Selepas sahur, saya menonton berita di televisi. Pada sesi pertengahan, seorang penyiar mengatakan sebuah jargon. Saya kontan ber-njirrrrr dalam hati lantaran cocok sekali untuk menggambarkan negeri ini.
      Dengan dibuatnya jargon, "Orang miskin dilarang sakit," sudah cukup menegaskan betapa pemerintah tidak peduli dengan kemakmuran rakyat. Untungnya, permasalahan tersebut setidaknya sudah tertangani akan adanya fasilitas BPJS. Sayangnya, tidak semua memiliki kartu itu. Mengingat persoalan kesehatan begitu krusial, lebih baik tingkatkan sosialisasi agar pengguna semakin banyak.
      Toh, semakin banyak pemegang BPJS, semakin terjamin pula kesehatan rakyat, apalagi penderita penyakit berat. Sakit memang tidak ada yang mengharapkan. Namun, persiapannya juga tidak boleh dilewatkan. Kalau semisal kartu tersebut tidak digunakan dalam jangka waktu lama lantaran senantiasa sehat, dana yang Anda keluarkan setiap bulan akan diputar guna membiayai pasien lain dengan keadaan darurat. Singkatnya, sebut saja Anda tengah beramal demi keselamatan orang yang bahkan tidak Anda kenal.
      Kembali tentang jargon yang sempat disinggung di paragraf awal. Jargon tersebut, berbunyi seperti ini, "Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?" Nah, apa Anda pernah mengalaminya? Suatu hal yang sebenarnya membutuhkan penyelesaian sederhana, tapi terkesan rumit tidak pada porsi.
      Menyinggung tentang BPJS kembali, kartu tersebut dapat berfungsi juga untuk menebus kacamata. Lebih tepatnya, diberikan potongan 300 ribu saat pembelian di optik. Saya kala itu ingin menggunakannya dalam perkara itu, karena minus rasanya kian bertambah. Saat searching di internet, ternyata prosesnya begitu rumit. Akhirnya, saya mengurungkan. Belum ada waktu yang benar-benar longgar.
      Hal lain yang identik dengan kerumitan adalah ketika berurusan dengan polisi lalu lintas. Saya sendiri belum pernah bermasalah, tapi banyak orang mengatakan hal tersebut. Padahal, hukum dibuat untuk mempermudah penyelesain masalah, kan?
      Kerumitan yang saya alami sendiri adalah berkenaan tentang pendidikan. Bahkan, sejak SD sekali pun. Puncaknya, ketika berurusan dengan dinas pendidikan ketika mengurus S2. Saya sudah menyinggung hal ini beberapa kali, memang. Bukan, saya bukannya dendam, tapi agar mereka melek tentang tupoksi kerja. Kala itu seakan-akan saya yang bertugas mengumpulkan "data" ke sana ke mari. Padahal, dengan adanya koordinasi yang baik dari pihak sana, tidak akan saya bernasib seperti bola pingpong. Ingin bangsa maju, tentu benahi sektor pendidikan terlebih dahulu.
      Saya pikir, ketimbang mempersulit persoalan, lebih baik tingkatkan segi operasionalnya. Misalkan saja pemalsuan kartu BPJS. Tampilannya memang sederhana, sehingga mudah dioplos. Saran saya, di bagian belakang 'kan ada barcode, nah sediakan alat khusus di setiap puskesmas dan rumah sakit untuk memposisikan kode tersebut pada sensor. Kalau memang asli pasti terdeteksi.
      Mempermudah penyelesaian bukan berarti tidak membuat pelanggar jera. Kosekuensi berkelanjutan bisa diterapkan agar secara tidak langsung "terikat kontrak" untuk tidak melanggar lagi.
      Seringkali seseorang enggan melakukan sesuatu karena rumit. Begitu juga pendidikan. Alih-alih melanjutkan jenjang pendidikan, keburu menyerah lantaran peraturannya seperti benang kusut. Pertanyaannya, untuk apa? Itu justru menurunkan minat belajar, kan? Alangkah baiknya tingkatkan sarana pembelajaran agar siswa atau pelajar "betah."
      Pada tahun 80 sampai 90-an, Indonesia sempat mendapat julukan Macan Asia. Sangat membanggakan. Sayangnya, terasa miris dengan adanya jargon "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah."