantas pertanyaan akhir yang kita layangkan adalah, sebenarnya manakah yang disebut sekolah? Apakah sebuah tempat merdeka berpikir dan belajar? Atau tempat di mana seseorang berproses untuk memaknai kehidupan? Ataukah sebuah formalitas semata untuk kita yang mengejar ijazah? Perkembangan sekolah dari Athena sampai hari ini, yang maknanya konon sudah dipersempit, maka sekolah masihkah sekolah?

-

Tulisan ini dibuat oleh Peserta Remaja Belajar Menulis Konten Musim 3 Bastra ID.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun