Hari pemilu sudah benar-benar di depan mata. Tidak terasa, dalam hitungan hari, seluruh rakyat Indonesia akan dapat menikmati haknya untuk memilih calon pemimpin.Â
Dari mulai capres, cawapres, caleg DPR, DPRD, dan DPD, semuanya akan dipilih sekaligus. Sebuah pesta demokrasi besar-besaran yang jelas akan masuk dalam buku sejarah!
Namun, sebelum kita tiba pada hari itu, ada satu ganjalan yang bisa merusak pesta politik ini. Hal itu tidak lain adalah politik uang.
Politik uang mengacu pada suatu usaha pemberian atau janji menyuap seseorang agar orang tersebut memilih atau tidak memilih calon tertentu dalam pemilu.Â
Hal ini pun jadi berbahaya, karena perilaku pemilih kini disetir oleh oknum yang menggunakan materi dan bukan atas inisiatif pemilih tersebut untuk memilih atau tidak memilih berdasarkan pemikiran dan hati nuraninya.
Sejatinya pemilu adalah sebuah agenda politik yang sehat bagi rakyat, bagi warga negara, untuk memilih pemimpinnya. Para calon pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif, harusnya bisa melakukan kampanye yang progresif untuk meyakinkan para pemilih untuk memilih mereka. Contohnya tentu saja, dengan memaparkan visi dan misi mereka jika kelak terpilih, menjaring aspirasi masyarakat, dan bahkan menetapkan janji politik bersama konstituennya.
Tapi sayangnya, kadang ada beberapa calon pemimpin yang suka jalan pintas. Ketimbang melakukan kampanye progresif, mereka malah memberikan, atau menjanjikan akan memberikan, sejumlah uang atau materi. Dengan jalan pintas ini, mereka memperoleh suara secara lebih mudah tanpa perlu membuktikan dirinya sebagai pemimpin politik yang ideal.
Hal ini tentu adalah hal yang tidak sehat bagi demokrasi kita.
Mengantisipasi hal itu, ada usaha progresif yang telah dilakukan oleh Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Desa ini telah dikukuhkan sebagai Desa Anti Politik Uang pada Sabtu (16/2/2019). Sardonoharjo menjadi desa kedua setelah Candibinangun, Pakem yang dikukuhkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sleman.
Ketua Bawaslu Sleman Karim Mustofa menjelaskan, Sardonoharjo dipilih karena ada inisiatif dan kesadaran warga yang disampaikan oleh perangkat desa ke Bawaslu.Â
Warga mengharapkan agar Bawaslu menyelenggarakan kegiatan dan sosialisasi di desa tersebut. Bawaslu menilai warga Desa Sardonoharjo bisa diajak kerjasama dalam upaya meminimalisasi politik uang.
Hal ini tentu merupakan inisiatif positif di tengah maraknya kampanye pemilu dan potensi pelanggaran seperti politik uang. Idealnya, seorang calon pemimpin politik haruslah dipilih berdasarkan penilaian objektif yang dilakukan konstituennya. Tidak seharusnya seorang calon terpilih karena paling mampu membagi-bagikan uang atau materi. Maka itu, yang dilakukan oleh calon pemimpin adalah berkampanye positif, sesuai dengan peraturan, dan tidak boleh melakukan politik uang.
Inisiatif desa ini juga diapresiasi oleh salah seorang caleg DPD dapil Daerah Istimewa Yogyakarta, Bambang Soepijanto. Sebagai caleg, beliau memilih untuk berkampanye secara positif mengemukakan visi dan misinya pada calon pemilih.Â
Bambang Soepijanto berharap, dengan begitu rakyat Yogyakarta mau memilih dirinya atas dasar gagasan, visi, dan misi yang ia emban. Caleg bernomor urut 24 ini berharap, warga Yogyakarta dapat memilih presiden dan legislatif yang memang terbaik untuk kemajuan DIY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H