Kota Yogyakarta boleh berbangga di satu sisi, dan agak berwaspada di sisi lain. Berbangga karena kota ini sekali lagi mendapat penghargaan tahunan sebagai Kota Peduli Hak Asasi Manusia dari Kementerian Hukum dan HAM RI.
Di sisi lain, warga Yogyakarta patut berwaspada dan introspeksi. Baru-baru ini, Kota Yogyakarta, tepatnya Kecamatan Kotagede, menjadi sorotan. Sorotan ini terkait dengan insiden adanya penolakan simbol salib oleh warga pada sebuah makam orang kristiani di lokasi pemakaman.
Kota Peduli HAM
Mari kita bahas satu-satu, dimulai dengan penghargaan membanggakan sebagai Kota Peduli Hak Asasi  Manusia. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Kota Yogyakarta mendapat penghargaan ini. Sebaliknya, ini sudah keenam kalinya Yogyakarta mendapat penghargaan serupa. Bahkan, penghargaan ini didapat berturut-turut sejak pertama kali diraih di tahun 2013.Â
![Rapat Koordinasi penilaian Kota Peduli HAM](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/19/rakorham01-5c1a3ab4c112fe7bca2d7c18.jpg?t=o&v=770)
![Apa itu HAM?](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/19/whatsapp-image-2018-12-18-at-21-09-26-5c1a3cb212ae9444ea209827.jpeg?t=o&v=770)
Insiden Pemotongan Nisan Salib
Tidak terlalu lama sejak diberikannya penghargaan tersebut, terdengar isu dari Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta yang menggegerkan pemberitaan nasional. Nisan salib di makam seorang warga bernama Albertus Slamet Sugihardi dipotong bagian atasnya oleh warga RT 53 RW 13.
![Makam Albertus Slamet Sugihardi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/19/pemakaman-di-purbayan-5c1a3adf12ae94450e7f2c25.jpg?t=o&v=770)
Alasan pemotongan nisan salib itu sederhana, karena makam tempat almarhum dimakamkan, memang umumnya dipakai untuk memakamkan umat muslim. Lebih lanjut lagi, makam tersebut memang sedang diproses untuk menjadi makam khusus muslim.
Almarhum Pak Slamet menurut pengakuan warga, sebetulnya merupakan orang yang aktif mengikuti kegiatan warga, seperti arisan, ronda, dan sebagainya. Beliau bahkan menjadi pelatih paduan suara ibu-ibu Muslim di lingkungan Purbayan. Kendati begitu, lingkungan ini memang tidak membolehkan adanya kegiatan atau simbol selain Islam.
Dengan kondisi itu, almarhum Pak Slamet diperbolehkan untuk dimakamkan di tempat tersebut karena darurat. Asal makam Pak Slamet dipinggirkan dan tidak ada simbol-simbol Nasrani karena di tempat itu memang mayoritas Islam dan pemakaman tersebut memang akan dijadikan pemakaman Muslim.
Hal ini sudah disepakati antara keluarga almarhum, warga, dan tokoh masyarakat. Sayangnya, karena keluarga sudah terlanjur membawa nisan kayu berbentuk salib, maka bagian atas dari salib tersebut pun terpaksa dipotong. Nah, foto nisan salib yang terpotong itu difoto dan fotonya menyebar di media sosial.
Salah seorang tokoh masyarakat, Bejo Mulyono, menolak jika yang dilakukan warga di situ adalah intoleran. Menurutnya, warga sudah cukup toleran dengan mempersilakan almarhum dimakamkan di pemakaman tersebut. Selain itu, warga juga sudah membantu dengan proses pemandian, penyiapan makam, hingga meminjamkan ambulan untuk membawa jenazah dari rumah sakit ke rumah beliau. Hanya memang, warga kurang setuju jika terdapat aktivitas atau simbol agama selain Islam di lingkungan tersebut.
Hal ini juga diamini oleh pihak Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan, yang mana Pak Slamet merupakan anggota lokal. Gereja yang masih menjadi bagian dari Lingkungan Gregorius Agung Sanjaya (GAS) ini memang biasa mengurus anggotanya yang membutuhkan bantuan.
Selama ini, lingkungan GAS memang biasa melakukan sembahyang di rumah Pak Slamet, seperti Rosario, Bulan Kitab Suci Nasional, dan sebagainya. Namun, sembahyang tersebut tidak dilakukan dengan nyanyian atau suara keras, karena memang dilarang oleh warga. Dan umat lingkungan GAS pun mentaati aturan tersebut. Akhirnya yang terjadi di lapangan, sembahyang dapat dilakukan di rumah Pak Slamet, hanya tidak bersuara keras saja.
Beredar pula kabar bahwa sembahyang pasca dimakamkannya Pak Slamet juga dikendala oleh warga. Hal ini dibantah sendiri oleh Wiwik Jati, ketua Lingkungan GAS. Menurutnya, sembahyang dibubarkan oleh warga itu hoaks, nyatanya sembahyang lancar diselenggarakan di gereja.
Menurut Wiwik, umat Katolik di lingkungan GAS memang sudah memahami bagaimana kondisi lingkungan dan penolakan simbol-simbol Nasrani di lingkungan tempat Slamet tinggal, sehingga mereka lebih memilih untuk mentaatinya.
"Kalau umat Lingkungan [GAS] enggak ada yang protes. Hanya kalau ada kejadian tertentu lapor ke gereja, nanti gereja yang menangani. Kami menyadari, kami ini minoritas. Lebih baik mengalah," ujar Wiwik.
Memahami dari dua sisi
Menyebarnya kabar pemotongan salib ini memang disayangkan. Mengapa sebuah simbol salah satu agama yang diakui resmi di republik ini harus dilarang seperti itu? Apalagi, kabar ini tersebar luas melalui media sosial secara masif dengan informasi yang sepotong-potong.
Di sisi lain, memang tidak bisa dipungkiri bahwa warga Purbayan, Kotagede, memiliki adat dan budaya keagamaan yang kuat. Di tempat almarhum Pak Slamet tinggal, memang hanya ada 3 KK yang beragama Katolik, sisanya 150 KK memang beragama Islam. Aspirasi warga tersebut juga tidak bisa diabaikan begitu saja, karena toh nyatanya Pak Slamet dan keluarga dapat membaur di tengah warga dengan baik. Dan warga juga membantu proses pemakaman Pak Slamet secara proporsional.
Pada akhirnya, insiden ini pun jadi pekerjaan rumah besar untuk masyarakat Indonesia pada umumnya dan warga Kota Yogyakarta pada khususnya.
Ada dua wacana yang akan gampang sekali menyerbak di musim politik: wacana intoleransi, dan wacana disinformasi. Insiden di Yogyakarta bisa dibilang menyangkut keduanya. Di satu sisi, masyarakat kita pada derajat tertentu memang masih sulit menerima perbedaan dan heterogenitas. Simbol dan aktivitas golongan yang berbeda kerap jadi momok yang sering dimusuhi masyarakat.
Di sisi lain, penyebaran informasi yang salah, keliru, atau tidak lengkap, juga menghantui pola konsumsi informasi masyarakat kita. Karena bagaimanapun, insiden yang kerap terjadi di tiap daerah harus selalu ditelaah secara menyeluruh, kontekstual, dan reflektif.
Ketika sebuah kejadian terjadi, anda boleh mengambil posisi mengecam, atau memahami, atau evaluatif, atau bahkan reflektif memandang ke depannya bagaimana, itu terserah anda.
Tapi yang paling penting, selalu komentari fenomena setelah mendapat informasi yang beragam, yang lengkap, dan yang terpercaya. Jangan melihat dari satu sisi saja, dan selalu adil dan berimbang dalam memandang sesuatu. Itu barulah cara menggunakan hak demokrasi dengan benar.
Fenomena ini pun akhirnya jadi pukulan telak bagi Kota Yogyakarta, sebagai peraih penghargaan Kota Peduli Hak Asasi Manusia. Bagaimana kemudian rencana Pemkot Yogyakarta untuk menjaga hak asasi masyarakatnya dalam beribadah, melaksanakan ajaran agamanya, dan menguburkan jenazah umatnya secara layak dan sesuai kepercayaan yang dianut?
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana warga Yogyakarta harus bersikap? Bagaimana pemerintah, pemangku kebijakan, tokoh masyarakat, dan rakyat umum harus berefleksi dan introspeksi diri ke depannya?
(Semua sumber informasi tentang insiden ini saya dapatkan dari:link berita Tirto berikut ini, silakan dibaca dan direnungkan dengan baik)
Mewujudkan Toleransi di Yogyakarta
Memang, mewujudkan masyarakat yang toleran di tengah keberagaman bukan perkara mudah, baik di Yogyakarta, ataupun di dunia. Secara umum, sebenarnya warga Yogyakarta telah lama hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan. Bahkan, tidak jarang banyak tokoh masyarakat yang berusaha merangkul berbagai golongan dengan baik.
Salah satu tokoh tersebut adalah Bambang Soepijanto, calon anggota DPD RI Dapil DIY. Dalam berbagai kesempatan, Bambang Soepijanto sering menyempatkan diri berkunjung ke berbagai komunitas masyarakat. Salah satunya adalah kunjungannya menyapa warga Kristiani Majelis Gereja Kristen Jawa Suryodiningratan pada 11 November silam. Dialog antara beliau dan majelis gereja pun berlangsung cair di Popeye Transit, Gedongkiwo, Mantrijeron, Yogyakarta.
![Bambang Soepijanto di hadapan Majelis GKI Suryodiningratan](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/19/gki-png-5c1a3bbd43322f438f38101a.png?t=o&v=770)
![Bambang Soepijanto dan Majelis GKJ Suryodiningratan](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/19/gki-d-5c1a3c12bde57510f23994bb.jpg?t=o&v=770)
![Bambang Soepijanto dan Majelis GKJ Suryodiningratan](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/19/gki-a-5c1a3c846ddcae04241e5fd7.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI