KEHAMPAAN HAK: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia
      Buku ini ditulis oleh Ward Berenschot, Ahmad dhiaulhaq, Afrizal, dan Otto Hospes yang membahas tentang permasalahan masyarakat  dan koorporasi sawit di Indonesia. Buku ini terdiri dari pembahasan mendalam tiap sub-bab nya untuk mengakumulasi berbagai permasalahan dalam pertanyaan "mengapa konflik kelapa sawit begitu sulit diselesaikan". Para penulis buku ini mengawali dari permasalahan hak yang tidak terpenuhi yang penulis jelaskan dengan frasa "kehampaan" karena bagi penulis hak-hak masyarakat secara tertulis nyata adanya dan tercantum dalam berbagai UU yang ada. Namun ketika dipertemukan dengan berbagai fakta lapangan, hak-hak masyarakat tidak dipenuhi bahkan dilanggar oleh oknum pemangku kebijakan dan pejabat pemerintahan di tingkat daerah hingga pusat. Bahkan menurut data penulis menyimpulkan bahasannya lebih dari 50% kasus antara masyarakat dengan perusahaan sawit di Indonesia belum terselesaikan. Buku ini memuat pembahasan konflik perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
      Perseteruan hak warga yang 'hampa hak' dijelaskan penulis dengan pembahasan gerak masyarakat desa dalam mendapatkan kembali haknya. Persinggungan otoritas keamanan seperti polisi dan TNI seringkali dihadapkan dengan masyarakat desa yang seringkali bersikap represif dalam beberapa demonstrasi masyarakat desa yang menuntut hak-haknya untuk dikembalikan. Bahkan seringkali para polisi dan TNI lebih berpihak pada Perusahaan dibaningkan dengan masyarakat daerah itu sendiri.Ekspansi perusahaan kelapa sawit di Indonesia hingga tahun ini berimbas pada meluasnya penderitaan masyarakat desa yang kehilangan akses tanah dan mata pencaharian mereka sama sekali bahkan dengan jumlah kompensasi yang sedikit. Pemerolehan manfaat bagi masyarakat desa dari perusahaan sawit di tanah yang dilelang, dijual bahkan digusur sangat terbatas dan peluangnya kecil. Hal itu diperburuk dengan permasalah masyarakat desa yang tanahnya tidak memiliki sertifikat yang resmi.
      Pada dua bab pertama dijelaskan mengenai banyaknya hak-hak masyarakat yang tidak terpenuhi bahkan seolah hilang dan tidak secara terang untuk mengakui bertanggung jawab daripada perusahaan untuk ikut memberikan manfaat luas kepada masyarakat desa yang tanahnya telah diambil dan dialihgunakan perusahaan. Penggunaan frasa 'hampa hak' oleh penulis sebagai bentuk ilustrasi ketiadaan perlindungan dan kepastian hukum yang efektif terhadap kepentingan warga. Penekanan 'hampa' disini ditekankan pada tidak efektifnya hak-hak warga negara. Penulis menggambarkan bagaimana proses pemenuhan hak-hak yang samasekali dihalangi (sengaja) untuk tidak terpenuhi terjadi dilakukan oleh para pemangku kebijakan di pemerintahan.
      Namun satu hal yang luput dari pembahasan ini adalah jangkauan permasalahan yang hanya berpusat di empat wilayah yaitu Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat. Meski dalam pandangan penulis cukup representatif menjelaskan kehampaan hak yang cenderung lebih banyak muncul dalam kasus di Kalimantan karena beberapa konteks aturan baru yang kurang berpihak pada masyarakat lokal. Papua menjadi salah satu wilayah penanaman lahan sawit yang tidak ikut terliput dalam penelitian buku ini dikarenakan berbagai kendala yang ada.
      Pada bab kedua dijelaskan bagaimana konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat perdesaan muncul begitu umum dan mudah terjadi di Indonesia. Akses mudah yang didapatkan perusahaan kelapa sawit menjadi faktor dominan dalam berbagai kasus yang diteliti dalam buku ini. Hal ini bertali erat dengan beberapa faktor lainnya seperti ketimpangan keuntungan, kompensasi yang zalim, persetujuan yang dilanggar. Kepastian hukum yang 'kabur' menjadi pintu pembuka bagi masyarakat desa untuk lebih banyak berdemonstrasi bahkan berkonflik dengan perusahaan karena kesadaran beberapa faktor diatas selamanya tidak akan mensejahterakan dan berpihak pada masyarakat desa sekitar perusahaan kelapa sawit.
      Pembahasan di bab ketiga penulis menggambarkan bagaimana situasi politik dan ekonomi berjalan buruk di bawah meja para pemangku kebijakan. Strategi konflik perusahaan yang bermuka dua (ungkap penulis) menyadarkan bahwa perilaku kotor perusahaan kelapa sawit umum terjadi di empat wilayah sampling ini. Hal ini menjadi faktor penguat kesekian terhadap tajamnya konflik berkepentingan ini. Satu masalah yang menurut pribadi dapat dijadikan pertimbangan untuk dibahas di dua bab pertama ini adalah mengenai peran para oknum partai politik yang juga berusaha dalam bidang kelapa sawit ini. Hal ini setidaknya dapat menjelaskan secara lebih rinci bagaimana praktik kolusi dan transaksi kebijakan yang memudahkan praktik kotor dapat terjadi.
      Sesuai denga apa yang ditulis oleh penulis, penulis menyajikan data dengan cukup baik dan dapat diterima oleh para pembaca tentang permasalahan masyarakat dan Perusahaan sawit di Indonesia. Saya menyetujui belum adanya pemenuhan hak oleh perusahaan sawit di Indonesia terhadap masyarakat dan belum adanya upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik sehingga sampai saat ini masih adanya perlawanan.
      Buku ini cukup jelas menggambarkan bagaimana alur dan situasi praktik-praktik kotor yang menghampakan hak masyarakat desa oleh korporasi perusahaan sawit dilakukan. Menurut saya ada satu bahasan yang setidaknya dijadikan satu bab bahasan khusus yaitu terkait praktik demokrasi oligarki yang dilakukan para politisi partai politik dengan perusahaan kelapa sawit yang akan menjelaskan lebih komperhensif bagaimana praktik 'kehampaan hak' masyarakat desa dilakukan sejak dari pusat; para pemangku jabatan pemerintahan, politisi, tokoh kenegaraan tertentu hingga daerah; provinsi, kecamatan sampai desa. Sehingga gambaran kehampaan hak masyrakat desa menjadi jelas adanya, dilakukan secara terstruktur dan melanggar hak kewarganegaraan masyarakat desa dan hak kemanusiaan secara umum.
      Oligarki yang saya maksudkan adalah secara spesifik beberapa oknum politisi yang merupakan pengusaha kaya seringkali memperkaya dana politik mereka dari sumbangan para pengusaha kaya lainnya yang mengarahkan pada transaksi politik dan ekonomi antara perusahaan dan pemerintahan lokal. Kemudian politik oligarki terjadi di tingkat para pejabat pemerintahan setelah membangun kondisi demokrasi oligarki yang secara umum menggambarkan bagaimana kekuatan politik dan ekonomi menindas banyak masyarakat sebagai kekuatan tandingan  yang lemah dan dapat dipegang kendalinya oleh para pemegang kekuatan tadi.
Referensi :Â
Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia (2023). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H