Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Bullying Baru Ramai Diperbincangkan Setelah Ada Pemberitaan?

12 April 2019   08:00 Diperbarui: 14 April 2019   10:49 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tagar #JusticeforAudrey masih menjadi primadona di media sosial. Pengguna berbondong-bondong menyuarakan keadilan untuk gadis tersebut melalui berbagai cara. Ada yang dengan kata-kata halus pun kasar. Saya sangat menghargai tindakan mereka, meski sama-sama 'bersikap' tidak baik mencerminkan diri pelaku.

Tentu saya sangat bersimpati pada kasus ini. Bagaimana tidak, satu lawan dua belas tidaklah manusiawi. Belum lagi hal-hal yang didramatisir, di mana belum diketahui pasti soal kebenaran. Suasana hati saya tiba-tiba kacau, terbawa sampai besok pagi. Ternyata, saya pun kedatangan tamu bulanan. Rasa ngilu itu semakin menjadi-jadi.

Orang-orang kebanyakan menyayangkan tindakan pelaku. Tidak demikian dengan saya. Sebuah pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini lebih tertarik saya bahas (dengan diri sendiri), mengingat saya pun pernah menjadi korban bully.

Masa SD dan SMA berat untuk saya. Bentuk bully yang saya terima berbeda dan membuat saya merasa diri ini sangatlah buruk serta tidak berguna. Saya pun berubah menjadi emosional. Sayang, perilaku saya ini dipandang sebagai sebuah kesalahan oleh mereka, seolah-olah mereka tidak pernah merasa memberikan pengaruh buruk terhadap jiwa saya.

Lulus S1, saya mengenal istilah self-healing alias menyembuhkan secara mandiri. Dari sini saya mulai berbenah. Saya tidak mau menjadi manusia yang emosional. Saya merasa perilaku tersebut bukanlah bagian dari diri saya. Saya sangat mudah tersentuh oleh suatu hal sampai meneteskan air mata.

Dalam setiap pemberitaan tentang bullying, ada satu hal yang saya takutkan. Kejadian ini akan terus berulang. Memang benar bukan kasus ini bukanlah kebaruan? Sampai-sampai setiap tahun ada saja. Media sosial pun mendadak ramai memperbincangkan. Saya jengah, meski simpati itu tetap saya rasakan untuk korban.

Saya tidak mengatakan kalau pengguna media sosial mendadak peduli tentang isu bullying setelah ada pemberitaan. Saya hanya menyayangkan dan mempunyai harapan agar kejadian ini tidak terjadi lagi atau paling tidak mampu ditekan.

Dilansir dari majalah Gadis versi daring, ada lima penyebab seseorang menjadi pem-bully, antara lain: cari perhatian, ingin akrab, iri, difficult people (permasalahan kepribadian), dan tidak sadar sudah menyakiti hati orang lain. Senada dengan laman MERAMUDA, pelaku termotivasi atas keinginan berkuasa, sebagai bentuk pelampiasan stres, trauma, serta keluarga yang tidak harmonis.

Jika ditarik kesimpulan, pelaku bullying dipengaruhi oleh dua hal: mindset dan pengalaman yang tidak mengenakkan. Selama belum terselesaikan, maka kasus ini akan terus bermunculan. Kita boleh peduli setelah ada pemberitaan, tetapi itu tidak akan memberikan dampak yang signifikan.

Kita harus mulai dari langkah paling awal: memperbaiki diri. Apalagi, jika berposisi sebagai orangtua. Anak diibaratkan seperti kertas putih kosong, di mana sangat mudah dibentuk menjadi pribadi yang seperti apa. Di sini saya secara tidak langsung menyuarakan penolakan untuk menikah muda. Pasangan mungkin mengaku sudah mapan secara ekonomi, tetapi bagaimana dengan kesiapan mental mendidik titipan Tuhan?

Baiklah, mungkin di antara mereka sudah ada yang memenuhi kriteria poin kedua. Bagaimana kalau tidak? Generasi penerus tidak berkualitas akan terus tercetak.

Sering kali apa yang kita konsumsi sehari-hari termasuk tontonan akan mempengaruhi pola pikir. Benar, saya merujuk pada sajian tidak mendidik dengan berbagai protes agar dihapuskan. Dalam psikologi, fenomena ini biasa dikenal sebagai bandwagon effect atau kecenderungan seseorang dalam mengikuti suatu tren.

Tren di sini adalah perilaku tokoh yang tidak terpuji, tetapi terlihat keren bagi penonton. Lagi, hal tersebut menunjukkan sebuah kekuasaan, sehingga mereka tertarik untuk melakukan hal serupa.

Korban bullying sangat membutuhkan dukungan moral dari orang terdekat. Dilansir dari pelatihanparenting.com, ada lima cara untuk membantu mereka lepas dari pengaruh perilaku buruk tersebut. Jadi, meski mereka sudah menjadi sasaran pelaku, kasus kejahatan itu belum resmi lantaran tidak mengganggu psikis mereka terlalu jauh.

Dalam kasus Audrey, keadilan didapat setelah para pelaku dimasukkan sel. Namun, alasan di bawah umur adalah hal pemberat atas penjatuhan hukuman. Bagaimana jalan terbaik? Jangankan berurusan dengan polisi, mereka pun akan tetap mendapat ganjaran di masyarakat dan itu lebih menyakitkan, terutama penolakan.

Sel bukan hukuman mutlak, ada banyak cara. Ingat hukum kausalitas selalu berlaku atas suatu perbuatan. 

Di awal, mereka boleh bangga pamer perilaku tercela melalui boomerang. Namun, tidakkah lama kelamaan merasa malu lantaran muka mereka tersebar dengan embel-embel tersangka? Lantas, sebagai pembelaan malah melakukan playing victim. Lucu sekali.

Kalau toh hukuman resmi yang diharapkan akan memperbaiki keadaan tidak terwujud, fokuslah pada korban. Bantu dia bangkit. Tekan kasus bullying terjadi lagi. Takut ancaman pelaku? Lembaga pemerintah menyediakan cara mudah dan rahasia untuk melaporkan kejahatan tersebut. Selain itu, Undang-undang khusus pun sudah ditetapkan.

Dengan korban melakukan perlawanan, bullying tidak akan semakin merajalela. Pelaku tidak berhasil mendapatkan kepuasan atas hal tersebut. Bekali diri dengan keberanian, kewaspadaan, dan pengamanan.

Indonesia menempati posisi empat dalam populasi manusia. Penduduk banyak bukanlah beban negara, asalkan berkualitas. Berbeda lagi jika angka pem-bully tidak terkendali, sampai-sampai pemberitaan mereka merambah ke luar negeri seperti kasus ini.

Peduli terhadap isu bullying? Jangan menunggu setelah ada pemberitaan, karena setiap saat kejahatan tersebut bisa terjadi, hanya saja ada yang tidak terekspos. Memberikan edukasi rutin akan lebih bermanfaat ketimbang sekadar bentuk simpati. Perhatikan lingkungan sekitar, apakah ada oknum-oknum. Fokuslah pada mereka dengan alasan keterjangkauan aksi.

Terakhir, saya berdoa semoga Audrey dan korban bully lain mendapatkan yang terbaik. Amin. Semoga populasi orang berhati nurani di dunia ini semakin banyak, sehingga angka kejahatan bisa ditekan. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun