"Hoax" barangkali menjadi kata dan fenomena yang sering jadi perbincangan belakangan ini. Apalagi di musim politik, kabar bohong atau tidak tepat selalu saja berseliweran di berbagai tempat.
Kedua belah pihak pendukung kubu-kubu politik yang berkontestas nampaknya mengklaim kubu lawannya sebagai dalang hoax, sambil tutup mata ketika kubunya sendiri ketahuan jadi penyebar hoax.
Sebelum jauh-jauh, mari kita berkenalan dulu dengan dua istilah berbeda yang berkaitan dan menjelaskan karakteristik hoax: disinformasi dan misinformasi.
Disinformasi adalah kabar bohong yang benar-benar bohong, mengada-ada, menciptakan sesuatu yang benar-benar tidak ada sama sekali, sepenuhnya direkayasa, tanpa bukti, hanya karangan.
Baca juga: Cherry Picking, Pengaburan Logika dan Hoax
Misalnya saja, anda mendengar kabar dari ibu anda bahwa sepupu anda telah menikah dan langsung berpoligami. Dalam semalam, sepupu anda menikahi dua perempuan sekaligus. Anda pun menemui sepupu anda dan bertanya langsung, dan sepupu anda pun membantah kabar tersebut. Boro-boro menikahi dua istri, mau punya satu istri saja belum kesampean.
Skeptis, anda pun datang ke KUA, memeriksa data catatan sipil, dan benar saja, tidak ada catatan bahwa sepupu anda sudah menikah. Apalagi punya dua istri. Apalagi menikahi dua istri dalam satu hari.Â
idak ada bukti bahwa sepupu anda telah berpoligami, dan justru bukti yang terpercaya membuktikan sebaliknya. Kartu Keluarga sepupu anda bahkan membuktikan bahwa ia masih benar-benar sendirian.
Artinya, ibu anda telah menyebarkan hoax disinformasi, kebohongan murni, tanpa bukti, seratus persen khayalan dan rekayasa. Dan disinformasi memang terjadi karena kesengajaan, karena ternyata ibu anda memang benci dengan sepupu anda dan ingin mendiskreditkan dia di mata anda.
Baca juga: Informasi Hoax dalam Peribahasa
Jenis hoax kedua, misinformasi. Ini adalah kabar bohong yang memelesetkan kabar yang bisa jadi ada benarnya. Namun, kebenaran ini terpelesetkan dan terpelintir sedemikian rupa sehingga membentuk narasi yang menyimpang dan sangat menyesatkan. Misinformasi umumnya bisa tersebar secara tidak sengaja.
Contohnya begini.
Kini, anda mendengar kabar bahwa sepupu anda mencintai kebudayaan barat dan begitu membenci bangsa Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah bangsa yang terbelakang dan tidak ada apa-apanya dengan bangsa barat. Kembali lagi anda datang ke sepupu anda untuk mengklarifikasi. Kembali pula sepupu anda membantah kabar tersebut.
Usut punya usut, ternyata sepupu anda itu kebetulan lagi diet, dan ia sedang berhenti makan nasi dan mulai makan kentang. Menurutnya, kentang lebih rendah kalori dan gula ketimbang nasi. Ia pun memberitahu pembantunya: "Mbok, nanti saya makan siang jangan kasih saya nasi ya, tolong bikinin kentang rebus saja buat pengganti nasi".
Pembantu sepupu anda pun mendengar hal itu dan bercerita pada ibu dari sepupu anda: "Eh bu, anaknya ibu udah gak suka makanan Indonesia lagi, senengnya makanan bule"
Ibu sepupu anda pun mendengar hal itu dan bergosip dengan ibu anda "Anakku sekarang tergila-gila dengan kebudayaan orang barat deh, suka makan kentang dan gak suka nasi".
Baca juga: Pentingnya Memerangi Hoax yang Menyesatkan
Akhirnya, ibu anda pun bergosip dengan anda: "Eh, sepupumu itu sekarang benci dengan budaya Indonesia, cintanya sama budaya barat".
Dari kabar mulut ke mulut inilah terjadi misinformasi, sebuah informasi yang tadinya bersumber dari kenyataan, tapi terpelintir dan menimbulkan persepsi yang tidak tepat.
Bayangkan jika hal seperti ini terjadi di level perbincangan masyarakat dan media sosial. Kabar hoax, baik disinformasi dan misinformasi, tersebar bebas dan liar di tengah-tengah pergumulan masyarakat yang terpolarisasi. Semua pihak pun rutin menyebarkan informasi tanpa mau mencaritahu lebih dulu asal-muasal kabar yang terpampang di hadapan mereka.
Hal inilah yang menjadi perhatian dan keprihatinan salah seorang tokoh politik, Bambang Soepijanto. Pria yang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Dapil DIY ini berharap kita semua tidak terjebak menyebarkan kabar hoax. Hendaknya kita berkampanye menggunakan fakta dan data sebagai bukti argumentasi kita, dan bukan asumsi tidak jelas yang didapat dari informasi yang tidak jelas pula sumbernya.