Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Be(lie)ve [Chapter 1: Fighting!]

4 April 2017   18:00 Diperbarui: 5 April 2017   01:30 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Ini langkah awal untuk mencarinya. Semangat!!       

           Minggu pagi kali ini mendung. Aileen sebenarnya masih ingin bermalas-malasan, tapi ada misi yang harus dia lakukan yaitu pergi ke hotel Santika. Ada pameran pendidikan luar negeri di sana setengah jam lagi.

            Dari rumahnya di jalan Tlogomas, waktu yang harus ditempuh satu jam lebih. Dan, kali ini gadis itu memutuskan untuk naik angkot jurusan ADL. Bukan karena di rumah sedang tidak ada kendaraan, tapi dia tipikal orang yang sangat susah hapal dengan jalan. Membaca peta lewat GPS juga kesusahan. Daripada tidak lekas sampai, lebih baik mengandalkan kendaraan umum. Tinggal naik dan bilang, “kiri, pak,” maka beres urusan.

            Suatu waktu dia pernah melewati hotel itu saat keluar dengan teman-temannya. Sayangnya, karena Disleksia ringan yang diidapnya, mengingat jalan adalah sesuatu yang sulit. Meski begitu—terkadang terbalik-balik dalam membaca dan menulis, dia menyukai bahasa dan pada akhirnya berkuliah di jurusan bahasa Inggris.

***

            “Hotel Santika, mbak.”

            Aileen terbangun karena merasakan si biru yang dinaikinya berhenti. Selain itu, pendengarannya menangkap nama tempat yang sedang dia tuju. Dia pun segera mengambil uang empat ribu yang sudah disiapkannya di saku jins. Setelah mengangsurkannya ke sopir di sebelahnya, dia membuka pintu dengan dada yang sedikit berdebar.

            Ini sesuatu terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup. Aku mohon mudahkanlah jalanku.

           Ada dua bangunan utama di hotel Santika. Aileen sedikit menimbang, bangunan kiri atau kanan yang harus dia masuki. Terlebih lagi tidak ada satpam yang bisa dia tanyai.

            Hal konyol pun akhirnya dilakukan gadis itu. Dia mengeja nama ‘dia’ sambil menggerakkan tangannya bergantian ke dua bangunan itu. Yakin tidak yakin, dia memutuskan untuk memasuki bangunan kanan, karena memang ejaannya berhenti di sana.

            Begitu masuk, dia disambut oleh tiga orang yang berdiri di belakang meja panjang. Aileen langsung paham, pasti mereka bertugas mengumpulkan absen peserta. Dengan cekatan dia pun mengisi data dirinya pada kolom-kolom yang tersedia. Kemudian, salah satu staff itu memberinya tas kain blacu yang berisi brosur-brosur dan pulpen lantas mempersilakannya masuk dengan ramah.

            Di dekat pintu masuk ruangan, Aileen melihat baliho berdiri bertuliskan IDP, sama seperti yang tersablon di tas kain blacunya. Dia berhenti sejenak untuk membaca keseluruhan isinya. Oh, berarti IDP ini semacam lembaga pendidikan yang khusus menyalurkan calon siswa kuliah ke lima negara.Batinnya, lebih ke arah menyimpulkan.

            Aileen tahu pameran pendidikan ini dua minggu lalu ketika melihat spanduk yang terpaku di pohon di sepanjang jalan menuju Malang Town Square (Matos). Saat itu dia tidak memiliki gambaran tentang apa itu IDP, masih asing di telinganya.

            Dari kelima negara ini, tentu saja aku akan memilih Australia, karena aku akan bisa menemukanmu. Lagi pula, secara tidak langsung kita sudah berjanji untuk bertemu di sana, kan? Lalu, Aileen pun masuk ke ruangan dengan langkah mantap. Pengunjung belum banyak yang datang, sehingga memudahkan gadis itu menatap satu persatu stan-stan perwakilan universitas yang disusun dengan letter U menghadap dirinya.

***

            “Gimana, kemarin kamu jadi ke hotel Santika?”

            “Jadi dong, aku udah niat, kok,” jawab Aileen sebelum memasukkan Tahu Bakso itu ke mulutnya.

            “Jelas niat lah, Ta. Dia ‘kan mau nyusul seseorang. Kayak umak[1]nggak tahu aja,” timpal Sesha dengan mulut yang masih mengunyah Cilok.

             Aileen mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya karena kepedasan. Dia pun buru-buru menyambar air mineral di depannya. “Pedes banget sih ya ampun!” keluhnya. Beberapa saat kemudian dia melanjutkan. “Yah, selain aku mau nyusul seseorang, ada tujuan tersendiri sih, kenapa aku pengin lanjut kuliah di luar negeri.”

             Sesha dan Marinta menatap Aileen dengan minat penuh sambil tidak ‘melepaskan’ makanannya.

              “Aku pengin buktiin ke saudaraku kalau kuliah di swasta itu bisa lanjut kuliah di luar negeri juga. Pakai beasiswa lagi. Dih, kuliah di negeri, tapi jurusannya nggak favorit aja kok sombong banget.” Aileen terbahak sesaat. “Hm, ngomong-ngomong, berarti aku nggak murahan dong ya, ‘kan sesuatu yang aku perjuangkan itu baik.”

               Ada tanda tanya besar di wajah Marinta. Pasalnya, saat itu Aileen hanya bercerita pada Sesha. Dia pun mengklarifikasi pernyataan temannya itu.

               “Selalu deh ketinggalan informasi,” sambar Sesha dengan nada sinis. Dan, dia dengan Marinta pun akhirnya terlibat cek-cok. Siklusnya memang seperti itu: Marinta ketinggalan informasi, Sesha mengejeknya, dan cek-cok. Namun, tentu saja khas teman akrab, bukan ibu tukang sayur yang menagih hutang pada pelanggan.

                Aileen tersenyum melihat mereka atau kalau lebih menjurus, menikmati. Sebenarnya, hal itu terjadi akibat dirinya lebih suka bercerita pada Sesha ketimbang Marinta. Tanggapan yang akan Sesha berikan selalu bernada santai atau bercanda meski permasalahannya rumit. Namun, tetap terkandung ‘bantuan’ di dalamnya. Sebaliknya, gadis itu merasa kalau tanggapan Marinta lebih mirip seperti seorang ibu yang menasihati anaknya.

               “Ayo, jadi nge-printke belakang kampus, nggak? Dua puluh menit lagi masuk, lho.” Aileen menengahi. Dia sudah mencangklong ranselnya dan membawa bungkus makanan yang siap dibuang ke tempat sampah.

              “Oh iya, waktunya mami Thatit jangan sampai telat! Bisa-bisa kita dibahas sepanjang pelajaran,” kata Marinta seraya menepuk keningnya.

***

                Menjelang petang, Malang dijatuhi air dari langit, deras. Katak-katak keluar dari persembunyiannya untuk menyanyikan lagu kebanggaan mereka. Sesosok gadis berpayung biru bergidik lantaran hewan amfibi itu berada tidak jauh dari kakinya. Dia melangkah lebar ke kanan untuk menjauh.

               Hari pertama di musim penghujan kali ini sekaligus menjadi hari pertama Aileen mengikuti IELTS preparation[2]di kantor IDP di jalan Galunggung. Hampir sama seperti ke hotel Santika, gadis itu harus menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam dengan angkot. Padahal, kalau naik sepeda motor tidaklah sampai setengah jam. Hal ini dikarenakan rute angkot jurusan GML yang dinaikinya melewati gang-gang sempit segala.  

             Tempat les Aileen dengan di mana dia turun tidak persis di depannya. Dia harus turun di perempatan, kemudian berjalan ke kiri kira-kira 300 meter. Pun, saat dia pulang seperti saat ini. Berjalan dengan arah yang berkebalikan dan menunggunya di bahu jalan dekat universitas Kanjuruhan. 

             Good luck deh buat kamu. Kamu beruntung dikasih dukungan penuh sama orangtua. Niatmu juga nggak main-main. Aku yakin kamu bisa dapatin beasiswa itu.  

             Sambil terus mengawasi kedatangan angkot yang biasanya ada setiap setengah jam itu, Aileen teringat percakapannya dengan Sesha dan Marinta tempo hari di rumahnya. Kedua temannya itu sebenarnya juga minat untuk kuliah di luar negeri. Sayangnya, orangtua mereka tidak mendukung.

             Sesha adalah anak tunggal di keluarganya dan sudah mempunyai tunangan. Mereka berdalih kalau gadis itu pergi jauh, akan ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sementara Marinta, tugas menjadi tulang punggung akan segera dia emban begitu lulus kuliah. Ayahnya yang sakit-sakitan dan ibunya yang hanya bekerja sebagai karyawan puskesmas, tentu saja memerlukan banyak biaya untuk berbagai kebutuhan. Ditambah lagi adiknya yang tidak lama lagi masuk universitas.

          “Tlogomas, pak!” Aileen berteriak seraya berlari mengejar angkot. Namun, kendaraan umum berwarna biru itu terus melaju. Gadis itu bukan pelari yang handal, jadi dia menyerah untuk berlari. Dia berhenti dengan banyak air hujan yang memasuki Crocs coklatnya.

           Oh, mungkin tadi bapak itu bilang mau pulang, nggak narik lagi, batin Aileen. Menerka perkataan sopir yang tadi tidak begitu didengarnya ketika melawatinya yang sedang melambai-lambaikan tangan sebagai isyarat ‘ikut.’

           Gadis itu kini berada di dalam gang, persis di depan tukang gorengan. Tidak lama setelahnya, dia melepas Crocs-nya dengan kaki untuk membuang air yang masuk sambil mengembuskan napas berat. Bukan karena lapar, tapi ingin segera sampai rumah. Udaranya dingin dan dia lelah setelah seharian di kampus.

           Buliran bening tahu-tahu keluar dari mata Aileen tanpa permisi. Gadis itu sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Apakah dia mulai mengeluh atas proses ini? Di sekitar tempatnya berdiri, hanya dia yang berada di luar ruangan. Dan, dia pun membayangkan betapa nyamannya Sesha dan Marinta yang sedang bermalas-malasan di tempat tidur dengan selimut yang menghangatkan tubuh mereka.

           Kalau kamu dapat beasiswa, ada dua hal sekaligus yang bisa kamu dapatkan. Pembuktian ke saudaramu yang sombong itu dan bertemu seseorang. Jadi, kalau mau tercapai, usaha itu harus!

          Tanpa sadar Aileen mengangguk atas batinannya sendiri. Padahal, itu semua karena logikanya telah bangkit, mengalahkan sisi melankolis yang ada dalam dirinya. Gadis itu lantas mengusap air matanya dengan punggung tangan.

           Semangat gadis berpotongan tanggung itu membuat dirinya tidak merasakan berapa lama angkot selanjutnya datang. Yang dia tahu, sudah menunjukkan pukul setengah enam saat dirinya dalam perjalanan pulang.

***

           Ibarat seorang Biksu yang mencari kitab suci di barat seperti dalam serial Kera Sakti, itulah perjalanan Aileen mencari beasiswa, panjang dan rumit. Rintangan-rintangan juga tidak mau kalah eksis. Namun, rintangan terberat menurut gadis itu adalah niat dalam dirinya yang terkadang turun serta celotehan teman sekadarnya dan saudara yang tidak sengaja tahu rencananya.

           Mereka membuat Aileen sebal lantaran berkomentar, “Kok tes terus, sih? Kapan berangkatnya?” Berpura-pura santai sambil melontarkan senyuman, gadis itu selalu membalasnya dengan, “Bukan mau daftar TK, makannya banyak tahapannya.”

            Terlepas dari itu semua, hal pasti yang akan dia ketahui satu bulan lagi adalah bahwa dia berhasil mendapatkan beasiswa itu. Pasalnya, dia rasa sudah memberikan alasan yang tepat mengapa pihak penyelenggara (LPDP[3]) harus memilihnya, membuat motivation letter yang unik, memiliki pengalaman yang cukup berkenaan dengan jurusan yang diambil, dan surat rekomendasi serta dukungan dua dosennya yang malang melintang ke luar negeri sebagai perwakilan kampus.

***

            “Ai, udah kamu lihat belum E-mail-mu?”

            Aileen meraih pembatas buku di dekatnya untuk disisipkan ke halaman 179. Dari posisinya yang tengkurap, dia lantas terduduk di tepi tempat tidur dan menanggapi pertanyaan Mama. Satu-satunya orang yang memanggilnya Ai, bukan Leen seperti yang lainnya.

           “Belum, ma. Besok aja, deh. Aku masih gerogi.” Aileen terkekeh sesaat.

           “Kabar baik harus diketahui secepatnya, kan?”

           “Hmm, iya sih.” Gadis itu tampak sedikit berpikir. “Oke deh ma, aku lihat,” lanjutnya, kemudian meraih ponsel yang ada di meja dekat tempat tidur.

            Mendadak ponsel yang dipegang gadis itu terasa seperti bukan miliknya. Dia kebingungan mencari aplikasi Yahoo. Duh, tanganku kok gemetaran kayak gini? Jangan-jangan aku gagal. Sia-sia usahaku selama ini.

            “Ada apa, pa?” tanya Mama.

            “Itu, Sesha sama Marinta main ke sini,” lapor Papa Aileen yang berdiri di mulut pintu.

          Sontak puteri pertama pak Jarot itu menegakkan kepala. Ah, mereka memang penyelamatku.Dia pun berniat segera ke ruang tamu. Namun, Mama mencegahnya dengan bertanya ‘bagaimana.’

         “Koneksi internetku lemot, ma. Besok pagi aja,” jelas gadis itu lantas pergi begitu saja.

          Selepas wisuda, Sesha dan Marinta sudah menjadi tenaga pengajar di lembaga yang cukup ternama. Keduanya juga mempunyai bisnis makanan yang dipasarkan secara online. Hal yang membedakan adalah asal mereka. Kalau Sesha asli Probolinggo dan masih ingin merantau ke Malang, Marinta si centil adalah gadis asli kota Batu. Meski begitu, Minggu siang kali ini mereka memiliki tujuan sama yaitu merayakan ‘kemenangan’ Aileen. Mereka yakin temannya yang hobi mengoleksi jam tangan itu mendapatkan apa yang diperjuangkan selama ini.

           Aileen menyapa mereka dengan sangat riang. Dia begitu bahagia, kedatangan Sesha dan Marinta seperti kejutan untuknya. Pasalnya, mereka tidak membuat janji terlebih dahulu.

          Sesha dan Marinta saling berpandangan. Kenapa rasanya Aileen belum melihat pengumumannya? Gadis itu tidak membicarakan keberhasilannya pada mereka. Pun tidak menampakkan kekecewaan karena mendapat kegagalan.

          “Makasih, Tante,” kata Sesha dan Marinta kompak saat Mama Aileen meletakkan minuman dan camilan di meja. Mereka kembali berpandangan. Wanita itu tidak membicarakan apa pun. Berarti benar bahwa Aileen belum membuka E-mail-nya.

           “Eh, makasih juga loh ya makanannya. Repot-repot, deh,” ujar Aileen seraya mengangkat bungkusan yang ada di meja.

           “Hm, kita akan makan makanan itu kalau kamu udah lihat pengumuman beasiswanya. Jadwalnya hari ini, kan?” tembak Marinta. Aileen terpaku.

            Gadis pemilik rumah itu bukannya merasa di-skak mat, tapi teringat ketika semester tiga dulu dia daftar sebagai reporter kampus. Dia dengan santainya menunda untuk melihat pengumuman peserta yang lolos seleksi. Sesha dan Marinta justru sebal dan pada akhirnya menyeret Aileen ke sekretariat. Bahkan, mereka berdua juga yang melihat pengumuman, sementara yang bersangkutan malah menunggu di lobi.

            “Udah, mana hapemu? Sini biar aku liatin,” rampas Sesha dengan tangannya yang terulur pada seseorang di depannya. Si empunya menurut saja dan memberikannya dengan pasrah.

             Marinta merapat ke dekat Sesha untuk melihat E-mail Aileen. Dan, atmosfir ketegangan hadir di ruang tamu yang cukup luas itu. Ketiganya memasang wajah serius, tapi lebih terlihat seperti Aileen adalah seorang tersangka, sementara dua temannya adalah polisi yang sedang meneliti barang bukti.

             “ALHAMDULILLAH!!!”

             Bagi Aileen, waktu seakan berhenti beberapa saat hanya untuk mencerna seruan kedua temannya yang heboh itu. Dia pastikan juga apakah seisi rumah dan mungkin tetangga mendengarnya. Benar saja, Mama, Papa, dan adik Aileen hadir di ruang tamu untuk mengecek ada apa sebenarnya yang terjadi.

             “Selamat ya, kamu emang hebat!!”

              Keluarga Aileen masih tidak ngeh atas euforia ini. Benarkah Aileen mendapatkan beasiswa ke Australia? Jangankan orang lain, gadis itu sendiri masih mempertanyakan kebenaran pada dirinya sendiri, sampai-sampai tidak menyadari kalau tubuhnya terguncang dengan keras lantaran Sesha dan Marinta memeluknya untuk meluapkan kegembiraan.

              “Aku… aku keterima, ya? Australia?” Aileen mengklarifikasi dengan hati-hati. Wajahnya masih terlihat linglung, tapi tidak berlangsung lama, karena sekarang dia sudah berdiri dari duduknya seraya berseru gembira dan melompat serta berpelukan dengan kedua temannya.

              Mama, Papa, dan adik Aileen tersenyum begitu lebar. Tidak ada kebahagiaan sejati selain ada anggota keluarga yang mendapat keberhasilan.

             Setelah momen melompat itu dirasa cukup oleh Aileen, dia mendekat ke keluarganya untuk berbagi suka cita. Hal pertama yang dia lakukan adalah mencium tangan Mama dengan disertai air mata haru. Kemudian, mereka berempat saling berpelukan, erat dan tenang.

             “Selamat berjuang di negara orang ya nak, tunjukkan kualitas terbaikmu,” pesan Mama seraya menangkupkan tangan di kedua pipi puteri pertamanya itu.

             Aileen menganggung mantap. “Tentu.”

             Tuhan memang maha adil. Sebenarnya, Aileen sempat iri pada kedua temannya ketika wisuda. Di hari yang membahagiakan itu, kekasih mereka datang dan membawakan buket bunga serta bingkisan lucu. Sementara dirinya hanya sempat bertemu beberapa teman se-komunitas dan berfoto dengan kedua orangtuanya di booth foto. Setelahnya, dia harus berangkat ke Yogyakarta dalam rangka acara keluarga keesokan harinya.

             Kalau saja gadis itu mau menerima perasaan orang lain, pasti keadaannya tidak seperti itu. Sayangnya, satu-satunya orang yang dia harapkan sampai saat ini adalah ‘dia.’ Ironisnya, meski harapannya tidak jelas apakah akan berakhir manis atau pahit, dia tetap memperjuangkannya. Bahkan, kini keraguan mulai hadir pada dirinya. Berapa peluang baginya untuk bisa menemukan ‘dia’ dengan informasi yang sangat minim?

           Aileen memang gadis dengan semangat yang mudah berubah-ubah. Sekarang, ketika hendak memejamkan mata semalaman, suatu pemikiran tercetus di benaknya.

           Dengan berbekal kepercayaan diri, aku bisa mendapatkan beasiswa. Bagaimana jika aku terapkan juga untuk mencarinya? Tidak akan ada perubahan kalau kamu nggak melakukan sesuatu, bukankah begitu?

           

           Prolognya bisa dibaca di sini:

             http://fiksiana.kompasiana.com/han.okumura/prolog-be-lie-ve_58e227a6519373e165eb8938


[1] Kamu, bahasa Malang

[2] International English Language Testing System, syarat wajib kuliah di luar negeri atau keimigrasian berupa tes bahasa dan mendapatkan sertifikat skor nilai.

[3] Lembaga Pengelola Dana Pemerintah. Beasiswa dari Indonesia untuk putera puteri terbaiknya untuk menempuh jenjang S2 atau S3 di dalam atau luar negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun