Modus di dunia kerja tidak akan pernah selesai sebab perusahaan atau oknum nakal ingin mendapatkan keuntungan dengan cara halus. Menjaring orang-orang polos dengan semangat mendapatkan gaji bulanan untuk kebutuhan hidup, lalu dipatahkan begitu saja oleh realita. Sungguh miris!
Niat hati ingin mendapatkan uang, malah keluar modal dulu sebelum ada pendapatan. Begitu perkataan orang-orang ketika perusahaan impian tempat memperkaya diri meminta sejumlah nominal di awal.Â
Fenomena ini semakin hari dapat diidentifikasi sebagai bentuk penipuan, sehingga korban pun perlahan-lahan berkurang, kecuali dia memang sangat mendambakan pekerjaan dan rela melakukan apa pun.
Barangkali, karena kebusukan sudah menjadi rahasia umum, modus di dunia kerja mengalami perubahan. Bukan lagi memalak atas nama administrasi, melainkan mencari nama semata melalui perekrutan karyawan. Atau, mencari solusi atas permasalahan dari jawaban-jawaban mereka.
Apa pun itu, harus ada keuntungan, meski ada keringat orang-orang malang dari jauh sana. Sial lagi, mereka sudah keluar uang transportasi dan lain-lain, tetapi malah terkena tipu.
Saya pernah hampir terkena modus lama, tetapi terkena juga sama si baru. Dua di Yogyakarta, satu di Malang. Semua menjengkelkan dan tidak tahu diri, benar-benar memeras saya habis-habisan, bahkan mereka masih sempat menunjukkan prestise. Benar-benar penipu ulung!
Pengalaman pertama, saya melamar sebagai pembuat konten promosi di sebuah penerbitan terkenal. Saya sangat senang bertemu orang baru, apalagi satu minat. Tidak sungkan-sungkan, saya meminta media sosial semua calon karyawan.Â
Kami saling berkabar setelah itu. Di antara kami semua, gagal, tidak satu pun diterima. Lebih aneh lagi, tidak lama setelah kami dites seharian dan tidak disediakan konsumsi, perekrutan dibuka lagi sampai beberapa kali.
Pengalaman kedua, saya melamar sebagai manajer proyek di sebuah agen penerjemahan. Kualifikasi pendidikan adalah strata satu, sementara saya mengantongi ijazah strata dua. Selain itu, pengalaman dan jurusan saya sangat mumpuni untuk posisi tersebut.Â
Tidak jauh berbeda, saya dites seharian, bahkan ketika Ramadan. Pertanyaan-pertanyaan untuk saya pun sudah melebihi cakupan kerja saya, cenderung ke strategi marketing.Â
Menurut informasi, dua minggu kemudian saya akan dikabari untuk status penerimaan. Belum sampai melewati waktu tersebut, saya mendapat tawaran sebagai pengalih bahasa lepas di sana. Saya mendapatkan serangkaian soal lagi. Saya bertanya untuk kabar lanjutan, tetapi tidak pernah ada kabar sama sekali sampai sekarang!
Pengalaman ketiga, saya melamar sebagai staf admin atau editor jurnal di sebuah asosiasi. Proses perekrutan di sini sangat formal. Sekilas, tidak ada hal mencurigakan, sampai saya mendapatkan tes tertulis.Â
Saya diminta untuk membuat ulasan tentang sub unit usaha di Google Business. Tidak masalah. Namun, etiskah sampai saya harus mengunggah di media sosial? Itu sudah menyinggung privasi. Diterima saja belum, sudah promosi sana-sini, bahkan lebih dari lima item. Komunikasi di sini pun payah. Saya tidak mendapatkan kabar sama sekali setelah itu.
Modus pekerjaan dengan meminta sejumlah uang lebih mudah dihindari. Bagaimana dengan si baru? Perusahaan ternama memang tidak menjamin kredibilitas, tetapi kalau tidak dicoba seperti saya, adakah cara agar tidak masuk jebakan?
Bagi saya pribadi, kerugian materi, tenaga, dan waktu, bisa dilupakan begitu saja. Namun, pengalaman ini justru mengikis rasa percaya diri saya. Apakah saya memang tidak layak untuk diterima? Padahal, dari awal memang tidak ada rencana itu dari mereka.Â
Mereka sukses mengerjai saya! Pendidikan saya tidak diinjak-injak. Padahal, kalau toh mereka percaya pada saya, saya akan bekerja sebaik mungkin.
Saya tidak bisa membayangkan kalau korban itu bukan saya. Mungkin dia akan depresi, merasa tidak layak berkepanjangan. Ini kerugian paling fatal jika dibandingkan dengan hal-hal lain di mana bisa tergantikan dengan mudah.
Di sisi lain, banyak pengunduran diri karyawan secara massal di dunia perbankan. Apalagi kalau bukan tentang tuntunan kerja dan gaji tidak seimbang.
Sebagai solusi untuk menarik minat masyarakat untuk mengabdi di sana kembali, banyak konten-konten karir menunjukkan kelebihan-kelebihan finansial agar mereka tergiur.Â
Cara ini kurang efektif sebab orang-orang berpengalaman angkat bicara di kolom komentar.
Ada perkataan bahwa gaji tidak menjamin seorang karyawan betah, melainkan budaya kerja sehat. Jadi, tolonglah ciptakan kondisi itu. Kami selaku pekerja juga manusia. Kami punya perasaan.Â
Ketika kami lelah, kami akan menyerah. Terlalu miris jika kemudian menjaring orang lain dengan semangat penuh, tetapi malah dihancurkan.
Bertanggung jawablah dengan unit usaha kalian, jangan jadikan kami korban. Apakah pemerintah bisa membantu mengatasi permasalahan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H