Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gangguan Mental: Definisi Sakit Tak Berdarah

26 April 2021   14:32 Diperbarui: 26 April 2021   14:34 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Sakit tak berdarah diasosiakan dengan fenomena patah hati. Meski tidak tampak ada luka, ternyata bisa membuat seseorang tumbang. Terasa romantis, bukan? Namun, dalam perspektif realistis, sakit tak berdarah adalah ketika mental mengalami gangguan. Nah, saking realistis, hal ini kerap kali diabaikan. Gangguan tersebut lagi-lagi memiliki imej romantis yaitu galau, sehingga akan hilang seiring berjalan waktu. Padahal, tidak sesederhana itu. Mental sama seperti organ tubuh yang membutuhkan perawatan.

            Sesuatu yang tidak terlihat memang sulit untuk dipercaya. Contoh populernya adalah kepercayaan seseorang terhadap hantu. Orang yang bisa melihatnya pasti akan percaya, sementara yang tidak bisa melihat akan berada di kubu seberang. Bahkan, beberapa tidak segan mengatakan bahwa orang yang melihat hantu sejatinya tengah berhalusinasi. Kaitannya dengan isu kesehatan mental adalah ketika seseorang terlihat baik-baik saja, maka diasumsikan dia memang baik-baik saja. Kenyataannya tentu tidak begitu. Menyembunyikan hal-hal yang mengganggu psikis seolah harus dilakukan agar tidak dikatai cengeng, baperan, lemah, atau perkataan-perkataan lain yang menegaskan kesedihan itu tidak seharusnya dirasakan.

            Menurut Goleman (2004), ada empat emosi dasar manusia yaitu takut, marah, sedih, dan senang. Maka, perasaan sedih atau lainnya yang dirasakan itu valid. Terimalah untuk memanusiakan diri, bahwa manusia dan robot itu berbeda dari segi emosi. Pernah mendengar pertanyaan dari orang lain, "Kenapa tiba-tiba aku ingin menangis atau marah?" Tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh emosi yang terpendam. Di lingkungan orang tersebut tidak mengizinkannya untuk mengekspresikan emosi. Dia dituntut untuk senantiasa terlihat baik-baik saja. Alhasil, emotional baggage yang sudah penuh dengan kepura-puraan itu luber sewaktu-waktu.

            Mental yang baik adalah mental yang tidak kenal menyerah. Namun, sesuai fitrahnya sebagai manusia, capaian tidak menyerah itu didapatkan dari hasil istirahat. Kalau takut ya diakui, kalau marah ya diakui, kalau sedih ya diakui, dan kalau senang ya diakui. Berada di bawah itu sangat wajar sebab hidup penuh dinamika. Ambillah jeda untuk tetap waras. Penerimaan diri atau lebih tepatnya kejujuran diri inilah yang dapat memelihara mental. Aksi yang tampaknya sepele ini akan mencegah apa yang orang lain ingin lihat dari manifestasi gangguan mental yang paling ekstreme yaitu kegilaan.

            Pada akhirnya, validasi bahwa psikis tidak sedang baik-baik saja tidak bisa didapatkan dari sembarang orang sebab tidak semua orang percaya dengan apa yang tidak bisa dilihat. Curhat masalah dicurigai sedang drama, bukan begitu? Lalu, suatu masalah ditanggapi dengan enteng oleh orang lain dan lagi-lagi dianggap lemah, karena tidak bisa menghadapi cobaan. Padahal, pengalaman setiap orang berbeda-beda, sehingga ukuran satu dan lainnya akan berbeda pula. So, please be kind. Berjalanlah di atas rumput orang lain dengan lembut. Tidak perlu menimbang-nimbang apakah masalah orang tersebut lebih berat atau ringan dari siapa pun.

            Kalau diminta memilih harus berempati pada korban kecelakaan atau gangguan mental, bisa dipastikan bahwa korban kecelakaan akan memenangkan pemungutan suara. Dengan asumsi bahwa luka mereka terlihat dan nyawanya terancam. Memang benar, tidak ada yang salah dengan pemikiran tersebut. Namun, gangguan mental yang tidak tampak berdarah-darah pun sama berbahayanya. Perlahan-lahan. Bahkan, bisa saja membahayakan orang-orang di sekitarnya. Jadi, berempatilah pada keduanya. Mereka sama-sama sakit; fisik atau mental. Hanya saja, apa yang diberikan juga berbeda; materi atau atensi.

            Di sisi lain, isu kesehatan mental sekarang menjadi tren tersendiri. Sedikit-sedikit mendiagnosis mandiri kalau terkena depresi, bipolar, kecemasan, atau gangguan mental lain yang dinilai relatif dengan gaya hidup masa kini yang penuh tekanan agar mendapat pemakluman. Hal ini secara signifikan mengurangi kepercayaan orang lain terhadap isu kesehatan mental. Semuanya terasa sama saja bahwa orang yang mengaku sakit mental sedang mencari perhatian. Lagi-lagi, karena gejalanya tidak tampak, maka untuk membuktikan keabsahannya diperlukan observasi lebih. Hal tersebut tidak mudah, sehingga orang lain lebih memilih untuk tidak percaya.

            Dilansir dari konseling daring kitaberkisah, hanya tersedia satu orang psikolog klinis per satu juta penduduk di Indonesia. Lebih-lebih, bagaimana cara mendapatkan pertolongan dari ahli tersebut belum begitu disosialisasikan. Selain membutuhkan kerja sama antara pemerintah dan pihak-pihak yang menaruh atensi terhadap isu kesehatan mental, masyarakat umum dapat memberikan sumbangsih berupa aksi sederhana seperti menjadi pendengar yang baik dan tidak mudah melabeli ini-itu terhadap orang terdekat atau siapa pun yang ingin bercerita. Percayalah, kebaikan menjadi sosok teman tidaklah merugi sama sekali bahkan meski tindakan tersebut dinodai oleh kebohongan orang lain. Justru, dari mendengarkan itu secara tidak langsung akan memberikan insight baru yang memperkaya pengalaman.

            Tidak heran jika gangguan mental sangat mengerucut ke kegilaan. Hal ini dikarenakan fase-fase sebelum menuju ke kegilaan dianggap bukan apa-apa. Fase tersebut ibarat gaya hidup tidak sehat yang dilakukan terus menerus dan pada akhirnya menimbulkan penyakit kronis yang susah disembuhkan. Lalu, bagaimana masyarakat memandang orang gila memang sangat mengenaskan, bahwa mereka sampah dan tidak berharga. Pandangan tersebut tidak bisa sepenuhnya disalahkan, mengingat setiap orang berhak menjalani hidup damai tanpa ada distraksi yang berpengaruh pada mental. Maka, keluarga yang mempunyai anggota yang mengalami kegilaan tidak segan-segan untuk membuangnya ke jalanan.

            Pernahkah mengamati suasana rumah sakit jiwa dari luar? Terkesan mencekam dengan banyak pepohonan tinggi dan dibiarkan gelap tanpa penerangan, bukan? Hal itu memang memiliki tujuan tersendiri agar pasien bingung dan takut ketika akan melarikan diri. Alhasil, mereka akan mengurungkan niat tersebut. Sudah terbayang bagaimana memperlakukan orang gila yang membutuhkan penanganan khusus? Hal ini pun berkaitan dengan neurotransmitter yang sudah tidak berfungsi dengan baik pada orang gila.

            Neurotransmitter adalah sel syaraf yang berfungsi untuk menghantarkan impuls atau rangsangan ke syarat-syaraf lain, sehingga membuat seseorang melakukan pergerakan atau memutuskan sesuatu. Oleh karena itu, orang gila tidak mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan meskipun hal-hal sepele seperti memakai baju atau mandi. Sudah terbayang bagaimana susahnya bagian tubuh (yang tidak terlihat) ini disembuhkan? Terpujilah perawat-perawat di rumah sakit jiwa yang sudah senantiasa sabar menghadapi pasiennya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun