Mohon tunggu...
Hamzah Zhafiri
Hamzah Zhafiri Mohon Tunggu... Kreator konten -

Suka menulis dan bercerita sebagai hobi. Terutama tema politik, bisnis, investasi, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pekan Budaya Tionghoa, Bukti Keberagaman Yogyakarta

9 Februari 2019   11:52 Diperbarui: 9 Februari 2019   13:03 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambang Soepijanto dan Majelis GKJ Suryodiningratan/dokpri

Merayakan imlek alias Tahun Baru Cina sudah jadi agenda rutin di Indonesia. Meski begitu, sejarahnya memang tidak instan. Di masa Orde Baru, ada regulasi ketat yang melarang masyarakat Tionghoa untuk merayakan budaya etnisnya secara terang-terangan di muka umum. 

Larangan tersebut tertuang dalam Inpres No. 14/1967 tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Memang bukan berarti dilarang untuk dirayakan, namun perayaan atas agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina hanya boleh dilakukan di ruang tertutup di lingkungan keluarga inti, tidak boleh terlihat secara terbuka di depan umum.

Namun, hal itu berubah sejak mulainya reformasi. Presiden Habibie dalam masa pemerintahannya yang singkat menerbitkan Inpres No. 26/1998 yang intinya membatalkan inpres sebelumnya yang bersifat diskriminatif.

Kemudian ketika Gus Dur menjabat, ia bertindak lebih jauh lagi. Dikotomi istilah antara pribumi dan nonpribumi ditiadakan, karena toh tidak ada orang yang keturunan asli Indonesia, karena bangsa Indonesia umumnya adalah perpaduan dari etnis Melayu, Astro-Melanesia, dan China.

Gus Dur pun melakukan penyebutan "orang" dan bukan suku, seperti orang Jawa (etnis Jawa), orang Melayu (etnis Melayu), orang Tionghoa, dan semuanya adalah orang Indonesia.

Cucu pendiri NU Kiai Hasyim Asy'ari yang sejak lama dikenal sebagai pluralis itu menganulir Inpres No. 14/1967 dengan menerbitkan Inpres No. 6/2000. Sejak itulah, komunitas Tionghoa bebas kembali menjalankan kepercayaan dan budayanya.

Inpres yang terbit pada 17 Januari tersebut membawa suka cita yang telah lama surut. Tahun baru Imlek tahun itu, yang jatuh pada 5 Januari, dirayakan dengan cukup megah di kompleks Museum Fatahillah Jakarta. Setahun kemudian, dengan Keppres No. 19/2001 Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.

Dengan kebijakan-kebijakan inklusif itu tak lewah jika kemudian pada 10 Maret 2004---bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie---masyarakat Tionghoa di Semarang menyematkan julukan "Bapak Tionghoa" kepada Gus Dur.

Hingga akhirnya pada hari ini, orang Tionghoa di Indonesia bisa merayakan imlek beserta segala ritual agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya dengan bebas.

Lebih dari itu, di Yogyakarta sendiri bahkan diadakan acara tahunan untuk merayakan imlek sekaligus mengapresiasi budaya tionghoa. Acara tersebut adalah Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta yang diadakan bertepatan dengan tahun baru imlek. Acara ini diselenggarakan tiap tahunnya di daerah Ketandan, sebuah lokasi chinatown legendaris di Yogyakarta.

Dalam Pekan Budaya Tionghoa ini, diadakan berbagai macam acara menarik, seperti karnaval budaya, pameran batik peranakan, pameran potehi, pertunjukan barongan, lomba bahasa mandarin, hingga kompetisi Koko-Cici Jogja 2019.

Acara yang didukung oleh Pemda setempat ini pun berlangsung meriah setiap tahunnya. Warga setempat, masyarakat Yogyakarta, dan bahkan wisatawan lokal maupun internasional bisa menikmati meriahnya Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta 2019 yang akan berlangsung pada tanggal 13-19 Februari ini.

Tagline dari acara ini adalah "harmony in diversity", sebuah bukti bahwa masyarakat Tionghoa adalah bagian integral dari masyarakat Yogyakarta dan bangsa Indonesia secara umum. Di tengah keberagaman yang ada dalam masyarakat kita, toh nyatanya kita semua bisa hidup harmonis di bawah atap yang sama.

Semangat keberagaman ini pun juga diakui oleh seorang tokoh terpandang di Yogyakarta, Bambang Soepijanto. Sebagai calon anggota DPD DIY, beliau mengakui bahwa keistimewaan Yogyakarta terletak pada keberagamannya. Dalam kampanyenya pun, beliau rutin berkunjung ke komunitas masyarakat tertentu, seperti majelis GKI Suryodiningrat.

Bambang Soepijanto dan Majelis GKJ Suryodiningratan/dokpri
Bambang Soepijanto dan Majelis GKJ Suryodiningratan/dokpri
Bambang Soepijanto berharap, segenap insan Yogyakarta bisa merawat kebersamaan, keberagaman, dan keharmonisan hidup di Yogyakarta. Sebagai calon anggota DPD DIY, itu pula yang ingin diwujudkan Bambang Soepijanto terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bambang Soepijanto, calon DPD DIY/dokpri
Bambang Soepijanto, calon DPD DIY/dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun