"Sendirian, Mbak?" Begitu tanya seorang petugas saat saya ke museum sendiri. He he memang aneh ya solo travelling di Solo? Wkwkwk. Ya, tempat bersejarah ini terletak di Jl. Slamet Riyadi No. 261. Untuk lokasi sangat mudah dijangkau, berada di pinggir jalan besar.
      Wisata edukasi ini buka setiap hari mulai pukul 09.00 sampai 16.30. Saat itu saya datang ketika jam istirahat, 11.30-13.00, karena berkunjung ke Museum Tumurun terlebih dahulu. Jadilah saya pilih-pilih buku di Gramedia untuk membunuh waktu. Beruntung sekali saya, terletak persis di seberang Danar Hadi.
      Sebelum melihat-lihat koleksi museum, kamu harus membeli tiket terlebih dahulu di bagian suvenir. Saya kira mahasiswa pascasarjana mendapatkan harga tiket pelajar (15.000), eh ternyata reguler. Saya membayar sebesar 35.000. Setelah itu, masuklah ke bangunan di depan kamu bertransaksi tadi. Tunjukkan struk pada petugas, maka kamu pun akan dipandu berkeliling.
      Meski hanya terdiri dari satu lantai, dijamin kamu akan gempor! Total ruangan ada sekitar 10. Alhasil, sebelum berkeliling kamu akan ditanyai oleh petugas sedang terburu-buru atau tidak. Saya sih santai waktu itu, toh tidak lama kemudian hujan deras. Lumayan untuk tempat berteduh, lah.
      Batik memang sangat erat dengan Jawa Tengah. Oleh karena itu, di ruangan pertama saya disuguhi koleksi-koleksi dari kesultanan Solo dan Yogyakarta. Ciri khas motif daerah ini adalah parang dan warna gelap, sehingga memunculkan larangan bagi luar kerajaan mengenakan tampilan serupa.
      Banyak sekali wawasan mengenai batik yang saya dapatkan saat itu, seperti jenis-jenis batik, perbedaan cara penggunaan antara kesultanan Solo dan Yogyakarta, motif tertentu untuk digunakan dalam sebuah acara, cara pembuatan serta pewarnaan, ukuran-ukuran canting, bahan-bahan pembuat lilin atau malam, sampai fakta-fakta menarik dan sukses membuat saya tercengang. Sampai sekarang.
      Saya tidak bisa menjelaskan kronologi tur saya selama satu jam itu (mungkin lebih) secara runut sebab memang tidak ada dokumentasi. Saya baru sadar kenapa tidak mencatat saja ketika di setengah perjalanan. Saya sudah kadung terhipnotis oleh koleksi-koleksi batik di museum pribadi milik Santosa Doellah tersebut.
      Mengenai motif favorit, ternyata saya menyukai batik Belanda dengan warna-warna cerah dengan corak kebanyakan flora. Saya pun terkesan dengan milik India sebab seperti gambar pada kain-kain tenun. Khas Cirebon, Pekalongan, dan Tuban juga tidak kalah memesona.
      Sementara konsep batik yang unik menurut saya adalah batik tiga negeri dan astaga saya lupa soal nama! Yang jelas, terlahir atau dicetuskan oleh presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, untuk mempersatukan seluruh masyarakat negeri ini. Salah satu koleksi bermotif lambang Pancasila, keren!
      Menjelang ruangan-ruangan akhir, terpajang batik-batik sumbangan seperti dari Megawati Soekarno Putri dan Guruh Soekarno Putra. Selain itu, ada pula motif-motif pilihan Santosa Doellah. Di bagian ini saya semakin takjub!