Sudah berkali-kali Aileen mencubit tangannya sendiri selama berjalan dari flatke kampus barunya, Deakin University. Dia tahu kalau itu sakit, tapi masih saja mengulanginya untuk mengecek apakah yang dialaminya sekarang mimpi atau kenyataan.
Satu minggu sebelum perkuliahan, gadis itu awalnya tinggal di dormitory. Namun, ketika berjalan-jalan dengan beberapa teman PPI (Persatuan Pelajar Indonesia), dia melihat tempelan di sebuah flatyang tertulis kalau disewakan selama dua tahun saja. Dia pun tidak pikir panjang dan langsung bertamu untuk menanyakan harga.
Karena alasan disewakannya flattersebut bukan dari segi komersil, maka harga yang dibanderol pun tidaklah mahal. Bahkan, salah satu pemiliknya memberikan kebijakan bisa dicicil. Kemudahan itu dia berikan lantaran penyewanya adalah seorang pelajar dan sedari awal sudah berjanji akan merawatnya dengan baik selama ditinggal empunya ke luar negeri.
Thanks a bunch, Mr. Andrew and Mrs. Hannah, batin Aileen sambil merekahkan senyum. Teringat kebaikan hati pasangan muda itu.
***
Program master yang Aileen ambil adalah Writing and Literature, dengan spesialisasi Creative Writing. Setidaknya ada enam unit mata kuliah yang akan dia pelajari dalam spesialisasinya tersebut. Namun, hari ini dia mempelajari tentang Children Literature, di mana menjadi mata kuliah wajib sebelum memilih spesialisasi.
Sebenarnya, kelas mata kuliah yang Aileen hari ini hadiri adalah berbasis online. Dalam hal memperkenalkan diri, tentu lebih baik dengan bertatap muka, bukan? Karenanya, untuk dua pertemuan pertama dan jika diperlukan, pihak kampus memutuskan kalau mata kuliah ini dilakukan secara langsung.
Sub bahasan pertama yang dibahas adalah Retelling Myths and Tales: Classic to Contemporary. Aileen sempat cemas kalau dirinya akan gagal dalam kelas ini, mengingat ada hubungannya dengan berbicara atau menceritakan kembali. Pasalnya, kemampuan speaking-nya tidak begitu baik. Dia tidak tahu pasti, apakah kesulitannya berbicara ini dikarenakan Disleksia ringan yang dia idap?
Bahkan, saat memperkenalkan diri di awal kelas, dia cukup belepotan. Teman sekelasnya yang berasal dari berbagai negara pun memerhatikannya. Gadis ini terlihat sangat gerogi, begitu yang ada di pikiran mereka. Untungnya, dosennya kali ini sangat pengertian. Mrs. Helena memotivasinya untuk banyak berlatih berbicara, karena bahasa memang memerlukan suatu kebiasaan.
Dosen wanita berumur 40 tahunan dengan rambut keperakan dan mata birunya itu, tanpa mengatakannya, cukup menyukai Aileen pada pertemuan pertama. Menurutnya, gadis itu memiliki semangat belajar yang tinggi. Terbukti dari cara berbicaranya yang lantang dan percaya diri, meski perkataannya terbalik-balik dan diulang-ulang. Selain itu, dia terkesan pada alasan satu-satunya mahasiswa Indonesia dalam kelasnya itu saat ditanyai mengapa mengambil jurusan ini.
Selain saya menyukai menulis dan mempunyai pengalaman yang cukup, saya memang harus memilih jurusan ini. Saya tidak bisa mengatakan alasannya, tapi ini mempunyai pengaruh besar untuk mengarahkan jalan hidup saya.
***
Aileen pikir, setibanya dia di Australia, dia bisa mencari ‘dia.’ Sayangnya, pikirannya tersebut tersita oleh padatnya jadwal kuliah serta urusan-urusan lain. Lagipula, tempat kampusnya berada dan tempat di mana ‘dia’ berada terletak cukup jauh. Jadi, apakah dia bisa dengan mudah mencari seseorang itu tanpa melakukan persiapan terlebih dahulu?
Gadis asal Malang itu berkuliah di Melbourne, sementara ‘dia’ berada di Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales. Jika melihat peta Australia, Melbourne yang merupakan ibukota negara bagian Victoria memang tampak dekat dengan New South Wales, karena letaknya berjejer ke bawah. Namun, itu bukanlah jaminan kalau Aileen bisa menemukan ‘dia’ dengan mudah.
Masalah pertama adalah, gadis itu tidak tahu di mana kampus ‘dia.’ Waktu itu, ‘dia’ hanya berkata kalau nanti ingin berkuliah di Wollongong, karena sewaktu SMA pernah pertukaran pelajar ke sana. Namun, terakhir kali mereka berkomunikasi, ‘dia’ belum memberi tahu di mana tepatnya. Meski hal ini menyulitkan Aileen, dia berencana mendatangi semua kampus yang mempunyai jurusan teknik mesin dan elektro pada program master di sana. Ironis sekali memang, tiga tahun mereka kenal, Aileen masih tidak paham tentang apa jurusan ‘dia.’
Masalah kedua adalah, Aileen masih benar-benar asing dengan Australia. Ini pertama kalinya dia ke sini, atau lebih tepatnya lagi pertama kalinya ke luar negeri. Selain itu, dia sangat susah menghafal jalan. Membaca peta pun kesulitan. Tidak lucu ‘kan kalau dia tersesat selama mencari ‘dia’? Dia mungkin bisa bertanya pada orang di jalan, tapi gadis itu selalu panik dalam keadaan seperti itu dan pada akhirnya hanya berputar-putar saja. Namun, dari masalah ini dia mencoba mencari hal positif apa yang bisa dia dapatkan. Dari sini dia rasa akan memperbaiki kemampuan berbicaranya perlahan-lahan.
Masalah ketiga adalah, berkenaan dengan sejarah antara New South Wales dan Victoria. Dari semua negara bagian, Victoria merupakan yang terkecil dan hampir mendekati Tasmania, di mana bukan termasuk negara bagian. Hal ini dikarenakan pada tahun 1851 Victoria dinyatakan terpisah dari New South Wales setelah terjadi perburuan emas terbesar di dunia. Kemudian, letaknya di bagian tenggara Australia, berbatasan dengan South Australia di bagian barat dan New South Wales di bagian utara dengan sungai Murray sebagai batasnya. Fakta ini tidak bisa Aileen lupakan begitu saja dan malah memengaruhi psikologisnya, bahwa: sejarah dan alam saja sudah memisahkannya dengan ‘dia.’ Apakah nasib baik masih berpihak padanya?
Nggak, aku harus tetap berpikir semuanya nggak akan berubah kalau aku nggak melakukan apa-apa. Semoga aku bisa segera melupakannya dan kembali fokus.
Alien memacu sepedanya lebih kencang lagi agar angin yang menerpa wajahnya bisa menerbangkan pikiran negatifnya itu.
Hari ini sepulang kuliah, Aileen berniat untuk sedikit berjalan-jalan dengan sepeda yang dipinjamkan oleh Mr. Andrew dan Mrs. Hannah. Selain ingin refreshing sejenak, dia ingin mengeksplor daerah sekitar kampusnya, sendirian. Sebelumnya dia sudah melakukannya dengan teman-teman dari PPI, tapi itu dilakukan malam hari dan sekarang dia sudah cukup lupa jalan.
Sedikit berjalan-jalan di sini maksudnya dia akan mengambil rute memutar untuk kembali ke flat-nya yang berada di Kildare St. Pertama-tama, gadis itu akan keluar lewat gerbang belakang kampus. Kebetulan waktu itu dia sedang lapar, jadi dia mampir dulu ke kafe milik Deakin University yaitu Fusion Café.
Menu andalan di Fusion Café adalah Sushi. Aileen ingin memesannya, tapi sayangnya sudah habis. Pilihan akhirnya jatuh ke Ham, Cheese, and Tomato Croissant dan Regular Stir Fry Meal. Masing-masing dibanderol sebesar $6.50 dan $7.90. Cukup terjangkau oleh kantong pelajar seperti dirinya.
Setelah menghabiskan makanannya, Aileen masih enggan beranjak. Di sana dia merasa nyaman. Tata letak ruangannya sederhana, dengan meja super panjang serta kursi-kursi di dekat pintu. Lalu, di depannya banyak meja bundar dengan empat kursi yang sama, bercat kuning di bagian atas dan merah di bagian bawah. Gadis itu duduk di dekat tembok, di mana tertempel wallpaper hutan Bambu yang begitu nyata. Saat menatapnya, dia seperti ada di Cina. Dan, aroma kopi yang wangi juga alunan musik klasik semakin membuatnya betah di sana.
Keramahan dan pelayanan yang cepat dari Fusion Café membuat Aileen memberikan nilai tambahan pada tempat makan siangnya, yang dilakukan jam tiga sore ini. Namun, yang terpenting adalah kehalalannya.
Dua puluh menit menjelang kafe ditutup, Aileen akhirnya keluar.
Ketika gadis berkuncir kuda itu akan menaiki sepeda, dia tidak sengaja melihat sesosok pria yang berada di seberangnya. Atau, lebih tepatnya yang sedang terduduk sendirian sambil memakan makanannya di The Loading Zone, restoran milik Deakin University juga.
Apa menariknya memerhatikan orang lain yang sedang makan saat perutmu tidak lapar? Aileen pun tahu itu. Namun, ada hal lain pada pria itu. Berbeda dari lainnya, pria itu terlihat sangat murung dan tidak bersemangat saat menyantap makanannya.
Lagi punya banyak masalah kali ya orang itu? Kayaknya mahasiswa master Deakin juga. Semoga pas aku skripsi nanti nggak sampai segitunya.
Semoga-semoga yang lain masih memenuhi benak Aileen. Pasalnya, dia berkuliah di sini menggunakan beasiswa dan itu berarti nilai akademiknya harus stabil atau hal terburuk akan terjadi.
Lamunan gadis berumur 23 tahun itu harus terhenti saat klakson mobil memekakkan telinganya. Dia menoleh lantas berkata, “My deeply apologize.” Dia melakukannya sambil mengatupkan kedua tangan.
“It’s okay, girl. Be careful, please!” respons salah satu penumpang seraya melongokkan kepala dari dalam mobil setelah gadis itu meminggirkan sepedanya.
Mobil yang berisi pemuda-pemuda bule itu menjauh dari pandangan Aileen.
Sebenarnya, tempat berikutnya yang akan Aileen datangi adalah Deakin Prayer Room, yang berhadapan dengan tempatnya sekarang. Namun, dia rasa lebih baik segera pulang.
Tanpa memerhatikan pria murung itu lagi, Aileen mulai mengayuh sepedanya. Lurus saja sampai menjumpai Cropley Ct, kemudian belok ke kiri menuju Daniel St. Tidak lama setelahnya, terlihat dua belokan ke kanan. Namun, gadis itu memilih belokan kedua agar sedikit memutar. Di ujung Monica St terdapat perempatan. Untuk sampai ke flat-nya, maka gadis itu harus berbelok ke kanan.
Dua insiden tadi; pria murung dan pemuda yang menyalakan klakson untuknya secara tidak langsung membuat Aileen kembali fokus. Sesuai jadwal yang dibuat, dia pun mengerjakan tugas dan belajar dari buku-buku yang dia pinjam dari perpustakaan. Baru saat dia akan tidur, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Kayaknya masalah pria itu bukan sekadar skripsi. Meski buru-buru dihapus, aku tahu dia tadi sempat nangis. Apa aku bisa bantu dia, ya? Kalau sampai ketiga kalinya aku ketemu dia kayak tadi, berarti aku memang harus membantunya. Semisal nggak bantu dia, senggaknya dia ada teman bicara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H