Permasalahan ini pun diperparah dengan tipe kepribadian saya sebagai seorang melankolis dan INFJ-T yang intinya sekali saya "dicederai," saya enggan kembali. Saya benar-benar ingin berada di lingkungan yang dari awal menganggap saya berarti.
Impostor syndrome pada akhirnya membuat saya menjadi pribadi yang rendah diri. Anehnya, saya sangat menikmati momen di mana saya merendahkan diri saya sendiri.
Saya merasa itu adalah tindakan yang realistis. Untuk apa berbangga diri kalau belum sampai di puncak. Belum ada pengakuan yang sah.
Lagipula, saya selalu ingat perkataan bahwa ilmu manusia di dunia hanyalah seperti setetes air di luasnya samudra.
Pertengahan tahun ini nilai semester saya mulai keluar satu per satu. Kalau dijumlahkan, saya mendapatkan IPK 3,92 pada jenjang pascasarjana.
Apakah saya bangga? Tidak, karena saya merasa mudah untuk mendapatkannya.
Selain itu, apalah saya ini yang tidak bisa apa-apa di mata orang lain. Pastilah mereka juga meraih pencapaian yang hampir sempurna itu. Ada hal yang bertentangan dalam pikiran saya, tetapi mereka menjadi satu kesatuan yang menghancurkan.
Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi impostor syndrome, yaitu menanamkan pemikiran bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, berbagi ilmu pada orang lain, dan bercerita pada orang terpercaya. Terasa mudah, tetapi lagi-lagi bergantung pada lingkungan, respons orang lain terhadap diri kita.
Tahun ini saya sudah mulai mengerjakan tesis. Saya rasa momen ini dapat saya gunakan untuk membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mampu.
Saya berniat untuk lebih menjadi pribadi yang lebih individual, tetapi saya tidak menolak diajak bergabung, meski interaksinya akan tetap mencederai saya.
Saya tidak tahu kapan akan lepas dari impostor syndrome. Saya hanya harus tetap bergerak. Ya, berpikir dan bergerak tanda kehidupan. Penciptaan dalam diam. Saya akan tetap merasa bahwa saya tidak bisa apa-apa, tetapi setidaknya saya enggan terdiam di garis start.