Apa kau suka menonton film romantis? Untuk kau yang suka, jangan iri padaku. Setiap pagi atau sore hari, aku disuguhi film yang digemari banyak orang itu secara gratis. Bahkan, aku sering terlibat dalam adegannya. Ya, walau bisa dikatakan, aku hanyalah pemeran pendamping, tapi, kalau aku tidak ada, pasangan kekasih atau suami-isteri tidak akan bisa memadu kasih dengan rona wajah yang bahagia. Atau, kalau lebih menjurus lagi, hadirnya aku di belakang mereka, membuat hidup mereka terasa lebih nyaman, bukannya seperti pihak ketiga lainnya yang akan menjadi pengganggu. Lagi pula, aku tidak akan mau menjadi pemeran antagonis. Di samping akan terlihat tidak cocok karena orang-orang berpendapat kalau imejku menenangkan, aku juga tidak bisa membayangkan kalau sampai menerima peran itu. Aku akan sangat melukai orang-orang, bukan hanya perasaan melainkan fisik. Oh, aku tidak suka darah! Aku suka air. Bukankah itu baik bagi pertumbuhan selain susu?
“Sudah tiga hari, ya, kau tidak menonton atau bermain film romantis?”
“Iya, kau benar. Ini menyebalkan, aku sudah kecanduan melakukan itu,” jawabku pada teman sejak kecilku. Kemudian, aku memberinya pertanyaan juga, “Lalu kau, apa kau juga kesal karena orang-orang tidak lagi meringankan bebanmu?”
“Iya, ini sudah sangat berat. Tapi, mau bagaimana lagi? Keadaan ini membuat mereka lupa padaku.”
Kulihat kesedihan di wajah temanku itu. Aku ingin membantunya, tentu saja. Akan tetapi, tangan-tanganku tidak cukup kuat. Sayangnya, kakiku juga tidak akan berguna. Kalau pun aku menggunakannya, baru bisa kulakukan saat aku meninggal. Oh, yang benar saja… Aku memang suka film romantis, yang identik dengan pengorbanan. Namun, kalau sampai aku meninggal, aku tidak bisa lagi menyokong kehidupan orang-orang. Dalam situasi ini, alangkah lebih baik kalau aku dan temanku itu tetap hidup. Dengan begitu, kami bisa menyokong kehidupan lebih banyak orang.
“Aku penasaran, siapa yang tega membuat orang-orang melupakanmu? Dia atau mereka patut dipenjara! Tindakan mereka mengancam nyawa!” Niat awalku ingin menghibur temanku itu, tapi, kurasa akhirnya malah membuat kebenciannya membuncah.
“Iya, kau benar sekali! Karena kelakuannya yang biadab itu membuat banyak nyawa terancam. Mereka membunuh secara perlahan. Rasanya aku ingin menjatuhkan bebanku tepat di kepalanya sampai pecah!”
Oh, temanku, keadaan ini sudah sangat berat, ditambah lagi beban yang sekarang kau bawa. Apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu? Aku—aku maksud kita, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita memang terlihat besar dan kuat, namun, Tuhan sudah menakdirkan kita sejak lahir untuk tidak pergi ke mana-mana. Kurasa Tuhan memang adil, teman. Kita sudah banyak membantu orang-orang, dan Ia tidak mau kita lelah jika harus meninggalkan tempat kita lahir dan juga meninggal kelak.
Teman, aku hanya bisa berdoa untukmu. Semoga ada orang baik di luar sana yang mau dan berhasil menghentikan keadaan yang menyebalkan ini. Walau aku tidak membawa beban sepertimu, penglihatanku kini sudah mulai kabur. Tubuhku juga perlahan-perlahan terasa lemah. Dan, yang membuatku bertambah sedih adalah orang-orang itu juga mengalami kecelakaan karena penglihatannya tidak maksimal lagi. Bahkan, kemarin sepasang kekasih yang sering memadu kasih di depanku juga menjadi korban. Samar-samar, aku melihat luka mereka. Cukup parah, semoga saja mereka masih diberikan kesempatan hidup. Tahun ini mereka akan menikah.
“Apa kau merindukan anak kecil yang suka memungut beban yang sudah kau jatuhkan di tanah?” Tanyaku.
“Tentu saja. Kalau kau suka film romantis, aku suka anak-anak. Kasihan sekali dia, sudah mengalami keadaan ini. Apa dia masih hidup?”
“Semoga saja, teman. Kurasa dia anak yang kuat. Aku yakin, kalau keadaan ini sudah usai, dia dan orangtuanya pasti akan mendatangimu lagi. Oh, tidak, membantumu juga.” Kali ini, aku bermaksud menurunkan kadar emosinya. Kulihat ia mulai tenang setelah kuberi harapan.
Berbicara tentang harapan, kurasa agar itu terwujud adalah berdoa dan juga berusaha. Lalu, apakah dengan hanya berdoa saja harapanku dan juga teman sejak kecilku ini akan terwujud? Oh, Tuhan, inginku berbicara pada penguasa negeri ini atau pemimpin daerah ini agar membuat hujan buatan. Kalau hanya menunggu hujan sungguhan, korban akan terus berjatuhan. Oh, manusia jahat… Kalau saja kalian tidak bertindak bodoh sampai-sampai merusak bumi ini dengan kebimbangannya dalam menurunkan hujan atau mengeringkan air dan tanah, pasti keadaan ini tidak akan terjadi.
Ironis, dengan tinggiku yang lebih dari lima meter ini, aku hanya bisa melihat asap pembakaran hutan yang tidak bertanggungjawab itu meluas sampai ke negara tetangga. Kejam, ini kejam sekali. Mereka bahkan tidak kenal kau, wahai penjahat! Tapi, mereka harus menerima musibah yang kau buat itu! Aku tidak bisa menyalahkan angin sebagai kurir asap itu. Karena, ia memang ditakdirkan tidak bisa berdiam di satu tempat saja.
“Ngomong-ngomong, sebenarnya sekarang sudah musim penghujan, kan?”
“Benar, seharusnya!,” jawabku. Aku terdiam beberapa saat kemudian memberikan semacam kesimpulan. “Teman, kurasa kejadian ini seperti efek domino. Manusia-manusia jahat itu merusak bumi, musim tidak keruan, kemudian penjahat-penjahat itu memanfaatkan keadaan dengan membakar hutan untuk perluasan lahan, ya, untuk segi komersil.”
“Bagaimana kau bisa tahu sejauh itu?” Tanya temanku dengan penasaran.
“Itu mudah saja. Aku tahu dari orang-orang yang ada di depanku. Selain memadu kasih, mereka juga membicarakan banyak hal. Ya, aku belajar dari mereka.”
Daun-daun temanku bergoyang. Ya, inilah tanda bahwa kami—pohon sedang tertawa terbahak-bahak. Kalau manusia, yang kutahu, mereka akan membuka mulut mereka, mengeluarkan suara “hahahaha”, lalu memegangi perut mereka yang mengalami tremor.
“Kenapa kau tertawa, teman? Kau memang selalu bahagia saat orang-orang meringankan bebanmu. Sementara aku, aku memainkan peran dan juga mendengarkan apa yang orang-orang katakan. Kalau menonton, itu sekadar bonus.”
Temanku berhenti tertawa, kemudian, mimik wajahnya berubah serius. “Apa kau merasa terbebani?”
“Tidak, tidak sama sekali. Kita sudah punya takdir masing-masing, bukan? Kau punya buah yang enak dan itu membuat orang-orang bahagia saat memakannya. Sementara aku, karena tubuhku yang besar dan daunku yang banyak, orang-orang bahagia karena merasa sejuk.”
Takdir. Kami—pohon dan manusia, sejatinya, ditakdirkan untuk saling menguntungkan. Pohon menyediakan oksigen, lalu, dihirup manusia dan kemudian mengeluarkan karbondioksida, yang kami gunakan untuk berfotosintesis. Oh, Tuhan memang Maha baik dan Maha teratur, merancang skenario hidup semua ciptaannya dengan sangat sempurna. Akan tetapi, manusia-manusia jahat yang dirasuki kemudian dikendalikan keserakahan merusaknya. Sucinya udara yang diberikan Tuhan secara gratis kini menjadi racun. Lalu, hukuman apakah yang cocok untuk orang-orang yang sudah mengubah takdir-Mu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H